Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Pages

Written By JOM JALAN on 5/04/05 | Selasa, April 05, 2005


Imam Perempuan Asal Manhattan

RUANGAN Synod House di Gereja Katedral Saint John The Divine, New York, terkesan lebih lapang. Deretan bangku yang biasa memenuhi ruangan itu digantikan hamparan karpet biru, Jumat 18 Maret lalu. Sebuah prosesi ibadah yang tak lazim hendak berlangsung di kawasan Upper Manhattan itu. Yakni salat Jumat dengan imam dan khatib seorang perempuan. Tempatnya di gereja pula.

Sponsor ritual itu, Muslim Wake Up! dan Muslim Women's Freedom Tour, menyebutnya sebagai ''Historic Jum'a''. "Kami dengan bangga mensponsori perempuan pertama yang memimpin salat Jumat dengan jamaah campuran gender (laki dan perempuan)," tulis situs Muslim Wake Up! Imam perempuan itu adalah Dr. Amina Wadud, asisten profesor studi Islam di Departemen Filsafat dan Studi Agama, Virginia Commonwealth University.

Dalam pemahaman umum masyarakat muslim, perempuan hanya boleh menjadi imam salat bagi makmum perempuan. Bila jamaahnya lelaki, atau campuran laki dan perempuan, imamnya harus pria. Apalagi untuk salat Jumat. Ibadah mingguan ini hanya wajib bagi pria. Perempuan boleh saja ikut Jumatan, tapi dianjurkan salat lohor saja.

Karena itu, Jumatan dengan imam perempuan terasa lain. Sejak pukul 12.00 waktu setempat, sejam sebelum acara dimulai, 50-an jamaah sudah antre masuk kompleks gereja di ujung Jalan Amsterdam Avenue itu. Belasan polisi New York mengawasi antrean. Setiap orang diwajibkan membuka tasnya, lalu menyerahkan kunci dan peralatan lain dari besi. Badan mereka juga diperiksa dengan detektor.

Sepuluh menit sebelum salat dimulai, seorang pemrotes sempat lolos pemeriksaan. Ia lantas berteriak-teriak menentang acara tersebut, hingga akhirnya diringkus polisi. Sejumlah penentang sempat membawa spanduk bertuliskan, ''Mixed Gender Prayers Today, Hellfire Tomorrow''. Mereka baru pergi setelah diusir polisi.

Semula Jumatan akan berlangsung di Galeri Sundaram Tagore di Soho, New York. Namun, karena ada ancaman bom, akhirnya pindah ke Gereja Anglikan tersebut. "Kami mendapat banyak ancaman," kata Asra Nomani, pendiri Muslim Women's Freedom Tour, kepada Gatra.

Puluhan wartawan tampak campur aduk dengan jamaah. Beberapa wartawan yang tidak paham ketentuan tempat salat diminta mencopot sepatunya atau tidak menginjak karpet. Acara sempat molor 15 menit. Setelah wartawan diminta tidak berdiri menutupi arah kiblat, ritual pun dimulai.

Diawali ucapan selamat datang dari Asra Nomani. Wanita berpostur mungil mantan wartawan Wall Street Journal ini tidak mengenakan kerudung. Rambutnya dibiarkan tergerai sebahu. "Hari ini merupakan hari bersejarah," kata wanita asal Pakistan itu. "Karena posisi kaum wanita yang biasanya di bagian belakang masjid telah dipindahkan ke bagian paling depan.'' Asra telah membuat ''Rancangan 10 Hak Wanita Muslim Dunia''. Di antaranya, hak menjadi imam dan khatib Jumat.

Setelah ucapan selamat datang, dilanjutkan azan oleh Sueyhla El-Attar, penyiar radio di Atlanta, Georgia. "Allahu Akbar... Allahu Akbar!'' seru wanita asal Mesir itu sambil menutup telinga kiri. Suaranya tidak semerdu azan lekaki yang kerap terdengar di TV Indonesia. Sueyhla juga penulis, aktris, dan pernah menyutradarai drama The Vagina Monologues. Seperti Asra, Sueyhla tidak mengenakan jilbab.

Kemudian dilanjutkan dengan zikir, dipandu Saleemah Abdul-Ghafur. Pengarang buku Living Islam Out Loud: American Muslim Women Speak itu membaca surat Al-Fatihah tujuh kali, penggalan surat Yasin ''Salamun qawlun min rabbir rahim'' 33 kali dan ''ya nur'' 100 kali. Saleemah adalah pendiri majalah muslimah Amerika, Azizah. Lulusan Columbia University itu mengenakan kerudung cokelat muda.

Usai zikir, Dr. Amina Wadud masuk ruangan, dikelilingi sejumlah pengawal kulit hitam, juga berjas hitam. Amina berjalan menunduk. Ia mengenakan kerudung panjang warna kembang-kembang ungu dan busana muslim warna ungu. Setelah letak mikrofon dibetulkan, ilmuwan asal Afrika Selatan itu tampil ke depan jamaah sambil membawa dua buku catatan untuk bahan khotbah.

Awalnya, khotbah Amina terdengar membosankan. Banyak jamaah mengantuk. Amina memberikan gambaran bahwa Islam adalah agama cinta damai. Setelah berlangsung satu jam, khotbah penulis buku Qur'an and Woman ini mulai menarik. "Wanita bukanlah seperti dasi yang jadi pelengkap busana saja," kata Amina, "Wanita memiliki posisi yang sama dengan lelaki di segala bidang".

Acara dilanjutkan dengan iqamat oleh Sueyhla El-Attar. Lalu Amina tampil menjadi imam. Jamaah lelaki di sebelah kiri-belakang imam, wanita di kanan-belakang. Laki dan perempuan berdiri sejajar. Tidak ada tabir pembatas antara dua jenis kelamin itu. Beberapa jamaah perempuan tetap membiarkan kepalanya tanpa mukena.

Ketika membaca penggalan surat Al-An'am, usai membaca surat Al-Fatihah, Amina sempat terdiam sejenak. Entah karena tegang atau tak biasa menjadi imam, ia lupa lanjutan ayatnya. Seorang makmum lelaki di belakangnya membantu melanjutkan. Amina menirukan koreksi jamaahnya. Salat Jumat dua rakaat itu berlangsung lancar sampai akhir. Bagi Amina, ini bukan pengalaman pertama memimpin salat Jumat. Tahun 1994, ia pernah juga melakukannya di Afrika Selatan.

Sejumlah suara kontra di Amerika menyebut salat Jumat itu sebagai upaya promosi buku Asra Nomani, berjudul From Mecca to Middle America. Isinya tentang perjalanan Asra usai berhaji bersama anaknya, Shibli. Ia merasa, seharusnya wanita sejajar dengan lelaki. Waktu sembahyang di kotanya, Morgantown, West Virginia, ia masuk masjid dari arah depan. Asra pun dihujat dan diminta lewat pintu belakang.

Perlakuan itu membuat Asra bertekad mengubah posisi wanita muslim. Sebulanan lalu, Asra mengontak Dr. Amina Wadud untuk memimpin salat Jumat. Kabar ini segera menyebar ke berbagai kalangan. ''Kami menerima banyak ancaman, termasuk tuduhan bahwa kami agen CIA,'' tutur Asra kepada Gatra. Karena itu, lokasi Jumatan dikabarkan pada detik akhir. Peserta diminta mendaftar dulu via internet.

Beberapa hari sebelumnya, Aisha al-Adawiya, pemimpin organisasi wanita muslim terbesar di New York, Women in Islam, menuding peristiwa itu digerakkan kekuatan luar. Mohammad Nussrah, anggota kelompok Islamic Thinkers, menilai Amina menjungkirbalikkan interpretasi Islam. "'Kalau ini negara Islam, mereka sudah digantung," kata Nussrah.

Pengusaha teknologi informasi asal Mesir yang berkibar di Chicago, Ahmed Rehab, menulis di Media Monitors Network bahwa Amina dan Asra sangat egois. "Menjadi imam bukanlah prioritas utama perjuangan wanita muslim," ujar Rehab. "Kaum wanita muslim masih mengalami diskriminasi pekerjaan dan tidak mendapat simpati media massa."

Rehab mempertanyakan, apa yang bisa dilakukan Amina setelah diagungkan pendukungnya atau dihujat penentangnya dan headline media massa. "Lalu apa? Titik. Cuma segitu," kata Rehab. "Mereka seperti memanah rembulan dan bintang, meninggalkan dunia fana ini, tanpa perubahan berarti."

Dalam situs Muslim Wake Up!, panitia menjelaskan, acara itu tidak dimaksudkan untuk menyerang muslim lain yang berpandangan beda. "Ini bukan usaha 'mengubah Islam', juga bukan untuk orang lain yang memahami Islam berbeda dengan kami," tulis situs yang Rabu pekan lalu dirusak hacker itu.

Pada dasarnya, kata situs itu, perhelatan tersebut hanya menyuarakan klaim ulang wanita muslim tentang tempatnya yang sah dalam Islam. "Agenda tunggal kami adalah membantu umat Islam merefleksikan sifat dasar Islam yang egaliter," tulisnya. "Kami sangat mencintai dan peduli pada umat kami. Kami paham, orang akan punya beragam kesimpulan menyangkut prinsip Islam tentang perempuan memimpin salat."

Peristiwa itu sampai memicu perbincangan hangat di Timur Tengah. Grand Syaikh Al-Azhar Mesir, Dr. Syed Thantawi, angkat bicara lewat koran Al-Ahram. Ia meneguhkan pemahaman umum bahwa pada dasarnya wanita tidak boleh mengimami laki-laki. Baru boleh bila makmumnya perempuan. "Karena tubuh wanita itu aurat," kata Thantawi.

Ketika perempuan mengimami laki-laki, makmum laki akan melihat tubuh wanita. "Itu tidak patut," katanya. "Dalam ibadah, tidak boleh ada sesuatu hal yang merusak nilai kekhusyukan." Thantawi lalu menyitir surat Ali Imran ayat 14: ''Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada wanita''. ''Ayat itu menyiratkan bahwa perempuan bisa mengundang syahwat lelaki. Ini bertentangan dengan prinsip khusyuk dalam salat," kata Thantawi di koran terbesar Kairo itu.

Pandangan mufti terkemuka, Dr. Yusuf Qardlawi, juga diedarkan di situs Islam Online untuk merespons isu itu. Pendapatnya seirama dengan Thantawi. Sepanjang sejarah Islam, kata Qardlawi, tak pernah terdengar perempuan menjadi imam salat Jumat atau menjadi khatib. "Bahkan di era Sagharat Ad-Dur, perempuan yang memimpin Mesir zaman Dinasti Mamluk, hal itu tak terdengar," ujar Qardlawi.

Menurut penelitian KH Husein Muhammad, sejak zaman klasik, isu ini sudah jadi kontroversi ulama fikih. Kiai muda asal Cirebon itu terhitung tekun meriset kitab-kitab klasik Islam seputar isu perempuan. Hasilnya dibukukan dengan judul Fiqh Perempuan (2001). Para ulama fikih dari empat mazhab besar: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, sepakat bahwa perempuan tak boleh mengimami salat laki-laki. Bahkan Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, juga melarang perempuan mengimami perempuan.

Sedangkan ulama yang membolehkan adalah Abu Tsaur (w. 854 M), seorang mujtahid besar, Ibnu Jarir At-Thabari (w. 923 M), dan Imam al-Muzani (w. 264 H). Thabari adalah ahli tafsir terkemuka, ahli fikih, dan sejarawan. Sedangkan Muzani adalah murid utama Imam Syafi'i. Peta demikian, kata Husein, bisa ditemukan dalam buku klasik Al-Majmu Syarh al-Muhadzab karya Syarafuddin an-Nawawi dan buku ensiklopedi fikih kontemporer Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Zuhaili.

Riset Nevin Reda, aktivis Canadian Council of Muslim Women, menambahkan bahwa Abu Sulaiman Daud (w. 884 M), pendiri mazhab Dzahiri, juga membolehkan. Artikel serius Nevin yang menelusuri perdebatan mendalam seputar imam perempuan dimuat di situs Muslim Wake Up! Dan menjadi dasar pembenaran aksi Amina.

Di antara pangkal sengketa itu adalah adanya dua hadis Nabi. Yang satu melarang wanita menjadi imam, yang lain membolehkan. Sementara ayat Al-Quran tidak ada yang spesifik mengatur wanita sebagai imam. Larangan berasal dari hadis riwayat Ibnu Majah: ''Jangan sekali-kali perempuan menjadi imam laki-laki.''

Sedangkan yang membolehkan adalah hadis riwayat Abu Daud. Alkisah, Ummu Waraqah binti Naufal minta izin Nabi untuk Perang Badar. Namun Nabi memintanya tetap di rumah. Nabi lalu memberinya seorang muazin dan memerintahkan Ummu Waraqah menjadi imam bagi penghuni rumahnya (ahla dariha). Diriwayatkan Abdurrahman bin Khallad bahwa muazin yang dikirim itu seorang lelaki tua.

Dalam penelusuran Husein Muhammad dan Nevin Reda, hadis riwayat Ibnu Majah yang melarang itu berstatus lemah (daif). Karena dari rangkaian perawinya ada nama Abdullah bin Muhammad al-Adawi yang disanksikan integritasnya oleh para pakar hadis. Imam Bukhari, misalnya, menyatakan bahwa hadis riwayat Al-Adawi adalah mungkar (tak diterima). Pandangan serupa dikemukakan Ibnu Hibban dan Imam Ad-Daruquthni.

Sedangkan hadis Abu Daud yang membolehkan dinilai valid. Perawinya, Al-Walid bin Abdullah dan Abdurrahman bin al-Khallad, dinilai jujur oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Hibban. Dengan alur ini, pendukung imam perempuan mendapat pembenaran. Namun Husein Muhammad menunjukkan, penentang imam perempuan punya pertimbangan selain hadis. Yaitu antisipasi terjadinya fitnah. Bahwa kehadiran perempuan bisa menggoda kekhusyukan lelaki.

Bagaimana bila lelakinya sudah kebal godaan? Polemik ini memang tak bisa disemprit. Yang pro dan kontra selalu punya pegangan.

Asrori S. Karni, dan Didi Prambadi (New York)
[Agama, Gatra Nomor 20 Beredar Senin, 28 Maret 2005]

URL: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=83092