Senin, 24 Jan 2005
Mata Biru Tinggal Separo
MEULABOH - Kawasan pesisir pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama ini populer dengan gadis-gadis cantik bermata biru, berkulit putih, dan berambut pirang. Mereka adalah keturunan Portugis yang sudah menetap beratus-ratus tahun di beberapa desa di Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Akibat bencana tsunami, warga Aceh keturunan Portugis yang berjumlah 2.000 itu tinggal separonya. Mereka yang selamat kini tinggal di sejumlah tempat pengungsian.Menurut Tengku M. Yahya Wahab, banyak warga keturunan Eropa itu yang menetap di Desa Ujung Muloh, Gle Jong, Gampong Biru, dan Kuala. Setiap desa yang berada beberapa meter dari bibir pantai tersebut dihuni sekitar 1.000-2.000 penduduk. Warga bermata biru membaur bersama dengan penduduk asli Aceh. Membedakan warga keturunan dengan warga pribumi relatif tidak sulit. Warna kulit dan mata mereka berbeda. Tubuh mereka juga tinggi seperti orang Eropa. Yang menarik, meski berparas cantik, kebanyakan di antara mereka agak pemalu jika bertemu dengan orang luar. Mereka juga menolak difoto. "Karena sifat pemalu itu, mereka terkesan eksklusif," kata Tengku Yahya, warga Lamno yang menjadi anggota DPRD Aceh Jaya. Mereka kebanyakan menikah dengan sesama keturunan Portugis. Tapi, belakangan, beberapa gadis mata biru bersedia diperistri laki-laki dari luar komunitas mereka.Gelombang mahadahsyat tsunami mengurangi jumlah warga keturunan tersebut. "Kalau dihitung, kisarannya bisa mencapai separo dari sekitar 2.000 warga," kata Yahya yang ditemui wartawan koran ini di posko Satkorlak Penanggulangan Musibah Tsunami di Meulaboh.Jarak ke Lamno sebenarnya lebih dekat dari Banda Aceh (60 kilometer) daripada lewat Meulaboh (150 kilometer). Namun, kawasan itu masuk dalam teritori Korem 012/Teuku Umar yang berpusat di Meulaboh. Karena itu, penanganan pengungsi di Lamno dikendalikan dari Satkorlak di Meulaboh.Menurut Kepala Bappeda Pemkab Aceh Barat Tengku Irwansyah, nenek moyang si mata biru itu berasal dari Portugis dan Spanyol. Mereka adalah sisa-sisa tentara dinasti Islam di Spanyol (Al-Hambra). Mereka mengasingkan diri ke luar Eropa setelah kekaisaran runtuh pada abad ke-14. Sebagian tentara kalah perang itu kemudian terdampar di wilayah pantai barat NAD, khususnya di Lamno. Sebagian di antara mereka menaklukkan kekuasaan kerajaaan Hindu di Aceh (Indrapuri) dan mendirikan kesultanan Aceh yang berlatar Islam. Di Lamno, mereka mendirikan kesultanan Lamno. "Karena itu, selain cantik, gadis-gadis mata biru itu dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat, seperti warga Aceh lainnya," terang Irwansyah.Pindah ke LamnoKerusakan total seluruh fasilitas pemerintahan dan fasilitas umum di Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, membuat pelayanan pemerintahan nyaris mandek. Karena itu, pemerintah pusat berencana memindahkan sementara ibu kota kabupaten pecahan Aceh Besar tersebut ke Lamno.Menteri Koordinator Bidang Kesra Alwi Shihab menyampaikan hal itu ketika meninjau pembuatan empat tempat relokasi sementara di Banda Aceh serta Aceh Besar kemarin. Menurut mantan menteri luar negeri era Abdurrahman Wahid tersebut, salah satu pertimbangannya, fasilitas publik di Lamno relatif utuh. Meski, kota kecil itu kehilangan sekitar 12.400 penduduk akibat tsunami."Bencana membuat Calang seperti terisap ke laut, sehingga seluruh fasilitas publik hancur total. Menjadi lebih menguntungkan bagi kita bila ibu kota Aceh Jaya sementara dipindah ke Lamno. Tentunya kalau masyarakat Aceh Jaya menginginkannya. Bupatinya sudah tidak keberatan," jelas Alwi.Dengan pemindahan tersebut, kata dia, diharapkan operasional pemberian bantuan bagi korban bencana selama masa tanggap darurat menjadi lebih terorganisasi. Seperti diketahui, akibat bencana itu, Bupati Aceh Jaya Zulfian Ahmad terpaksa berkantor di tenda TNI akibat seluruh kantornya hancur. "Pemerintah daerah dan pemerintah pusat pada masa depan bisa memikirkan apakah akan tetap menggunakan Calang atau memperluas fasilitas publik di Lamno," ungkapnya.Berdasarkan data Satkorlak Penanganan Bencana Aceh, Kota Lamno masih memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjadi ibu kota kabupaten. Di kota tersebut masih terdapat fasilitas pemerintahan, pendidikan, masjid, listrik, telekomunikasi, pasar, serta fasilitas publik lainnya. Saat ini, fasilitas-fasilitas itu menjadi kamp konsentrasi pengungsi dari Kecamatan Jaya, Sampoiniet, Setia Bakti, Krueng Sabe, serta Panga. Di kota yang saat ini hanya dijangkau 15 sorti (penerbangan) helikopter US Navy tersebut juga telah berdiri rumah sakit lapangan yang dikelola International Medical Corps dengan tenaga-tenaga medis asal AS. Rumah sakit yang dikepalai dr Jeffry Goodman itu mampu melayani 1.000 pasien rawat jalan per hari serta puluhan tempat tidur untuk pasien rawat inap. Rumah sakit tersebut juga menjalin kerja sama rujukan dengan rumah sakit lapangan yang dikelola ICRC (International Committee of the Red Cross) di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh. Setiap hari, pasien-pasien yang membutuhkan perawatan medis intensif serta tindakan operatif akan diterbangkan menggunakan helikopter ke RS ICRC. Saat ini juga telah dimulai pembangunan jembatan penghubung Lamno-Jantho di Kabupaten Aceh Besar yang memungkinkan pengiriman bantuan dari Banda Aceh dilakukan melalui jalur darat. Jembatan yang dikerjakan Korps Zeni TNI-AD tersebut direncanakan mulai bisa dioperasikan pekan pertama Februari mendatang. Berdasarkan data di Posko Induk Lamno, jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Jaya sekitar 96 ribu jiwa. Di antara jumlah tersebut, 50.758 orang dinyatakan selamat dari musibah tsunami pada 26 Desember 2004. Sedangkan sekitar 45.200 orang dinyatakan menjadi korban. Saat ini, sekitar 46 ribu penduduk Aceh Jaya menghuni tempat-tempat pengungsian. Mereka berasal dari Kecamatan Jaya sekitar 10 ribu jiwa, Sampoiniet (8 ribu jiwa), Krueng Sabe (11 ribu jiwa), Panga (3.500 jiwa), Setia Bakti (3.500 jiwa), serta Teunom (10 ribu jiwa). (agm/noe)