Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Pages

Gugatan Amina atas Tafsir dan Fikih Maskulin

Written By JOM JALAN on 9/04/05 | Sabtu, April 09, 2005

Oleh: Ahmad Musthofa Haroen

IslamLib.com, Jum'at, 8 April 2005

Jumat, 18 Maret 2005. 100 orang laki-laki dan perempuan menyelenggarakan ritual agama yang revolusioner di sebuah gereja Anglikan, The Synod house of The Cathedral of St. John The Divine, di kota New York, Amerika serikat. Gereja itu menjadi saksi bisu prosesi ibadah yang dalam Islam dikenal sebagai salat Jumat. Yang bertindak selaku imam sekaligus khatib salat itu adalah seorang profesor ternama dari Virginia Commonweath University, Dr. Amina Wadud Muhsin. Amina dikenal sebagai muslimah feminis Afro-Amerika. Konon kata berita, motif utama pelaksanaan ibadah unik ini adalah upaya kesetaraan gender; tema lama yang sampai sekarang masih tetap hangat diperdebatkan.

Tentu fenomena ini memicu banyak respons dari pihak-pihak yang merasa gerah dan marah. Ulama sekaligus Grand Syekh al-Azhaz di Mesir, Muhammad Sayyid al-Thanthawi mengajukan keberatan atas aksi Wadud, dan diikuti pula oleh ulama-ulama lain. Tapi bagi mereka yang sependapat dengan Amina, langkah serupa mungkin tak lama lagi akan diikuti.

Secara pribadi, saya pernah berbincang-bincang dengan Dr. Amina dalam sebuah workshop di Virginia, setahun yang lalu. Dari situ saya punya kesan pribadi. Dilihat dari fisik dan tutur kata, orang yang sempat bertatap muka dengannya akan yakin bahwa beliau merupakan salah satu prototipe muslimah dengan unsur feminitas yang sangat teruji. Kedalaman dan kegetolan beliau dalam menimba pengetahuan agama�khususnya menyangkut bidang tafsir�sudah tidak disangsikan lagi.

Sebagai feminis muslimah yang sejati, Amina dengan penuh kesadaran selalu mencoba mendobrak dominasi laki-laki dalam segala hal yang menyangkut Islam; agama yang konon membawa misi keadilan dan kesetaraan. Dobarakan itu pertama-tama ditujukan pada bidang tafsir dan fikih yang selama ini diyakini telah memberikan porsi begitu besar pada suara kaum laki-laki. Sementara untuk suara kaum perempuan, kalaupun ada, jelas tidak sebanding dan nyaris tak terdengar gaungnya.

Kuatnya kesan dominasi budaya patriarkhi yang melekat pada berbagai khazanah ilmu-ilmu keislaman (khususnya tafsir dan fikih) telah menginspirasikan Amina untuk berpendapat bahwa obyektivitas sebuah metode penafsiran tidak pernah bisa mencapai level yang absolut. Subyektivitas seorang mufassir (baca: laki-laki) selalu ada dan tak jarang lebih dominan di dalam muatan tafsir atau fikihnya.

Diakui atau tidak, fakta membuktikan bahwa kewenangan dalam menafsirkan teks-teks suci pada tataran praksis secara eksklusif dikuasai oleh kaum laki-laki. Maka wajar biala ada semacam absolutisme ijtihad di sini. Secara logis dan naluriah pula, kenyataan ini ikut menginfiltasi sejumlah teks yang sedianya diperuntukkan bagi feminitas wanita dengan susupan-susupan subyektif dari pandangan maskulin si mufassir. Pengalaman laki-laki kemudian dipaksakan untuk memahami kewanitaan. Inilah sedikit dari banyak hal yang ditentang Amina. Baginya, kehangatan dan kelezatan aroma semangkuk sup akan hilang seketika jika muncul tangan usil yang sengaja mencampurnya dengan air sabun berbusa.

Celakanya, metode penafsiran semacam ini sudah terlembagakan selama berabad-abad. Epistemologi yang pada awalnya hanya merupakan sebuah varian dalam memahami agama, karena begitu mengakarnya, kemudian hari malah menjadi (dijadikan) kebenaran yang mutlak, bahkan sering dianggap transenden dengan tingkat-tingkat sakralisasi yang luar biasa.

Pada titik-titik inilah, generasi muslim sekarang yang sebagian besar adalah muqallid�n atau pembebek saja, tidak punya kemampuan yang cukup untuk membedakan antara 'penafsiran' dengan 'yang ditafsiri' itu sendiri. Produk akal manusia hasil kerja metodologi dan epistemologi tertentu disejajarkan dengan teks-teks suci yang sering disebut kalam Ilahi. Adalah sebuah kemustahilan, sampai kapanpun, jika absolutisme ke-Tuhan-an ataupun segala hal yang memancar atau beremanasi dari-Nya disetarakan dengan makhluk dalam pelbagai derajat hirarkinya. Perilaku-perilaku semacam ini dapat saja dikategorikan sebagai kemusyrikan berpikir, atau yang bisa saya sebut sebagai syirik intelektual.

Semua produk pemikiran keislaman yang terbukukan dan dipatenkan hingga kini oleh sebagian orang pada kitab-kitab turats, tak lepas dari bias masculino-centris. Di era di mana kita hidup dalam era keterbukaan dan kesetaraan, upaya-upaya untuk meneruskan tradisi patriarkhi dalam berijtihad masih saja berlangsung. Perjuangan kaum minoritas yang menuntut hak-hak kaum hawa dalam beragama selalu dihadang atas nama Tuhan. Sistem penafsiran dan pemahaman teks-teks keagamaan yang kemudian dikodifikasikan sebagai sistem hukum dan way of life di kalangan umat Islam terasa begitu gentle. Inilah yang sering diistilahkan sebagai fikih dan tafsir maskulin atas agama. Artinya, sudah terjadi semacam operasi kelamin atas ayat-ayat suci.

Patriarkhi Sebagai Warisan Peradaban

Di sini kita akan menengok sejarah dominasi laki-laki dalam lingkup sosio-historis, dan kemiripan budaya berbagai peradaban. Dari sini bisa ditelusuri, sejauh mana peradaban Islam sebagai sebuah produk budaya, mewarisi hal yang sama. Sebagai manusia yang hidup pada abad dua puluh satu, semua orang di berbagai belahan dunia berhak malu. Sebab, nenek-moyang mereka (anchestor) ternyata tidak lebih baik dari pada binatang dalam soal pemuasan nafsu. Banyak praktik-praktik sejarah yang jelas-jelas tidak berpihak dan membela perempuan dalam soal ini. Status perempuan sebagai manusia yang lebih dari sebagai objek pemuasan nafsu seringkali dilucuti dan ditelanjangi.

Berbagai peradaban besar seperti Persia, Eropa, Asia Barat, Athena, Yunani, Romawi Kuno, hingga kerajaan-kerajaan Islam (ingat bahwa istilah hareem sangat identik dengan peradaban Islam) yang selama ini diklaim sebagai peradaban tertinggi, semuanya mengesahkan praktik-praktik poligini. Saya sengaja tidak memakai istilah poligami, sebab istilah poligini lebih mewakili ketertindasan perempuan dibanding poligami yang cakupannya lebih luas dan lebih umum. Di bidang-bidang kehidupan yang lain pun perempuan tidak punya peran yang berarti. Satu-satunya peran perempuan yang sering ditonjolkan secara berlebihan adalah fungsinya sebagai alat reproduksi sekaligus pemuas syahwat semata. Hanya Cleopatra atau Ratu Balqis saja yang bisa dijadikan pengecualian dalam konteks ini. Namun jelas, mereka berdua sama sekali tidak bisa menjadi representasi yang memuaskan tentang bagaimana sesungguhnya martabat dan posisi wanita pada zaman dahulu.

Dominasi laki-laki dalam segala hal yang kita dapati pada peradaban-peradaban tertinggi tersebut menjadi sesuatu yang tak terbantahkan lagi. Budaya ini kemudian menjadi semacam kemiripan yang bisa ditemukan di mana-mana. Kemiripan ini, sebagian besar timbul disebabkan karena adanya semangat untuk mewarisi dan mengimitasi berbagai aspek kebudayaan dari satu peradaban ke peradaban yang lain.

Contoh yang paling nyata adalah jatuhnya Konstantinopel dibawah ekspansi Dinasti 'Utsmani. Saat itu, Sultan Muhammad II (Al-Fatih) begitu terpesona dengan gemerlap kebudayaan Byzantium. Keterpesonaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan tetap menjaga dan melestarikan beberapa kebiasaan Kaisar Konstantin. Salah satunya melalui koleksi dayang atau selir dalam paviliun khusus. Dari sini pulalah, istilah hareem menjadi sangat populer.

Contoh kecil ini mampu menjadi refleksi sekaligus bukti bahwa sistem patriarkhi sebagai salah satu aspek budaya sama sekali tidak berakar pada konsep-konsep agama yang dogmatis. Kemiripan-kemiripan yang sudah saya singgung di atas, secara gamblang merupakan hasil dari apa yang sering dinamakan sebagai daya karsa, karya dan cipta manusia sebagai insan yang berpikir dan bertindak. Adalah sebuah kemustahilan jika hal ini dianggap merupakan ajaran Tuhan yang turun dari langit. Dalam hal ini, kita bisa memakai pemahaman terbalik. Logikanya, andai budaya patriarkhi adalah bagian dari transcendental teachings dan merupakan sebuah dogma dalam Islam, maka sejarah seharusnya mencatat lain. Wanita bisa jadi lebih menindas dan dominan ketimbang laki-laki sebelum Islam datang.

Nah, dalam fase yang lebih belakangan, konstruk budaya yang patriarkhi tersebut mempunyai cakupan yang semakin luas. Kejayaan Abassiyah dan Andalusia yang merupakan lahan subur perkembangan ijtihad-ijtihad di berbagai pemikiran keagamaan, tetap saja melanggengkan budaya tersebut. Tokoh-tokoh pemikir besar yang sampai sekarang banyak disebut dan dikutip jasa intelektualnya, jelas-jelas didominasi nama-nama kaum laki-laki. Suara minor (kaum hawa) nyaris tidak terdengar.

Gebrakan Amina Wadud

Dr. Amina Wadud Muhsin, dengan segenap keberaniannya mencoba menggugat dominasi itu. Menggugat bukan berarti mencoba membalikkan keadaan, melainkan hanya usaha mewujudkan kesetaraan dan memosisikan keberpihakan Islam dalam soal gender secara proporsional. "Saya hanya bermaksud membuat interpretasi Alqur�an yang di dalamnya terkandung pengalaman-pengalaman perempuan, tanpa stereotipe yang telah lama dibuatkan oleh kerangka interpretasi kaum laki-laki," tulisanya dalam sebuah artikel.

Prinsip tersebut dijadikan starting point oleh Dr. Amina dalam melakukan berbagai kajian keagamaan dalam kapasitasnya sebagai seorang akademisi. Gebrakan dalam bentuk penyelenggaraan salat Jumat yang kontroversial itu, dalam konteks ini hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan upaya penggugatan itu.

Secara pribadi, saya sendiri nyaris yakin bahwa kisah Ummu Waraqah merupakan dasar pijakan oleh Dr. Amina dalam gebrakannya. Dalam kitab Bul�ghul Mar�m karya al-H�fidz Ibnu Hajar al-Asqalan� diceritakan bahwa Nabi telah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam salat bagi penghuni rumahnya. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud, dan Ibnu Khuzaimah menegaskan bahwa statusnya adalah sahih. Dalam bagian lain pada kitab yang sama juga disebutkan soal larangan perempuan menjadi imam salat. Hadis itu diriwayatkan Ibnu Majah dari Jabir. Hanya saja, status hadis kedua ini dinyatakan w�hin atau dla'�f.

Kasus salah Jumat Dr. Amina telah memunculkan guncangan besar dalam jagat keagamaan. Semua orang boleh menganggapnya berlebihan, tapi Amina tetaplah orang dengan pendirian yang kokoh. Ia ingin menunjukkan pada dunia dengan cara menyentaknya, bahwa suara perempuan pun seharusnya didengar dan diperhatikan. Dengan kontroversi dan derasnya respons yang muncul dari kasus tersebut, mungkin dia berharap diskusi-diskusi soal hak-hak kaum perempuan bisa dibahas secara luas dan mendalam oleh para pemikir dan pihak-pihak yang mau membuka mata dan hatinya. Ini bukanlah bid'ah belaka, melainkan sebuah upaya cerdas untuk mengembalikan kesucian agama dari jamahan tangan-tangan yang kurang bertanggung jawab dalam soal agama.

Untuk itu, keberanian Bu Amina semestinya kita apresiasi dengan baik. Sudah saatnya kita mengembalikan Islam sebagai agama pembebas, agama keadilan, dan agama yang menghormati manusia sebagai manusia. []

Versi asli dapat dibaca di:
http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=798