Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Pages

Kartini, Ahmad Wahib, dan Soe Hok Gie

Written By JOM JALAN on 18/02/05 | Jumaat, Februari 18, 2005

Oleh Imam Cahyono

Hikmah apa yang bisa kita petik dari Raden Ajeng Kartini, Ahmad Wahid dan Soe Hok Gie? Ketiga nama itu sepertinya tak pernah habis menjadi bahan pembicaraan. Padahal, ketiganya adalah sosok yang jelas-jelas berbeda, hidup dalam zaman yang berbeda pula. Kartini hidup semasa kolonialisme Belanda sedang berjaya di persada nusantara. Soe Hok Gie hidup dalam zaman peralihan, masa kemunduran Soekarno transisi menuju era Soeharto. Sementara Wahib, hadir di zaman awal pemerintahan Orba, saat umat Islam mengalami posisi marginal dan stagnan.Kartini begitu harum namanya sebagai pejuang perempuan dalam menghadapi dominasi feodalisme patriarkhi, sehingga setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, hari emansipasi kaum perempuan. Soe Hok Gie dikenal sebagai intelektual muda yang giat melawan tirani rezim Soekarno. Wahib terkenal dengan gagasan pembaruan Islamnya. Ia yang juga salah satu motor penggerak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hanya itu?Satu hal yang mestinya dicatat tebal adalah bahwa mereka giat dan terus-menerus berusaha berjuang demi terciptanya perubahan, melalui tulisan. Dengan menulis! Kartini menggerakkan simpul-simpul perubahan, sebuah revolusi melalui lipatan surat-suratnya. Soe Hok Gie dan Wahib membuka mata hati dan pikiran kita dengan catatan hariannya, dengan buku harian. Kita tak akan pernah kenal sosok Kartini kalau saja ia tidak menulis surat-surat, yang kemudian dikumpulkan oleh J.H Abendanon. Kita juga tak akan tahu, tak akan dengar nama Soe Hok Gie dan Wahib, kalau mereka tidak menulis catatan harian, yang kemudian dipublikasikan. Sehebat itukah menulis? Sedahsyat itukah efek yang dihasilkan dari sebuah tulisan?Resi-resi SejarahSiapa pun tak bisa memungkiri bahwa perkembangan peradaban manusia sebagian besar karena jasa para pengarang atau penulis. Demikian besarnya peran itu, sehingga Ben Okri, seorang novelis Afrika, menyebut pengarang sebagai ”resi-resi sejarah”.Pengarang adalah ”the town-criers”, barometer zaman. Bila kita ingin tahu apa yang sedang berlangsung pada sepenggal zaman, maka cari apa yang terjadi dengan para penulisnya.Tirani kekuasaan dapat merekayasa sejarah, membuat sejarah sesuka hatinya seperti yang dilakukan Orde Baru Soeharto. Masyarakat dapat bungkam dalam ketakutan dan kepasrahan, demi periuk nasi anak-anaknya. Masyarakat dapat pasrah, berserah diri dan terus menunggu datangnya zaman baru sampai penyakit waktu datang menggerogoti dirinya sendiri. Tetapi, penulis memberontak terhadap penantian. Mereka berkisah dalam tulisan-tulisannya, dalam buku-buku tentang apa saja. Tentang ketidakadilan, kemanusiaan, kejahatan, tragedi, cinta kasih, bumi yang rusak, otoritarianisme agama, dan banyak lagi. Penulis adalah pekerja keabadian tanpa pamrih. Menulis adalah bekerja untuk abadi. Orang boleh pandai setingggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang tertelan masyarakat dan lenyap dari pusaran arus sejarah. Hanya orang yang menuangkan gagasannya dalam tulisanlah yang akan dikenang dalam waktu yang lama. Dunia modern terbentuk, terbangun dan menjadi dunia seperti yang kita huni sekarang ini juga tak lepas dari keringat pergulatan para penulis dan karya-karyanya. Penulis adalah sosok yang selalu bergerak di tengah wacana dan hiruk pikuk masyarakat, kadang sejalan dengan arus, kadang melawannya untuk mengarahkan arus itu. Kartini, Wahib dan Soe Hok Gie adalah beberapa di antaranya. Masih ada ribuan penulis yang dengan jerih payahnya telah menenun tali persambungan peradaban manusia.Tak hanya itu, kemajuan suatu bangsa bisa diukur dari sejauh mana masyarakatnya memiliki tradisi menulis. Hanya bangsa-bangsa yang memiliki tradisi menulislah yang selalu menjadi pelopor kemajuan. Kebiasaan menulis mengantarkan manusia pada kearifan mengungkap gagasannya secara sistematis berikut apa yang dilihat, didengar, diraba dan dipegangnya. Bekerja untuk KeabadianKartini, Wahib dan Soe Hok Gie memiliki semangat yang luar biasa dahsyatnya, selalu disiplin dan konsisten untuk tetap menulis. Mereka begitu giat dan tekun sehingga dalam usia yang demikian muda sudah menghasilkan tulisan dengan bobot yang tak bisa dianggap remeh. Dan kita tahu, mereka mati muda. Barangkali, mereka sama sekali tidak akan pernah menyangka kalau ternyata tulisan, goresan pena yang mereka hasilkan akhirnya menjadi perdebatan sampai sekarang. Mereka juga tak tahu, kalau ternyata nama-nama mereka justru semakin tenar dan dikenal tatkala mereka sudah pergi menghadap panggilan Ilahi untuk selamanya.Kartini, Wahib, Soe Hok Gie adalah sederet nama yang akan tetap dibaca, ditelisik, dikaji dikritisi dan dikenang sepanjang masa. Gagasan-gagasan mereka akan selalu menjadi inspirasi bagi masa mendatang. Nama-nama mereka akan selalu abadi, dikenang oleh sejarah dan peradaban. Karena tanpa mereka sadari, dengan menulis mereka telah bekerja untuk keabadian, mengabdi pada sejarah dan peradabanKartini, Wahib, Soe Hok Gie adalah cermin-cermin peradaban pada masanya sendiri. Kita hanya bisa berharap, kelak, suatu saat nanti, akan hadir Kartini-Kartini muda, Wahib-Wahib muda, Soe Hok Gie-Soe Hok Gie muda, yang mewarisi nilai-nilai perjuangan, semangat, dan cita-citanya yang luhur. Dan, kita juga berharap, mereka tidak harus mati muda…***Penulis adalah editor Jurnal ”Interaksi” Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.