GRUP musik yang sekarang banyak bertumbuh barangkali harus cemburu kepada Koes Bersaudara yang memiliki Tony Koeswoyo. Bagaimana tidak? Sebagai inspirator dan jiwa grup musiknya, Tony adalah pemetik gitar, penata musik, dan pencipta lagu yang sulit dicari tandingannya.
KIPRAHNYA bahkan semakin bertambah dalam Koes Plus dan menghasilkan lebih dari 200 lagu yang masih disukai sampai saat ini, sekitar 40 tahun setelah diciptakan. Disadari dia atau tidak, dengan lagu-lagunya itu Tony sekaligus meletakkan batu pertama industri musik Indonesia yang dikenal sekarang.
Tony, yang lahir di Tuban (Jawa Timur), 19 Januari 1936, dengan nama Koestono Koeswoyo, adalah anak keempat dari sembilan anak pasangan Koeswoyo dengan Atmini. Keempat anggota Koes Bersaudara adalah Koesjono (Jon), Koesnomo (Nomo), Koesyono (Yon), dan Koesroyo (Yok).
Koeswoyo yang senang bermusik mahir memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu Hawaiian. Walaupun demikian, diam-diam di dalam hati ia tak ingin anak-anaknya mengikuti hobinya itu.
Ternyata, harapannya itu tidak terkabul. Tony usia empat tahun bisa berjam-jam menabuh ember dan baskom dengan pemukul lidi-lidi yang ujungnya ditancapkan bunga jambu yang masih kuncup.
Tahun 1952, keluarga Koeswoyo pindah ke Jakarta. Mereka menempati rumah di Jalan Mendawai III/14, Kebayoran Baru, yang berkamar dua, masing-masing 3 x 3 meter. Tony dan saudara-saudaranya tidur beralas tikar di lantai karena tempat tidur yang dibawa dari Tuban ukurannya terlalu besar.
Beranjak remaja, Tony tidak mau lagi menabuh ember. Naluri musiknya semakin menggebu-gebu dan ia minta dibelikan gitar, biola, dan buku-buku musik. Koeswoyo memenuhi permintaan itu untuk mengalihkan kegiatan anak-anaknya supaya jangan ikut-ikutan berkelahi dan menjadi krosboi.
Tony rajin mengikuti berbagai kegiatan kesenian mahasiswa seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia), dan berpartisipasi sebagai pemusik. Ia juga suka hadir di pesta-pesta dan ikut memainkan lagu-lagu yang sedang digandrungi anak-anak muda waktu itu.
Sedemikian seriusnya, Tony belajar memainkan gitar, ukulele, piano, dan meniup suling. Lagu-lagu Indonesia dan Barat juga berusaha didengarnya dari RRI (Radio Republik Indonesia), ABC (Australia Broadcasting Corporation) maupun BBC (British Broadcasting Corporation).
Melihat kemajuan Tony, diam-diam Jon memberitahukan bapaknya bahwa Tony punya jari-jari emas. Sentuhannya pada alat musik, terutama gitar, menghasilkan nada-nada dan harmonisasi yang memang masih sederhana namun sudah memperlihatkan magma yang sedang mendidih.
Tidak bergeming
Menghadapi kekerasan hati bapaknya, Tony tidak bergeming. Tekadnya bermusik justru semakin bergelora. Ketika duduk di bangku SMA, dibentuknya band di sekolahnya, Gita Remaja. Kemudian bersama pelukis komik Jan Mintaraga- yang sempat ikut Kus Bersaudara-dan Sophan Sophiaan, ia mendirikan band Teenage’s Voice dan Teruna Ria.
Tony menjadi bintang pesta karena begitu mahir membawakan lagu-lagu Barat yang sedang populer waktu itu. Namun, Tony tetap berusaha memenuhi harapan bapaknya untuk meneruskan sekolah hingga sampai ke bangku kuliah Sastra Inggris, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.
Akan tetapi, secara diam-diam ia mengajar kakaknya, Jon, dan adik-adiknya (Nomo, Yon, dan Yok) bermain musik. Mereka berlatih dengan peralatan yang dibeli dari gaji Jon dan uang tabungan ibunya. Gitar, bas, drum, dan amplifier mulai menumbuhkan semangat dan melahirkan keyakinan bahwa mereka juga bisa mendirikan band.
Namun, Koeswoyo tetap tak setuju. Maka, Atmini dan Jon menjadi sasaran kemarahannya. Dalam keadaan demikian, Tony justru memberikan semangat kepada saudara-saudaranya bahwa kalau sudah sekali bermusik, jangan tanggung- tanggung, apalagi berhenti.
Dari rumah di Jalan Mendawai yang ruang tamunya sempit itu pun hampir setiap hari terdengar suara musik. Mereka menyanyikan lagu-lagu Barat yang sedang populer, terutama karya Kalin Twin dan Everly Brothers. Lagu pop Indonesia waktu itu dianggap "kampungan" sehingga enggan dibawakan grup musik remaja, termasuk oleh Tony dan adik- adiknya.
Dengan menyandang nama Kus Bros, sekitar tahun 1958 mereka malang-melintang dalam berbagai acara ulang tahun atau pesta pernikahan hingga sunatan. Honor waktu itu soal kedua, yang penting bisa tampil di depan publik dan menyantap makanan enak.
Jon, Nomo, Yon, dan Yok menganggap pikiran itu gila. Tony pantang mundur, bahkan keluar dari tempatnya bekerja di Perkebunan Negara supaya mempunyai banyak waktu untuk mencipta lagu.
di tahun 1962, perusahaan rekaman yang mereka ketahui ada di Jakarta adalah PT Irama, milik Suyoso yang dikenal dengan panggilan Mas Yos. Tony menyiapkan sepucuk surat permohonan untuk bisa rekaman dan kemudian bersama Jon, Nomo, Yon, Yok serta Jan Mintaraga menuju ke Cikini, kantor PT Irama dengan naik bus.
Kus Brothers sebagai band sudah sering tampil di berbagai pesta, dan Mas Yos juga sudah pernah mendengar tentang mereka. Bersama Jack Lesmana, mereka menantang Tony menyiapkan lagu dalam dua minggu, baru boleh masuk ke studio PT Irama untuk rekaman.
Tony menerima tantangan itu dan kembali dua minggu kemudian. Mas Yos dan Jack terkejut sekaligus terkagum-kagum kepada anak muda yang penuh semangat itu. Tanpa pikir panjang, mereka dipersilakan merekam lagu-lagunya hari itu juga.
Tony bermain gitar melodi, bersama Jon (bas), Nomo (drum), Jan Mintaraga (gitar) mengiringi duet vokal Yon dan Yok. Baru tiga lagu Jan Mintaraga mengundurkan diri, lebih memilih melanjutkan sekolahnya di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta dan kemudian menjadi komikus. Sementara Jon dijadikan gitaris, dan bas dimainkan Yok.
Mas Yos menyarankan Kus Brothers yang sekarang anggotanya empat orang itu diganti namanya menjadi Kus Bersaudara. Dengan nama baru inilah album pertama Tony dan adik-adiknya diterbitkan tahun 1963, bersamaan dengan tahun dilangsungkannya Ganefo (Games Of The New Emerging Forces) atau pesat olahraga gagasan Bung Karno.
"Kalau seandainya dalam penyajian musik saya Saudara menemukan pengaruh-pengaruh dari penyanyi Barat terkenal Kalin Twin dan Everly Brothers, atau barangkali asosiasi Saudara dalam mendengar musik kami tertuju ke arah mereka, itu tidak kami sangkal dan salahkan karena memang mereka-lah yang mengilhami kami hingga terbentuk orkes kami ini," demikian Tony mengatakan dalam sampul piringan hitam (PH) pertama Kus Bersaudara.
PH yang berkode IML 150 berisikan 12 lagu yang diproduksi tepat 40 tahun yang lalu itu adalah Dara Manisku, Jangan Bersedih, Hapuskan, Dewi Rindu, Bis Sekolah, Pagi Yang Indah, Si Kancil, Oh Kau Tahu, Telaga Sunyi, Angin Laut, Senja, dan Selamat Tinggal.
Waktu itu usia Tony 26 tahun, Nomo (23), Yon (19), dan Yok (17). Jadi tidak heran lagu-lagu mereka berisikan lirik-lirik tentang harapan, cinta, kebahagiaan, dan kesepian. Ada kesan pada penerbitan PH ini Kus Bersaudara bertindak sebagai band pengiring Yon dan Yok.
Selain itu, yang perlu dicatat, 12 lagu Kus Bersaudara itu adalah ciptaan Tony. Demikian juga dalam beberapa PH single seperti yang berkode IME-121 berisikan empat lagu: Dara Berpita, Untuk Ibu, Di Pantai Bali dan sebuah lagu karya Pak Dal, Bintang Kecil. PH single lainnya yang berkode IMC-1868 hanya berisikan dua lagu, Kuduslah Cintaku dan Harapanku.
Walaupun sudah memiliki lagu-lagu sendiri dalam bentuk rekaman, Kus Bersaudara masih dibayar dengan honor yang seadanya kalau menyanyi di panggung. Lagu-lagu Tony boleh saja populer, tetapi kehidupan ekonomi keluarga Koeswoyo tidak banyak berubah.
Yang berubah justru Kus Bersaudara menjadi Koes Bersaudara. Demikian juga musik dan vokal Yon dan Yok, dari gaya Kalin Twin dan Everly Brothers ke The Beatles. Bahkan, mereka sampai merasa perlu berjas tanpa leher seperti yang dikenakan oleh John Lennon dan kawan- kawan.
Penjara Glodok
dua tahun setelah menerbitkan PH pertama, Koes Bersaudara menjadi grup musik papan atas. Namun, Tony dan adik-adiknya masih merasa perlu manggung secara berkala di gedung bioskop Megaria sebagai selingan pemutaran film atau di International Airport Restaurant Kemayoran dua kali seminggu. Yang hadir hampir selalu minta mereka membawakan lagu-lagu The Beatles.
Padahal, pemerintah memberlakukan Panpres Nomor 11 Tahun 1965 yang melarang musik "ngak- ngik-ngok" yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat. tetapi, Tony sulit mengelak permintaan penggemarnya.
Bersama Dara Puspita dan Quarta Nada, Koes Bersaudara tanggal 25 Juni 1965 diundang ke sebuah pesta. Ketiga band itu membawakan lagu-lagu Barat secara bergantian.
Ketika Koes Bersaudara yang tampil terakhir baru saja mulai membawakan nomor The Beatles, I Saw Her Standing There, lemparan batu-batu menyasar ke atap rumah itu diikuti teriakan "Ganyang Nekolim! Ganyang Manikebu! Ganyang Ngak-ngik- ngok!"
Pertunjukan pun terhenti. Koes Bersaudara dipaksa minta maaf dan Tony memenuhi permintaan itu serta dipaksa berjanji tak akan memainkan lagu ngak-ngik-ngok lagi. Setelah nama-nama personel dari band penghibur itu dicatat oleh pengunjuk rasa, semua bubar.
Tony, Nomo, Yon, dan Yok pulang dengan perasaan lega. Tetapi, empat hari kemudian, tepatnya tanggal 29 Juni 1965, mereka ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Glodok. Perintah penangkapan berjudul Surat Perintah Penahanan Sementara Nomor 22/023/K/ SPPS/1965 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta dan ditandatangani L Aroen SH.
Kurang 100 hari keempat bersaudara itu mendekam di Penjara Glodok, yang sekarang telah menjadi pusat perdagangan Glodok yang antara lain menjajakan dengan bebas lagu-lagu Tony yang diproduksi para pembajak. Mereka dibebaskan 27 September 1965.
Pengalaman selama 100 hari itulah yang antara lain dituangkan ke dalam dua album Koes Bersaudara, Jadikan Aku DombaMu dan To The So Called The Guilties yang diterbitkan Dimita Moulding Company dengan label Mesra.
Kedua album itu berisi 20 lagu Tony dan satu ciptaan Yon: Untuk Ayah Ibu, Lonceng Yang Kecil, Rasa Hatiku (Yon), Jadikan Aku DombaMu, Aku Berjanji, Balada Kamar 15, Bidadari, Bilakah Kamu Tetap Di Sini, Mengapa Hari Telah Gelap, Untukmu, Bunga Rindu, Lagu Sendiri, Coorman, Hari Ini, Three Little Words, To The So Called The Guilties, Apa Saja, Di Dalam Bui Poor Clown, dan Bintang Mars. Tony mengakui terus terang, musik dalam album-album ini banyak dipengaruhi The Beatles.
Hingga era Koes Plus, lirik lagu Tony dinilai sejumlah kritikus tidak mengalami kemajuan, kecuali beberapa saja seperti Nusantara. Namun, dalam penyusunan nada dan aransemen, Tony diakui banyak kalangan.
Mereka bahkan menjadi "pelumas" roda industri musik Indonesia sampai saat ini. Jarang ada pencipta lagu yang bukan hanya menciptakan lagu pop berbahasa Indonesia, namun juga dalam bahasa Jawa, keroncong, kasidahan, Natal, anak-anak, pop Melayu dan bosanova. Koeswoyo Senior yang tadinya menentang, ikut menciptakan lagu dan mendorong Tony memopulerkan keroncong bagi anak-anak muda generasinya.
Perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru membuka kesempatan lebih luas bagi Koes Bersaudara untuk berkembang sehingga mereka mendapat panggilan pentas di mana-mana. Tony dan adik-adiknya tampil sebagai lambang kebebasan atas penindasan dan kesewenang-wenangan politik.
Bulan Agustus 1966, Koes Bersaudara melakukan pertunjukan keliling Jawa dan Bali. Hasilnya, keluarga Koeswoyo bisa pindah rumah yang lebih luas, Jalan Sungai Pawan 21 Blok C, masih di Kebayoran. Tetapi, setelah itu kehidupan anggota grup ini tetap dalam kesulitan. Nomo, misalnya, meninggalkan posisinya sebagai penabuh drum dan memilih berusaha di luar bidang musik untuk menghidupi keluarganya.
Posisinya kemudian diisi Murry, mantan drummer Patas Band. Lahirlah Koes Plus pada tahun 1969. Dalam era inilah Tony, Yon, dan Yok mendirikan Kompleks Koes Plus di Jalan Haji Nawi, Kebayoran Baru, setelah mereka menjadi grup papan atas setelah lagu Derita serta Manis Dan Sayang menawan hati para penonton yang hadir dalam acara Jambore Band di Istora Senayan akhir tahun 1969.
Sementara itu, Nomo ternyata tetap tak bisa lepas dari musik. Setelah berhasil dengan berbagai bisnisnya, ia lalu membangun studio rekaman dan mendirikan grup No Koes dan Nobo, serta bersolo karier. Kegiatan Nomo ini pada akhirnya memancing usaha mengumpulkan anggota Koes Bersaudara kembali.
Tony, Nomo, Yon, dan Yok memang berkumpul untuk menyelesaikan sejumlah lagu dalam album rekaman Kembali. Tetapi, usaha itu ternyata tidak mampu mengembalikan kejayaan Koes Bersaudara. Tony pun terus melangkah bersama Yon, Yok, dan Murry mengibarkan bendera Koes Plus hingga akhir hayatnya.
Tony meninggal dunia pada 27 Maret 1987 setelah dirawat selama dua bulan karena kanker usus. Ia meninggalkan dua istri, Astrid Tobing dan Karen, serta lima anak.
Theodore KS Penulis Masalah Industri Musik
(Kompas, Jumat, 10 Oktober 2003)
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 ulasan:
Catat Ulasan