KONTROVERSI film "Buruan Cium Gue!" (BCG!) terus berlanjut. Setelah film produksi Multivision Plus itu diprotes masyarakat - atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan tokoh agama AA Gym - dan terpaksa ditarik dari peredaran di bioskop-bioskop Indonesia, berbagai tanggapan pro dan kontra tetap saja mengemuka. Di satu pihak, penarikan BCG! dinilai sudah benar - setidaknya menurut MUI dan AA Gym - karena dianggap merusak moral dan meresahkan masyarakat. Di lain pihak, penarikan BCG! yang merupakan film pop biasa untuk konsumsi kaum remaja - khususnya menurut produser, sutradara, penulis skenario dan pendukung BCG! tentunya - dinilai lucu dan mengejutkan.
Film yang dibintangi Masayu Natasya dan Hengky K Chova itu terhitung sejak Jumat (20/8) harus ditarik dari peredaran karena surat lulus sensor film tersebut ditarik kembali oleh Lembaga Sensor Film (LSF) atas permintaan Menbudpar (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) setelah menerima masukan dari Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Ketua LSF Titie Said sendiri bertekad akan meneliti ulang dan melakukan revisi atas materi film tersebut. Belum jelas, apakah setelah dilakukan penelitian dan revisi ulang, film tersebut bisa kembali diedarkan. Sebagai film pop biasa (bukan film idealis), BCG! bukan tergolong istimewa. Menurut sutradara Findo Purwono HW, film BCG! mengungkapkan realitas pergaulan remaja saat ini (tentu bukan secara umum). Film tersebut berkisah tentang seorang pelajar kelas 3 SMU, Desi (Masayu Natasya) yang bekerja sebagai penyiar radio. Ia pacaran dengan Ardi (Hengky KC) yang sudah mahasiswa. Ardi ingin hubungan percintaan dengan pacarnya tidak harus dengan berciuman. Sedangkan Desi ingin sekali mencium pacarnya, tetapi selalu ditolak pacarnya itu. Sungguh kisah cerita yang sangat biasa.
Dalam film tersebut, tokoh Desi dan Ardi melakukan adegan ciuman tiga kali, yang sudah lolos sensor dari LSF. Menurut Ketua LSF Titie Said - seperti dikutip di media massa - pihak LSF sudah menyensor adegan ciuman lainnya yang dinilai kelewat hot. Misalnya, ciuman di bagian leher yang sudah dibasahi minuman keras serta ciuman lama di bibir. Demikian pula LSF juga telah meng-cut adegan teknik mencium yang dicontohkan dengan buah anggur dan buah pisang dan tak ditayangkan di BCG! Seperti kata Titie Said pula, sebagai sebuah karya seni dengan tema soal "ciuman remaja", tentu tak semua adegan ciuman harus di-cut LSF.
Adegan "panas" lainnya hampir tak terlalu menonjol dalam film BCG! Bahkan dibandingkan dengan film-film nasional lainnya yang beredar - setelah diloloskan LSF -, seperti Eiffel... I'm in Love, Arisan, dan 30 Hari Mencari Cinta, serta 25 film lokal lainnya, adegan panas dalam film BCG! tak lebih 'seru'. Di film Eiffel... I'm in Love, misalnya, adegan ciuman secara terang-terangan dilakukan pemeran utama Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Demikian pula film 30 Hari Mencari Cinta juga menampilkan adegan seorang laki-laki seks maniak yang menawarkan hubungan intim di luar nikah. Sementara film Arisan malah menampilkan adegan ciuman bibir antarsepasang laki-laki yang terlibat cinta sejenis.
Sudah barang tentu adegan panas dalam BCG! mungkin juga masih kalah 'dahsyat' jika dibandingkan dengan sejumlah film asing dari 510 judul film impor lainnya yang diloloskan LSF dari awal tahun 2003 hingga Agustus 2004.
Yang jadi pertanyaan, mengapa BCG! mendatangkan protes masyarakat? Bukankah - seperti kata Titie Said - untuk meloloskan film tersebut agar bisa diputar di bioskop, LSF telah menyensornya lewat lima orang anggota, termasuk tokoh agama?
Dalam kasus BCG, mungkin permasalahan sebenarnya hanya sepele, yakni terkait dengan judul film yang dinilai terlalu vulgar. Ini juga terungkap ketika Aa Gym menyoroti judul film tersebut yang dinilai tidak sesuai dengan budaya ketimuran, karena mengesankan mengajak remaja untuk berzina. Kendati secara materi dan isi sebenarnya tak bermasalah, namun penjudulan yang kurang pas pada sebuah film terbukti bisa mendatangkan protes dan malapetaka. Di sinilah kepekaan dan kehati-hatian dalam memperhatikan hal-hal yang kelihatannya sepele perlu lebih dikedepankan, baik bagi seluruh insan film maupun LSF dan mungkin BP2N.
Bagaimanapun penarikan film BCG dari peredaran sangat disesalkan. Sebagai suatu karya seni yang telah dikerjakan secara serius dengan menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya yang cukup besar, idealnya, film tersebut mendapatkan apresiasi masyarakat. Namun yang terjadi, film tersebut ternyata malah menimbulkan protes, dinilai meresahkan masyarakat dan dianggap merusak moral anak bangsa sehingga terpaksa ditarik dari peredaran. Ini tentu sangat tidak dikehendaki.
Namun terlepas dari itu, penarikan BCG bisa menjadi bahan introspeksi dan koreksi bagi semua insan film untuk lebih berhati-hati dalam memproduksi film-film baru lainnya di masa-masa mendatang. Bahwa orientasi mengejar selera pasar lewat penjudulan yang wah memang sah-sah saja. Namun hendaknya tetap memperhatikan budaya yang ada untuk menghindari penolakan pihak-pihak tertentu yang sangat menjunjung tinggi akhlak dan moral bangsa. Bahwa apa yang dirasakan baik sebagai suatu karya seni, belum tentu dapat diterima kalangan masyarakat tertentu. Ini harus dipahami secara arif dengan kepekaan tinggi.
Di lain pihak, perlu digarisbawahi, penilaian sebuah karya seni harus dilakukan secara seimbang dan proporsional. Sebuah karya film dapat merusak moral bangsa, tentu harus dibandingkan dengan fakta praktik "seks bebas" yang terjadi secara diam-diam di masyarakat. Harus dikaitkan pula dengan merebaknya karya sastra lainnya yang berbicara soal seks secara vulgar, tayangan iklan buka-bukaan dan program televisi lainnya yang kurang mendidik. Penilaian sebuah karya seni harus dilakukan secara jujur dan jernih agar tidak tergelincir pada kemunafikan.