Karomah dari Tanah Duka
Bermacam keajaiban dan kebesaran Allah, nampak di Aceh. Mulai dari besarnya gelombang sampai cara-cara selamat yang tak masuk akal.
Pagi itu, daerah Krueng Raya yang berada di pantai barat Privinsi Nanggroe Aceh Darussalam ramai. Seperti biasa. Perkampungan di garis pantai itu, dipenuhi anak-anak yang turun bermain di bibir laut. Di daerah itu pula, Taufik bin Ahmad tinggal bersama istri dan seorang anaknya.
Rumah sederhananya berdiri di samping sebuah meunasah, atau mushalla, An Nur. Di meunasah itu pula, Taufik bin Ahmad setiap malam sampai subuh mendirikan shalat tahajud dengan sujud-sujud panjangnya. Mengajar ngaji anak-anak kecil dari perkampungan pantai dan juga berdakwah. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu, hari Ahad (26/12) langit juga cerah. Awan putih bergumpal dan berarak di langit biru. Tapi tiba-tiba bumi berguncang dengan kuatnya. Kepanikan, sesaat melanda penduduk perkampungan di garis pantai itu.
Tapi tak lama. Kepanikan yang mengepung segera sirna. Maklum, gempa memang bukan hal yang aneh pagi penduduk Serambi Mekkah ini. Tapi bukan karena itu saja, air pantai yang surut hingga lebih dari satu kilometer yang menyisakan ikan-ikan yang menggelepar di pantai begitu menggoda penduduk. Berduyun anak-anak dan juga orang dewasa, turun ke pantai yang garisnya sudah jauh surut. Mereka berebut ikan yang menari-nari di atas pasir.
Tapi, tidak dengan Taufik bin Ahmad. kepada SABILI ia mengaku perasaannya begitu ngeri melihat air surut dari pantai dengan cepatnya. Ia berteriak-teriak pada orang-orang untuk tak turun ke pantai. “Jangan. Jangan ke pantai,” pekiknya. Tapi tak ada yang hirau pada teriakan itu.
Ia berlari dan bilang pada istrinya, untuk segera menjauh dari pantai. Meski ia tak tahu apa yang bakal terjadi, perasaannya mengatakan ada yang tak wajar. Ia menyuruh istri dan anaknya untuk kembali ke rumah. Tak berapa lama, hanya dalam hitungan tak sampai beberapa menit ombak yang seperti tembok tingginya datang bergulung-gulung. Menggulung pantai, orang dan rumah-rumah. Taufik bin Ahmad pun terpisah dari anak dan istrinya.
Istri Taufik dan anaknya, masuk ke dalam meunasah. “Saya yakin, Allah tidak akan berbuat apa-apa dengan meunasah ini. Saya yakin, Allah akan menyelamatkan meunasah dan orang-orang di dalamnya,” ujar istri Taufik pada SABILI beberapa hari setelah badai usai.
Dan memang, meunasah itu tak apa-apa. Meunasah sederhana yang terbangun dari papan itu memang terbawa arus sampai beratus-ratus meter dari tempatnya berdiri semula. Begitu juga istri dan anak Taufik bin Ahmad. Dari dalam meunasah ia merasakan hantaman ombak tsunami, pusaran air yang menggulung-gulung. Tapi meunasah itu selamat, begitu juga anak dan istri Taufik bin Ahmad. Beberapa jam setelah air surut, suami, istri dan anak itu bertemu. Dengan selamat.
Padahal, tak jauh dari sana, masih di Krueng Raya, tangki-tangki Pertamina yang berukuran besar, dari besi dengan bobot berton-ton telah poranda. Bentuk aslinya telah hilang oleh gelombang tsunami yang menghantam. Meunasah kecil An Nur yang sederhana, adalah keajaiban Allah yang dituturkan oleh keluarga Taufik bin Ahmad, keluarga yang selamat di dalam rumah Allah itu.
Masih di Kreung Raya, keajaiban dipertontonkan pada manusia. Sebuah dayeuh atau pesantren, Darul Hijrah namanya, adalah saksi sekaligus penerima dari karomah yang luar biasa itu. Pesantren yang berdiri di tepi pantai itu cukup indah dengan pemandangan langsung ke arah pantai. Tapi itu adalah pemandangan sebelum gelombang tsunami menghantam.
Meski pantai sudah tak seperti dulu lagi, Darul Hijrah masih tetap seperti semula. Dayeuh dengan enam bangunan yang terbuat dari rumah panggung papan itu bahkan tak bergeser sedikit pun. Puluhan santrinya selamat, tak kurang suatu apa.
Menurut keterangan santri dan penduduk sekitar, gelombang tsunami memang menerpa. Namun, tepat di sekitar dayeuh, arus gelombang seakan melemah. Bahkan gelombang seolah terbelah dan membiarkan dayeuh selamat dari terjangan tsunami. Padahal, sekali lagi, Pertamina yang tak jauh dari tempat itu, hanya berjarak beberapa kilometer saja, lantak oleh tsunami. Tangki-tangki besar yang berbobot mati berton-ton penyok, tak sesuai bentuk asalnya. Bahkan tangki-tangki itu tak berdiri di tempatnya semula.
Pesantren atau dayeuh lain yang selamat adalah Nasrul Muta’alimin, di kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Dayeuh yang berada hanya beberapa ratus meter saja dari laut yang menjadi pusat tsunami ini selamat tak kurang suatu apa. Begitu juga para santrinya, tak seorang pun menjadi korban. Menurut seorang santri, Halimah, yang ditemui SABILI, para penghuni pesantren mengamati terjangan tsunami sejak awal. Detik demi detik. Sementara itu, di dalam pesantren, seluruh santri dan guru berzikir tak putus dan memanjatkan doa tiada henti.
Dan alhamdulillah, doa mereka seakan terjawab. Gelombang air yang begitu dahsyat itu seolah terpisah saat sampai di Pesantren Nasrul Muta’alimin. Air hanya lewat dengan begitu tenang di bawah bangunan pesantren yang berbentuk rumah panggung. “Kami semua membaca al-Qur’an dan berdoa tak henti-henti ketika ombak laut datang,” ujar Halimah yang saat itu tak menyangka akan begitu banyak korban yang ditelan tsunami yang melintas di hadapannya.
Masjid Kreung Raya pun tetap utuh seperti sedia kala. Air memang sempat masuk ke bangunan masjid. Tak tak satu pun tiang atau sudut bangunan masjid ini yang roboh. Masjid ini masih berdiri kokoh di ujung muara kreung (sungai, Aceh). Jika melihat posisi masjid yang benar-benar nyaris di bibir pantai, rasanya mustahil bagi akal untuk menerimanya tetap berdiri tak kurang suatu apa. Allah memang telah memilih apa yang hendak diselamatkan, dan apa pula yang hendak dilumatkan.
Daerah garis pantai Kreung Raya memang menyimpan banyak cerita setelah tsunami reda. Di pantai itu pula ulama besar dari abad silam, Syiah Kuala dimakamkan. Makam yang indah di tepi pantai.
Di tepi pantai itu pula, dua malam sebelum bencana, menurut keterangan penduduk yang selamat, beberapa anggota Brimob yang beragama Kristen merayakan malam Natal. Acara cukup meriah, ujar seorang penduduk yang selamat. Tapi tak hanya perayaan Natal. Pada malam berikutnya, perayaan Natal berganti dengan pesta. Tak jelas, apakah orang-orang yang berada di tempat tersebut sama dengan orang-orang sebelumnya, tapi yang jelas, malam itu lebih meriah dengan malam sebelumnya.
Pesta api unggun hingga pagi hari. Tenda-tenda juga didirikan. Suara-suara perempuan terdengar oleh penduduk dari kejauhan. Entah sedang berlangsung pesta apa di pantai dekat makam Syekh Syiah Kuala itu. Pesta memang terus berlangsung hingga sinar matahari memecahkan gelap langit. Penduduk sekitar menceritakan, orang-orang tersebut bahkan masih berada di pantai saat gempa mengguncang. Peserta pesta semalam itu, dituturkan, terkaget-kaget juga saat air pantai surut hingga jauh ke laut. Mereka terbengong-bengong dan tak tahu apa yang terjadi.
Di saat seperti itulah, air datang. Tapi anehnya, menurut penduduk, air tak hanya datang dari arah laut. Air keluar dari arah makam. Air hitam, tinggi menjulang. Dan para peserta pesta pun terkepung. Dari depan mereka, arah laut, sebelum sempat sadar, gelombang dengan kecepatan setara jet komersial datang menghantam. Sedangkan dari belakang, air yang memancar tinggi, setinggi pohon kelapa dan juga bagai tembok, panjangnya menghalangi jalan keluar.
Benarkah cerita yang dituturkan penduduk Kreung Raya itu? Tentang air hitam yang keluar dengan dahsyat dari areal makam? Wallahu a’lam. Yang jelas, makam Syiah Kuala yang berusia ratusan tahun itu kini telah hilang, nyaris tak meninggalkan bekas di tempatnya.
Keajaiban dan karomah lain diperlihatkan lewat pemeran lain. Kali ini hewan-hewan, bukan manusia. Sebelum gempa dan gelombang tsunami menghantam, tanda-tanda yang disampaikan oleh alam dan hewan telah bertebaran. Kawanan burung putih terbang berarak-arak di langit kota Banda Aceh. Menurut kakek nenek dan orang-orang dulu, jika kawanan burung putih melintas di atas langit, akan ada bencana yang datang dari laut. Begitu juga jika air laut surut dengan cepat dari pantai. Orang tua dulu telah memberikan nasihat turun-temurun, jika air surut dengan cepat, depat-cepat lari naik ke hutan. Karena tak lama, ombak setinggi pohon kelapa akan segera datang.
Setelah bencana terjadi pun, keajaiban yang ditunjukkan oleh alam dan binatang juga terjadi. Mayat-mayat yang terbengkalai di mana-mana, hingga hari ini dikhawatirkan menimbulkan gelombang bencana susulan. Gelombang wabah kolera.
Tapi hingga hari ini, dua pekan lebih setelah hari bencana, belum diketahui ada korban selamat yang terjangkit kolera. Dan ini adalah keajaiban lain.
Keajaiban yang lain adalah, tak ada lalat-lalat yang mengerumuni mayat yang sudah pasti akan membantu cepatnya penyebaran virus atau bakteri kolera. Keheranan akal ini dicermati dengan teliti oleh dr. Mastanto dari Posko Keadilan Peduli Umat (PKPU). “Saya heran, benar-benar tidak ada lalat. Saya tak bisa membayangkan kalau lalat-lalat ada. Kolera pasti tak terbendung,” ujarnya.
Keajaiban dan karomah, kebesaran dan karunia Allah memang tak pernah absen dari kehidupan manusia. Asal kita pandai membaca tanda-tanda, kebesaran Allah selalu ada di mana-mana. Dan seharusnya, kebesaran itu pula yang akan membuat kepala kita kian tertunduk, hati dan jiwa kita kian mengerti bahwa hidup tidak lain kecuali untuk beribadah. Kepada-Nya.
Herry Nurdi
sabili cybernews 2004
Cipinang Cempedak III No.11A Polonia Jakarta Timur 13340