Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Pages

Seniman ”Bengal” Harry Roesli Berpulang

Written By JOM JALAN on 12/12/04 | Ahad, Disember 12, 2004

JAKARTA, (PR).-
Seniman kondang asal Kota Bandung yang dikenal kerap bersuara kritis dan peduli terhadap kaum pinggiran, Harry Roesli (53) mengembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta, Sabtu (11/12) sekira pukul 19.55 WIB. Almarhum yang dirawat di rumah sakit tersebut sejak 3 Desember lalu mengalami gagal jantung.

Pria yang bernama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli ini lahir di Bandung pada 10 September 1951. Ia meninggalkan seorang istri, Kania Perdani, dan dua orang anak kembar, yakni Lahami Krishna Parana dan Layala Krishna Parana.

Berdasarkan informasi dari pihak keluarga yang diwakili adik ipar almarhum, Ruli Herdiwan, dan salah seorang anaknya, Lahami Krishna Parana, di Jakarta, sekira pukul 10.00 WIB tekanan darah Harry Roesli sempat drop. "Alat-alat yang sebelumnya sempat dilepaskan dari tubuh almarhum, dikenakan lagi," ungkap Ruli.

Dikatakan, sebelumnya Harry memang memiliki penyakit gula (diabetes), kolesterol, dan asam urat. "Dua hari lalu, ternyata juga ketahuan mengalami gagal ginjal. Hal itu diketahui, karena setiap makan selalu muntah-muntah," ujarnya.

Sementara itu, kakak almarhum dr. Ratwini Soemarso memaparkan bahwa kondisi adiknya itu terus memburuk sejak mengalami serangan jantung pada Jumat (10/12). "Hal itu menyebabkan gagal jantung dan gagal paru," katanya.

Pada pukul 22.15 WIB, jenazah almarhum dibawa dari rumah sakit dan disemayamkan di rumah Ratwini Soemarso di Jln. Besuki 10 Menteng Jakarta Pusat. "Rencananya akan dimakamkan besok (Minggu, 12/12, hari ini) di Ciomas Bogor di pemakaman keluarga," ungkap Ratwini.

Almarhum dirawat sejak 3 Desember 2004 di Ruang Paviliun Sukaman Kamar 4401 Rumah Sakit Harapan Kita. Pada Senin (6/12), istri dan kakak Harry Roesli sempat memberikan keterangan pers di Rumah Sakit Harapan Kita didampingi Asisten Direktur Medik dr. R.W.M. Kaligis Sp.J.P., dr. Tarmizi Hakim Sp.B.T., dan Kepala Departemen Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. dr. Dede Kusmana Sp.J.P, perihal penyakit yang diderita pemimpin Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) itu.

Diuraikan, pada Selasa (30/11) almarhum mengeluh sesak nafas. Sekira pukul 20.00 WIB, ia memeriksakan diri ke RS St. Borromeus Bandung. Pada hasil pemeriksaan itu, diketahui tekanan darahnya menurun drastis sementara kadar gulanya tinggi. Dari hasil ECG diketahui ia mengalami serangan jantung.

Kondisi Harry Roesli terus memburuk, sehingga keluarga memutuskan membawanya ke RS Harapan Kita Jakarta. Ada dugaan ia juga mengalami gangguan ginjal. Sebagaimana diketahui kemudian, pada 3 Desember ia kemudian diterbangkan menuju Jakarta dari Bandar Udara Husein Sastranegara Bandung dengan pesawat terbang sewaan.

Setibanya di Jakarta, ia mendapat penanganan oleh tim dokter yang dipimpin dr. Sunarya Soerianata dan Prof. dr. Harmani Kalim untuk menjalani pemasangan balon (balloning) pada jantungnya.

Sehari kemudian, ia harus melakukan pemasangan balon kedua, kateterisasi jantung, dan pemasangan stent. Namun kondisinya tetap lemah, sehingga untuk makan pun harus diberikan lewat infus. Sejak Sabtu (11/12) malam, kondisi kondisi cucu sastrawan Marah Roesli ini terus memburuk. Akhirnya Harry meninggal dunia di ruang ICU.

Bela sungkawa

Beberapa kalangan menyatakan kesedihan mendalam dan berkomentar bahwa almarhum adalah sosok yang telah memberikan sebagian hidupnya bagi perbaikan nyata kondisi kehidupan di Tanah Air. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas yang sempat berbicara langsung dengan almarhum beberapa waktu lalu, menyampaikan penyesalan tidak sempat menjenguk di rumah sakit.

"Sebelum almarhum masuk Rumah Sakit Harapan Kita, saya sempat berbicara dengannya melalui telefon dalam rangka pembuatan lagu antikorupsi. Saat itu, Harry menyambut gagasan tersebut dengan antusias," ungkap Erry Riyana yang menyampaikan hal itu melalui pesan SMS dan sambungan telefon selular kepada "PR" semalam.

Pekan lalu, tambahnya, ia berniat menjenguk almarhum di rumah sakit. "Namun, kemudian batal. Saya menyesal tidak sempat melakukannya. Kita sungguh sangat kehilangan sosok yang multidimensi, seorang seniman, budayawan, dan aktivis yang tidak sekadar kritis tapi mampu berbuat nyata. Ia antara lain membuktikannya dengan mengasuh sekian banyak pengamen jalanan. Selamat jalan kawanku, semoga mendapat ampunan Allah dan mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya," tuturnya.

Ucapan bela sungkawa juga disampaikan Ketua DPRD Jabar, H.A.M. Ruslan. Kepada "PR" tadi malam Ruslan menyebutkan, sebagai teman satu sekolah, ia benar-benar merasa kehilangan. Apalagi, dalam konteks kepentingan demokratisasi, Harry Roesli adalah sosok kritis dan pengawal demokrasi yang baik. "Baik secara pribadi maupun lembaga dewan, saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya Kang Harry. Saya harap, perjuangannya bisa diteruskan oleh generasi muda," kata Ruslan.

Sementara, salah seorang putranya Layala yang ditemui di rumah sakit mengiklaskan kepergian ayahnya. "Saya iklas papa pergi. Saya kasihan melihat kondisinya seperti itu, apalagi dengan berbagai peralatan yang menempel di tubuhnya. Meninggalnya papa mungkin pertanda baik, karena kalau melihat kondisinya saya sering merasa kasihan," ujar Layala yang tengah menyelesaikan sidang skripsi di Jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan Bandung. Saudara kembar Layala, Lahami sendiri lulus dari Program D3 Universitas Padjadjaran Bandung.

Di sisi lain, beberapa tokoh yang ditemui di rumah duka Jalan Besuki 10 Jakarta menyampaikan duka mendalam. Salahuddin Wahid atau lebih dikenal sebagai Gus Solah mengungkapkan kerap berhubungan dengan almarhum pada 1980-an di Bandung. "Kami beberapa kali bersama dalam acara diskusi, meski belum pernah terlibat kerja sama khusus. Saya rasa dunia musik kita sangat maju berkat perannya, demikian juga dalam dunia film. Sesungguhnya kita memang sangat kehilangan sosoknya," ungkap Gus Solah.

Pemain monolog Butet Kartaredjasa mengatakan kalau ia datang ke Kota Bandung, pasti Harry Roesli selalu memberikan inisiatif. "Kang Harry yang selalu menyodorkan inisiatif. Ketika Teater Koma main terakhir di Bandung, Kang Harry yang bikin musiknya. Kita kehilangan orang yang sangat cerdas dan selalu "mengguyon". Ia selalu mengatakan hidup ini perlu dibikin santai saja," ujarnya.

Hal serupa diutarakan pemusik Djaduk Ferianto. "Seluruh insan musik kehilangan beliau yang telah memberikan kontribusi demikian besar. Saya pernah berguyon dengannya bahwa kalau ada hari peringatan musik, maka akan ada hari-hari peringatan lainnya seperti hari teater, dan lain-lain. Sehingga setiap hari selalu ada peringatan, tapi bagi saya yang penting adalah 'Hari Roesli'," ujar Djaduk.

Tapi, kemudian ia mengatakan sebaiknya ada hari waiting list saja. "Sebab, kita sesungguhnya adalah bagian dari waiting list," ucapnya.

Sedangkan sastrawan Putu Wijaya memaparkan dalam sebuah pertemuan di Singaraja Bali, Harry mengatakan ingin merayakan HUT-nya dengan membuat buku sebanyak 300 halaman. "Tapi, isinya kosong, dan saya diminta memberikan pengantar sebanyak 10 halaman. Saya lantas mengirim pengantar itu, tapi ia mengatakan kecewa karena pengantarnya terlalu serius," ucap Putu.

Lantas, Putu Wijaya disuruh memperbaikinya. "Ia kemudian mengatakan pada perayaan itu ia berencana menggelar pertunjukkan musik, tapi musiknya sendiri kosong tidak ada apa-apa. Juga ada pemutaran film sepanjang tujuh menit, meski di atas layar juga kosong melompong. Teater saya juga boleh main, meski di atas panggung tidak ada apa-apa. Sungguh saya merasa pedih karena kepergiannya," kata Putu yang berbicara tersendat menahan tangis.

Karangan bunga

Sementara itu sejak mendengar kabar wafatnya Harry Roesli, sejumlah seniman, budayawan dan anggota Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) telah langsung berkumpul di rumah Harry di Jln. Supratman 53 Bandung. Sebuah karangan bunga duka cita datang dan langsung dipasang.

"Karangan bunga ini dikirim oleh anak-anak penyanyi jalanan di Simpang Dago. Barudak udunan meuli na (Anak-anak patungan membeli karangan bunga itu)," ujar Uwie, salah seorang penyanyi jalanan yang selama ini selalu turut bersama Harry Roesli dalam berbagai pertunjukan.

Di lain pihak, ketika dihubungi Doel Sumbang merasa bahwa sejak mendengar Harry Roesli sakit, ia telah merasa kehilangan. Hal itu dikatakannya karena ia merasa di Bandung pada Harrylah ia bisa mengemukakan setiap persoalan. "Dan karena itulah ketika Harry masuk Rumah Sakit saya sudah kehilangan," ujar Doel, seraya menambahkan bahwa bagi Harry tak hanya sekadar kawan, tapi guru dan kakak.

"Sebagai musisi ia terjebak pada sebutan musisi kontemporer. Padahal kemampuannya luar biasa. Dia bisa membuat musik pop atau musik iklan dengan hasil yang sangat bagus," kata Doel Sumbang.

Pengamat politik Eep Saefullah Fatah, yang berada di Bandung menghadiri sebuah diskusi di Studio Pohaci, ketika mendengar wafatnya Harry mengatakan, Harry adalah sosok yang penting dalam konteks tradisi penulisan politik di Indonesia. "Apa yang dulu disebut oleh Romo Mangunwijaya dengan cara berpolitik masyarakat marjinal itu diwakili oleh sebuah kolom yang tampil secara elegan. Dan itulah yang tampil di tangan Harry Roesli. Isinya adalah humor dan celetukan yang mengajak kita mentertawakan diri sendiri. Dan itulah ajakan terpenting dari setiap tulisannya," ujar Eep.

Kritik sosial

Menyimak perjalanan hidup dan karier bermusiknya, sosok Harry Roesli memang tidak pernah lepas dari dinamika jiwanya yang "pemberontak" dan kritis terhadap kemapanan. Bahkan, jauh hari ketika ia masih berstatus mahasiswa jurusan mesin penerbangan ITB, sikapnya yang selalu menentang kesewenangan rezim otoriter sudah nampak ke permukaan.

Pada saat ramai gelombang demonstrasi besar-besaran mahasiswa pada 1974 yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari) di Jakarta dan kemudian merembet ke kota lain termasuk Bandung, Harry Roesli menjadi salah seorang aktivis di dalamnya. Akibatnya, pada 1978 ia dikeluarkan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), karena kegiatannya dianggap membahayakan keamanan negara.

Bandung Peduli

Salah seorang sahabat almarhum, Perdana Alamsyah mengungkapkan, pada pascakrisis ekonomi di tanah air, Harry Roesli menunjukkan kepedulian terhadap persoalan masyarakat miskin. Pada tanggal 25 Februari 1998, bersama sejumlah seniman, wartawan, pengamen, mahasiswa, buruh, aktivis LSM, serta beberapa individu lain, ia mendeklarasikan gerakan keperdulian masyarakat Bandung terhadap kemiskinan.

Gerakan itu dinamai Bandung Peduli, mewadahi puluhan relawan yang tadinya tidak saling mengenal, yang datang dari berbagai tempat dan dari beragam latar belakang. Mereka bekerja bahu membahu, menghimpun dana, informasi, tenaga, obat-obatan, tetapi terutama sekali bahan pangan untuk didistribusikan langsung kepada kelompok masyarakat di pelosok-pelosok Bandung yang memerlukan.

Keluarga Harry Roesli merelakan ruangan-ruangan rumahnya, studio musiknya, halaman dan bahkan dapur keluarganya, dipergunakan sebagai markas Bandung Peduli mengorganisasikan kegiatannya.

Diperiksa polisi

Sudah suratan bahwa Harry akhirnya harus menjadi sosok yang akrab dengan musik bahkan menjadi bagian penting dalam hidupnya. Ia yang sebetulnya diharapkan orang tuanya menjadi dokter, malah mendapatkan beasiswa pendidikan musik elektronik di Rotterdam Conservatorium, Belanda pada tahun ia dikeluarkan dari ITB.

Sebelum berangkat, tanggal 23 Agustus 1978, ia bertunangan dengan Kania dan saat liburan panjang tanggal tanggal 24 Agsustus 1979, Harry menikahi Kania. Kania adalah putri sulung dari enam bersaudara pasangan Syabar Handiman Karta Mihardja (adik kandung pengarang Achdiat Kartamihardja) dan Joote Ardiwilaga.

Pada 2001, Harry juga sempat diperiksa oleh polisi di Polda Metro Jaya. Gara-garanya ia dianggap telah melecehkan Lagu Garuda Pancasila yang ia ubah syairnya. Kasus itu selesai, setelah Harry buru-buru meminta maaf.

Belakangan, Harry juga dikenal sebagai salah seorang juri Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang merupakan lomba bintang idola baru. Berperan sebagai juri lomba nyanyi pop kontemporer, Harry tetap tidak melepaskan diri dari kebiasaan melempar joke-joke segar namun sarat kritik sosial. Dalam ulasannya kepada para penyanyi, ia kerap menyebut dirinya sebagai Drs. Arif.

Anak bungsu pasangan Roeshan Roesli dan Edyana ini mendapat gelar profesor psikologi musik dari Rotterdam Conservatorium Belanda. Hingga akhir hayatnya, setidaknya ia sudah mengeluarkan 23 album. Harry Roesli juga tercatat sebagai pengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.(A-64/A-84/A-90/Ahda Imran)***