Written By JOM JALAN on 5/04/05 | Selasa, April 05, 2005
Pelita Amina Memanaskan Dunia
TREN imam perempuan dengan makmum lelaki tengah melanda ''negeri Abang Sam''. Reaksi kontra yang merebak di berbagai belahan dunia muslim tidak menyurutkan tekad para feminis muslimah Amerika Serikat menjadi imam salat. Jumat 1 April lalu, ritual mingguan dengan imam perempuan dan makmum campuran pria-wanita kembali dilakukan. Kali itu bertempat di Gereja Italian Unity, Morgantown, West Virginia, Amerika Serikat.
"Kami sudah disediakan ruang di dalam gereja," kata Asra Q. Nomani, 40 tahun, kepada Gatra, Kamis pekan lalu. Pendiri kelompok Muslim Women's Freedom Tour ini jualah yang merancang Jumatan kontroversial dengan imam Dr. Amina Wadud, asisten profesor studi Islam Virginia Commonwealth University, 18 Maret silam.
Bila sebelumya sekadar panitia, pada Jumatan di Morgantown pekan lalu, Asra diagendakan langsung menjadi imam dan khatib. Hingga Kamis lalu, baru terdaftar enam orang yang bakal ikut paket Jumatan Asra. Di antaranya seorang muslim dari Chicago dan seorang wanita dari New York yang baru masuk Islam.
Apa isi khotbahnya? "Saya akan mengambil ayat Al-Quran yang menjelaskan, orang muslim harus tabah menghadapi cobaan,'' kata Asra, yang tengah mempersiapkan khotbahnya saat ditelepon Kamis malam lalu. "Meskipun jamaahnya sedikit, kami bahagia dan harus tetap maju,'' ujar wanita keturunan India itu. ''Maklum, kami harus hati-hati, kami juga merasa takut,'' Asra lalu menutup pembicaraan telepon.
Beberapa pekan terakhir, kesibukan mantan wartawan Wall Street Journal itu memang tak lepas dari urusan perempuan jadi imam salat. Setelah menggelar perhelatan heboh bersama Amina Wadud di New York, tiga pekan lalu, Asra terus mendemonstrasikan aksinya.
Di tengah reaksi keras yang terus menerpa, empat hari kemudian Asra mengimami salat isya dengan makmum lintas gender, Selasa 23 Maret lalu. Tempatnya di ruang Pusat Riset dan Studi Wanita, Universitas Brandeis, Waltham, Massachusetts. Jamaahnya dua pria dan tiga wanita. Kali ini, Asra menutup kepalanya dengan topi yang terangkai pada sweater merah jambu yang ia kenakan. Namun rambutnya masih tampak menjuntai di leher.
Tiga wanita yang menjadi jamaahnya mengenakan baju, celana, dan kerudung yang menutup semua bagian tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Ini menyerupai batasan aurat perempuan dalam pemahaman konvensional: yang boleh terbuka hanya wajah dan telapak tangan. Saat Jumatan bersama Amina, kepala Asra dibiarkan terbuka. Begitu pun beberapa jamaah perempuan lainnya.
Dua hari kemudian, 25 Maret 2005, Asra mengorganisasikan salat Jumat di tepi Sungai Charles, Newton, Massachusetts. Ada kolam angsa di dekatnya. "Di kolam itu angsa-angsa liar berenang di air tenang, seolah dikirim Allah," kata Asra, bangga. "Sinar matahari terasa hangat dan angin semilir." Meski jamaah hanya tiga orang lelaki dan perempuan, Jumatan digelar juga.
Imamnya Nakia Jackson, 25 tahun, seorang mahasiswa pendidikan musik. Tahun lalu, Nakia menentang ketentuan masjidnya di Boston yang menempatkan perempuan di ruang terpisah, di atas karpet yang ternodai air kencing. "Hari ini adalah kemenangan masa depan Islam," kata Asra menjelang diimami Nakia. "Karena kami memperkuat misi wanita muda Islam untuk meraih tempat lebih baik."
Asra merasa, suksesnya menggelar Jumatan bersama Amina Wadud, pertengahan Maret, telah memberi kekuatan simbolik. "Sejak hari itu, kami punya keyakinan bahwa pria dan wanita berkedudukan sama dalam Islam," katanya. Ia tak pupus semangat meski jamaahnya pada Jumatan edisi berikutnya jauh lebih sedikit.
Asra memang sudah lama gelisah dengan posisi wanita dalam Islam. Ia banyak menemukan pengalaman langsung diperlakukan sebagai penganut agama kelas dua. Namun, ketika pergi haji, ia menyaksikan betapa egaliternya posisi pria dan wanita di Tanah Auci. Ia tuangkan semua itu dalam buku Standing Alone in Mecca, yang diedarkaan saat Jumatan bersama Amina Wadud.
Pengalaman itu membuat Asra bertekad mengubah posisi wanita muslim. Bersama Muslim Women's Freedom Tour, Asra melansir rancangan 10 hak perempuan muslim di masjid dan di ranjang. Sekitar Februari lalu, Asra mengontak Amina Wadud untuk memimpin salat Jumat. "Buat saya, Amina salah satu wanita muslim yang mengesankan," katanya. "Dalam masa perjuangan saya, dia selalu memberikan pelita dan petuah berharga." Pelita Amina memang kemudian memanaskan perdebatan nyaris di seluruh dunia.
Seperti diberitakan Gatra pekan lalu, Amina Wadud memimpin salat Jumat dengan makmum campuran laki-perempuan di Synod House, Gereja Katedral Saint John The Divine, Manhattan, New York. Pesertanya 50-an jamaah. Semula, Jumatan akan berlangsung di Galeri Sundaram Tagore di SoHo, New York. Namun, karena ada ancaman bom, akhirnya pindah ke gereja Anglikan tersebut (Gatra, 2 April 2005: ''Imam Perempuan Asal Manhattan'').
Bukan hanya khatib dan imamnya yang perempuan, petugas azannya juga perempuan. Tidak ada tabir pembatas antara jamaah laki dan perempuan. Jamaah lelaki berdiri di sebelah kiri-belakang imam, wanita di kanan-belakang. Laki dan perempuan berdiri sejajar. Peristiwa ini menyedot liputan berbagai media di Amerika. Karena baru pertama kali perempuan menjadi imam dan khatib salat Jumat.
Dalam pemahaman umum masyarakat muslim, perempuan hanya boleh menjadi imam salat bagi makmum perempuan. Bila jamaahnya lelaki, atau campuran laki dan perempuan, imamnya harus pria. Apalagi, salat Jumat tercitrakan sebagai ritualnya kaum pria: karena hanya wajib bagi pria. Perempuan boleh saja salat Jumat, tapi dianjurkan salat lohor saja.
Peristiwa itu menyulut polemik luas. Ulama di berbagai kawasan dunia menyampaikan tanggapannya: banyak yang kontra, ada pula yang pro. Demonstrasi juga mewarnai pelaksaan salat. Amina Wadud sendiri sejak itu enggan diwawancarai pers. Ketika wartawan mengerubutinya usai salat Jumat dua pekan lalu itu, Amina bungkam. Pengawalnya yang berbadan kekar berkali-kali memperingatkan, "Tidak ada wawancara... tidak ada wawancara."
Associated Press melaporkan, pengamanan di kampus Virginia Commonwealth University (VCU) ditingkatkan pasca-Amina memimpin Jumatan. Juru bicara VCU, Pamela Lepley, mengatakan bahwa sebenarnya belum ada ancaman khusus. Penjagaan itu hanya untuk antisipasi setelah pihak kampus berkonsultasi dengan agen federal.
Kasus itu telah mendorong diskusi terbuka di kalangan umat, akademisi, dan ilmuwan Islam tentang soal-soal yang selama ini dianggap final. Aksi nyata Amina dan jamaahnya mendorong sejumlah pertanyaan. Bukan hanya soal keimaman perempuan yang sudah banyak ditanggapi. Juga soal keabsahan salat di gereja dan batas aurat perempuan dalam salat yang belum banyak disorot.
Di tingkat wacana, masalah itu sebenarnya sudah lama menjadi menu debat dalam sejumlah literatur fikih klasik. Tapi Amina tidak sekadar berwacana. Ia langsung beraksi. Itulah lebihnya. Itu pula yang membuat efek gebraknya luar biasa. Orang dulu, bila mengharamkan kepemimpinan perempuan di pentas politik, kerap bersandar pada haramnya perempuan di ranah ibadah: imam salat. Namun sandaran itu dua pekan lalu didobrak oleh Amina Wadud.
Tidak bisa lain, kini orang harus membuka kembali referensinya. Bisa jadi, ia makin kokoh dengan pandangan lamanya atau malah meninggalkan. Di Mesir, salah satu pusat kajian Islam prestisius, kasus ini menjadi perdebatan hangat mulai masyarakat awam hingga pemikir top. Tak kurang, Prof. Dr. Sayyed Thantawi, Grand Syeikh Universitas Al-Azhar, dan Syeikh Yusuf Qardhawi, mufti terkemuka, ikut urun bicara (baca: Memicu Debat di Mesir).
Di Indonesia, tema itu juga menjadi perbincangan luas. Berbagai kelompok milis keislaman menjadikannya menu diskusi utama. Rabu pekan lalu, diskusi bertajuk "Refleksi Gerakan Perempuan Muslim Nasional" garapan Rahima Jakarta juga memperdebatkan tema itu. Pro-kontra pun mewarnai diskusi.
Dua pembicara bersikap kontra: Nur Sanita Nasution, Ketua International Moslem Union Chapter Asia, dan Ridha Salamah, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia. Dua pembicara lagi cenderung pro: Lies Marcoes Natsir, aktivis gerakan perempuan, dan Ita I Nadia, anggota Komnas Perempuan.
Dasar penolakan Nur Sanita dan Ridha Salamah adalah tiadanya pembenaran dari fikih, sebagaimana argumen para ulama Mesir. Sementara Lies Marcoes lebih melihatnya sebagai simbol perjuangan kaum feminis di Amerika untuk kesetaraan gender dan ras.
Lies mengingatkan, darah yang mengalir di tubuh Amina adalah Afro-Amerika. "Ras negro saja sudah membuatnya terdiskriminasi," kata master dari Leiden University itu. "Belum lagi ditambah wanita, dan janda pula. Anda bayangkan, dia mengalami diskriminasi bertingkat di sana," papar Lies.
Itulah yang membuat Amina melakukan serangkaian eksperimentasi untuk menunjukkan, Islam tidak melakukan diskriminasi semacam itu. "Dia ingin menunjukkan pada publik di sana, ini lho saya bisa menjadi pemimpin jika di Islam. Saya bisa apa saja dengan beragama Islam," kata Lies kepada Ajeng Ritzki Pitakasari dari Gatra. Di Indonesia, bisa jadi tema ini bukan agenda prioritas, tapi di Amerika mungkin saja kebutuhan.
Lies juga mengamati, dengan kasus Amina itu, perjuangan perempuan mulai beranjak ke wilayah praksis. Bukan sekadar wacana. Sementara KH Husein Muhammad, pemerhati isu perempuan dalam literatur Islam klasik, menilai aksi Amina pada ujungnya adalah gugatan atas tradisi yang "memenangkan" laki-laki: tradisi patriarki (baca: Imam Perempuan Perlu Dikenalkan).
Amina sendiri dalam khotbahnya juga mengkritik dominasi laki-laki dalam fikih (hukum Islam). "Hukum yang kebanyakan ditulis kaum lelaki telah menghapus hak-hak wanita muslim," kata Amina. "Kaum wanita muslim kehilangan hak-hak intelektualitas dan haknya menjadi pemimpin spiritual." Amina menilai kaum muslim menggunakan interpretasi sejarah yang salah dan mundur ke belakang.
"Kita sebagai umat yang hidup di abad ke-21 punya mandat untuk memperbaiki tanggung jawab partisipasi lelaki dan perempuan," kata Amina. Ia mengajak semua pihak bergandeng tangan memperbaiki posisi wanita yang selama ini dipandang sebagai ''rekanan seksual'' belaka. "Wanita bukanlah seperti dasi yang menjadi pelengkap busana," ujarnya. Amina kini sedang menuai ajakannya. Biasa, ada pro dan kontra.
Asrori S. Karni, dan Didi Prambadi (New York)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 21 Beredar Senin, 4 April 2005]
URL: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=83193