Gubri: Puluhan Tahun Jadi ”Sapi Perahan” Pusat
Laporan: Erisman Yahya, Jakarta
PROVINSI Riau menuntut bagi hasil minyak menjadi 40:60 (40 persen untuk daerah dan 60 persen untuk pusat, red) setelah sebelumnya hanya 15:85, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD).
Tuntutan tersebut disampaikan mengingat kondisi masyarakat Riau yang sebagian besar (40 persen lebih, red) masih hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga diperlukan dana yang tidak sedikit untuk mengangkat nasib mereka agar menjadi lebih manusiawi.
Demikian dikemukakan oleh Gubernur Riau (Gubri) HM Rusli Zainal SE dalam sebuah jumpa pers, di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Jumat (6/8) sore. Jumpa pers ini sengaja digelar karena saat ini DPR dan pemerintah sedang merevisi UU tentang PKPD. Gubri kemarin didampingi antara lain oleh Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Maswadi Rauf, ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) Revrisond Baswir, Dosen Unri Emrizal M, Kadispenda Provinsi Riau Achmad dan Ketua Umum Persatuan Masyarakat Riau Jakarta (PMRJ) Alwie Bucharie.
Menurut Gubri, tuntutan yang disampaikan ini semata-mata karena
ingin mengangkat harkat dan martabat masyarakat dan daerah Riau yang puluhan tahun hanya menjadi sapi perahan pusat. ‘’Riau memang terkenal kaya raya karena potensi SDA-nya. Di atas minyak, di bawah minyak, tapi di tengah-tengahnya terdapat sekian banyak masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan dan tidak berpendidikan,’’ katanya.
Ini fakta yang tidak kita buat-buat. Kalau tidak percaya, silakan datang ke Riau, lihat sendiri bagaimana prihatinnya kehidupan masyarakat Riau. Hingga kini, tercatat sekitar 40 persen lebih masyarakat Riau yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sekitar 60 persen lebih tidak tamat SD,’’ kata Gubri, menjelaskan.
Gubri mengatakan bahwa memang sejak bergulirnya otonomi daerah pada tahun 2002, Riau mendapat dana bagi hasil yang cukup lumayan. Namun, dana itu masih jauh dari cukup untuk membangun dan mengangkat nasib masyarakat Riau yang sudah terlalu lama menderita. ‘’Memang kita sudah dapat dana bagi hasil sejak otonomi ini, tapi terus-terang, itu masih jauh dari cukup,’’ ungkap Gubri.
Gubri lalu meminta kepada semua pihak agar jangan tuntutan ini dianggap sebagai terlalu mengedepankan ego daerah, karena semata-mata ini untuk kebaikan masyarakat dan bangsa ini. ‘’Saya mohon, kita jangan apriori dulu. Tuntutan ini tidak mungkin ada kalau kondisi masyarakat Riau lebih baik dari yang ada sekarang,’’ ucap Gubri.
Gubri juga sempat membandingkan kondisi Riau dengan provinsi-provinsi lain yang infrastrukturnya sudah jauh lebih baik. ‘’Infrastruktur Riau itu baru sekitar 36-40 persen. Masih jauh dari yang diharapkan. Jangankan jalan kabupaten atau desa, jalan provinsi saja masih banyak yang rusak. Tapi lihatlah Sumbar, Jambi, Sumsel, Sumut, infrastruktur mereka jauh lebih baik, padahal tidak sekaya Riau. Inilah kondisi kita,’’ urai Gubri lagi.
Apalagi, kata Gubri, kalau kondisi Riau dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapurayang berbatasan langsung dengan Riau. ‘’Ini ibarat siang dan malam, padahal jarak antara Riau dan Malaysia atau Singapura itu hanya beberapa kilometer saja, tapi perbedaannya sungguh sangat mencolok. Nah, bagaimana mungkin bangsa ini bisa dihargai bangsa lain, kalau Riau saja yang berada di border (perbatasan, red), menjadi etalase bagi bangsa ini, sementara kondisinya masih sangat memprihatinkan,’’ tegas Gubri.
Hal yang lebih tegas disampaikan Revrisond. Menurut dia, dengan dana bagi hasil minyak yang diterima Riau saat ini yang pada tahun 2003 lalu berjumlah sekitar Rp2,9 triliun, sebenarnya pemerintah pusat masih melakukan kezaliman terhadap Riau. ‘’Bagi hasil yang diterima Riau itu masih sangat jauh dari rasa keadilan. Bagaimana mungkin daerah penghasil yang menanggung segala akibat dari penambangan, hanya diberi 15 persen, itu pun masih dibebani PBB,’’ ulas anak jati Riau itu.
Revrisond bahkan sempat membandingkan perhatian pemerintah terhadap Bank milik pemerintah yang nota bene nasabahnya kelas menengah ke atas, namun oleh pemerintah diberi suntikan dana hingga Rp10 triliun. ‘’Tapi Riau yang menjadi penghasil, dimana masyarakatnya 40 persen lebih hidup dalam kemiskinan, infrastrukturnya masih jauh dari memadai, hanya diberi Rp2,9 triliun. Ini kan sebuah kezaliman,’’ tegasnya seraya mengatakan bahwa produksi minyak Riau kini terus menurun, terakhir diperkirakan tinggal 800 ribu barrel per hari, padahal dulu mencapai 1,2 juta barrel per hari. Kalau Riau tidak diberikan bagian yang layak, maka nanti kalau minyaknya sudah habis, masyarakat Riau yang akan menanggung akibatnya.
Dalam pada itu, Maswadi Rauf mengatakan bahwa tuntutan yang disampaikan Provinsi Riau cukup moderat. Sebenarnya, kata Maswadi, masih jauh dari dana bagi hasil yang diterima oleh Aceh atau Papua yang mendapat dana bagi hasil minyak dengan perbandingan 70:30 karena keduanya mendapat status otonomi khusus.
‘’Tuntutan ini sangat-sangat moderat. Oleh sebab itu, sangat wajar diakomodir,’’ katanya.
Maswadi sempat mengungkapkan keheranannya terhadap perilaku pemerintah pusat, dimana kalau daerah sudah bergolak, mau memberontak, baru diberikan dana bagi hasil yang lumayan. Tapi kalau masyarakatnya tidak melawan, seperti di Riau, maka dibiarkan begitu saja. ‘’Apa pusat menunggu masyarakat Riau memberontak dulu, baru kemudian diberi otonomi khusus? Kita sebenarnya kan ingin menyampaikan tuntutan dengan cara-cara yang sopan dan bijaksana,’’ kata pria kelahiran Kuansing itu.
Harus Satu Kata
Terkait tuntutan yang disampaikan Provinsi Riau, anggota DPR RI asal Riau Dra Hj Rosnaniar mengaku sangat mendukung. Menurut dia, masyarakat Riau harus satu kata dalam memperjuangkan tuntutan ini. ‘’Tidak ada yang tidak mungkin. Tuntutan ini sangat mungkin diakomodir oleh DPR dan pemerintah pusat, kalau masyarakat Riau satu kata dalam berjuang dan gencar melakukan lobi-lobi,’’ ulasnya.
Menurut Rosna, saat ini Panja revisi UU tentang PKPD sedang bekerja. Pemerintah Provinsi Riau dengan didukung oleh semua komponen masyarakat punya kesempatan untuk menyampaikan aspirasi. ‘’Kalau disampaikan dengan alasan yang logis, saya yakin bisa diakomodir,’’ katanya.
Sekedar informasi, menurut pengakuan Gubri, pihaknya terus melakukan lobi-lobi baik melalui jalur formal maupun informal. Menurut Gubri, tuntutan ini juga didukung oleh daerah-daerah penghasil migas lainnnya.
Selain menuntut bagi hasil minyak dengan komposisi 40:60, Provinsi Riau juga menuntut bagi hasil gas dengan komposisi 50:50, sebelumnya hanya 30:70.(Riau Pos/eyd)