Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Pages

Memaparkan catatan dengan label suharto. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label suharto. Papar semua catatan

Suharto selamat bersemadi -- Beribu-ribu rakyat berbaris memberikan penghormatan terakhir

Written By JOM JALAN on 29/01/08 | Selasa, Januari 29, 2008


Anggota tentera Indonesia membawa gambar Suharto yang diringi paluan dram ketika berlangsungnya majlis pengebumian beliau. – AFP.

MATESIH, Indonesia 28 Jan. – Jenazah bekas Presiden Muhammad Suharto selamat disemadikan tengah hari ini dengan penuh penghormatan tentera, mengakhiri babak kontroversi dalam sejarah pemerintahannya selama 32 tahun.

Bekas Presiden berusia 86 tahun yang didakwa mengamalkan korupsi dan tercemar dengan pelanggaran hak asasi manusia ini telah disemadikan mengikut upacara pengebumian negara di pusara keluarganya, Astana Giribangun di bandar kecil Matesih, Jawa Tengah

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan ucapan singkat ketika anggota keluarga terdekat menaburkan kelopak bunga mawar dan melur di atas kerandanya.

Suharto disemadikan di sebelah pusara isterinya, Siti Suhartinah yang meninggal dunia pada 1996.

Beribu-ribu rakyat berbaris sepanjang jalan raya menuju ke pusara beliau bagi memberi penghormatan terakhir ketika kenderaan yang membawa jenazahnya bergerak lalu.

Seorang wanita, Mariani, 53, berkata, dia sanggup berjalan kaki selama dua jam bagi memberi penghormatan kepada bekas pemimpin Indonesia itu.

Orang ramai termasuk murid sekolah melambaikan tangan dan sesetengah mereka menitiskan air mata ketika rombongan yang mengiringi jenazah Suharto melewati jalan ke tempat pemakaman yang terletak 35 kilometer dari Solo.

Puluhan juta lagi rakyat dari Aceh hingga Merauke menyaksikan upacara pengkebumian bekas Presiden kedua Indonesia itu melalui stesen telivisyen tempatan.

“Saya fikir Pak Harto sentiasa memikirkan rakyatnya. Semuanya murah, tetapi sekarang sudah mahal. Bagaimana buruk sekali pun Pak Harto, sumbangannya kepada negara sangat besar,” kata seorang lelaki berusia 52 tahun yang dikenali sebagai Heri.

Upacara pengkebumian bermula pada pukul 7.30 pagi ini di Jalan Cendana, Jakarta apabila anak sulung Suharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) memecahkan piring sebelum menyerahkan jenazah kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Agung Laksono untuk dibawa ke tempat pengebumian.

Terdahulu jenazah Suharto diterbangkan dengan pesawat tentera dari Jakarta menuju ke Solo sebelum dibawa ke pusara keluarga beliau.

Berpuluh-puluh ribu penduduk keluar dan bersesak di jalan-jalan raya Jakarta ketika jenazah bekas Presiden Indonesia ini dibawa dari kediaman menuju ke lapangan terbang.

Konvoi membawa jenazah itu bergerak perlahan melalui jalan raya menuju ke lapangan terbang, diiringi beberapa helikopter, dan diberi tabik hormat oleh anggota tentera darat, laut dan udara Indonesia ketika kerandanya dimasukkan ke dalam pesawat.

Suharto, yang lahir di Desa Kemusuk, Yogyakarta memerintah Indonesia selama 32 tahun, meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina di Jakarta selepas kegagalan fungsi organ akibat penyakit yang dideritainya sejak 1999.

Beliau meninggal pada pukul 1.10 petang semalam (2.10 petang Ahad waktu Malaysia) setelah 24 hari menerima rawatan di hospital berkenaan.

– Agensi




Ini adalah keratan akhbar dari Utusan Malaysia untuk tujuan dokumentasi. Akhbar & Majalah dikelola oleh Syafrein Effendiuz yang juga editor Majalah.Dompas.net, Dompas Network, dan Artikel Sentral. Dia juga mengelola beberapa blog: Catatan Sekilas, Perkahwinan, Tokoh, Usahawan Maya, Cyber Ilmu, Riau, Banners to click!, Making money from home just got easier, dan lain-lain. Dia kini bekerjasama dengan Zubli Zainordin pengasas Sains dan Seni Jaya Diri, pengarang blog Total Happiness dan pengelola Book Project blog.
Selasa, Januari 29, 2008 | 0 ulasan

Suharto tutup usia

Written By JOM JALAN on 27/01/08 | Ahad, Januari 27, 2008


Mantan Presiden Indonesia, Suharto yang pernah memimpin selama 32 tahun, meninggal dunia di Jakarta hari Minggu pada usia 86 tahun.

Meninggalnya Suharto setelah tiga minggu dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina di Jakarta, karena komplikasi jantung, paru-paru dan ginjal.

"Bapak telah kembali ke Rahmatullah," kata putri tertua Pak Harto, Siti Hardiyanti Rukmana sambil menitikkan air mata kepada para wartawan di luar rumah sakit.

"Kami meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini." kata Tutut lagi.

Tim dokter mengatakan Suharto mengalami kegagalan multiple organ semalam.

Dokter berusaha untuk membantu Suharto, namun meninggal sekitar jam 13.10 WIB.

Seorang dokter yang menangani Suharto, Munawar, mengatakan "kami berusaha yang terbaik, namun Tuhan menentukan yang lain."

Menurut mantan menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, seluruh enam anak Suharto, dan keluarga lainnya berada di sisi tempat tidur Suharto ketika dia meninggal.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pernyataan bela sungkawa dan meminta rakyat Indonesia berdoa bagi mantan pemimpin Orde Baru tersebut.

"Saya juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menunjukkan penghormatan tertinggi kepada salah satu putra terbaik Indonesia tersebut." kata Presiden.

Bendera Merah Putih di luar Istana Presiden di Jakarta diturunkan setengah tiang, dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengumumkan masa berkabung nasional selama tujuh hari.

Juru bicara presiden mengatakan Presiden Yudhoyono akan memimpin upacara pemakaman hari Senin di pemakaman pribadi keluarga Suharto di Solo, Jawa Tengah.




Ini adalah keratan akhbar dari BBC Indonesia untuk tujuan dokumentasi. Akhbar & Majalah dikelola oleh Syafrein Effendiuz yang juga editor Majalah.Dompas.net, Dompas Network, dan Artikel Sentral. Dia juga mengelola beberapa blog: Catatan Sekilas, Perkahwinan, Tokoh, Usahawan Maya, Cyber Ilmu, Riau, Banners to click!, Making money from home just got easier, dan lain-lain. Dia kini bekerjasama dengan Zubli Zainordin pengasas Sains dan Seni Jaya Diri, pengarang blog Total Happiness dan pengelola Book Project blog.
Ahad, Januari 27, 2008 | 0 ulasan

The lasting legacy of Suharto

By Jonathan Head
BBC News, Bangkok

If Suharto had the kind of pumped-up ego we usually associate with powerful politicians, he never let it show.

In fact he rarely betrayed any emotion.

In stark contrast to his fiery and extrovert predecessor Sukarno, Indonesia's first president, Suharto exuded a sense of calm detachment, his face an enigmatic mask that gave away little.

He kept himself aloof from foreigners and Indonesians alike, almost never granting interviews, only addressing the public sparingly in set-piece speeches which he delivered in a monotone mumble with all the charisma of a junior civil servant.

He left no statues of himself, no parks or roads were named after him, and only on special occasions did you see his face up on billboards, although in the last years of his rule it did appear on the largest-denomination banknote.

Indonesians often found it difficult to pin down what they felt about the man who had towered over their lives for so long.

For most he remained an opaque, distant figure.

They certainly feared him.

He preferred indirect methods to disable his opponents, but was prepared at times to unleash terrifying violence to defend his so-called New Order regime.

Slaughter

The bloodshed which accompanied his rise to power, after a mysterious coup attempt in 1965 which he blamed on Indonesia's then-powerful Communist Party, was on a scale matched only in Cambodia in this region.

Within the space of a few months at least half a million people were slaughtered in anti-communist pogroms that, at the very least, Suharto and the military tacitly encouraged.


RISE AND FALL OF SUHARTO
Born in Java, June 1921
Comes to power in 1965 after alleged Communist coup attempt
Formally replaces Sukarno as president in March 1967
Modernisation programmes in the 70s and 80s raise living standards
East Timor invaded in late 1975
Asian economic crisis of the 1990s hits Indonesian economy
Spiralling prices and discontent force him to resign in May 1998
Judges rule he is unfit to stand trial for corruption in 2000
Transparency International says he tops the world all-time corruption table in March 2004

The trauma of that period scars Indonesia to this day, and was a key tool in Suharto's armoury.

The spectre of a communist revival was used time and again, right up to the end of his rule, to discredit dissidents, even though the party was completely destroyed in the 1960s.

In the wake of those killings, 200,000 people were detained, half of who remained in prison for more than a decade, most without trial.

They included some of Indonesia's best-known artists and intellectuals.

But it was his ability to manipulate the fear left over from the 1960s which was Suharto's key talent.

He created a network of intelligence agencies whose job it was to sniff out any dissent before it could gain momentum.

Two million people were officially tainted with left wing associations right through to the 1990s - that might just mean having had a grandparent connected in some way with the old Communist Party.

Such a taint could bar you from a government job, or a place at university.

His intelligence agencies proved adept at provoking incidents that gave them a pretext to crush incipient opposition, or at persuading opponents to switch sides.

The student movement was crushed in the 1970s, Islamic activists were either co-opted or jailed in a series of show trials in the 1980s, and independent media outlets were crippled in the mid-1990s.

Economic growth

Suharto had an unrivalled political cunning, an unerring instinct for wrong-footing possible rivals.

But he also carried with him the mindset formed by his small-town upbringing, and believed the mass of the rural poor should be disconnected from politics, and focus only on improving their lives.

His preferred title was revealing - Bapak Pembangunan, meaning "father of development".

His approach to ruling the country was as a stern but benevolent father, who enjoyed dispensing folksy advice and assistance to awe-struck farmers, but would brook no criticism.

It was an approach that delivered impressive stability and development, but at a price.

When he took over in 1966 the economy was in ruins, inflation out of control, and abject poverty was everywhere.

For the next three decades he steered Indonesia through a period of almost unbroken economic growth, improving its infrastructure, its agricultural and industrial output, and the living standards of most Indonesians.

But the oppressive political climate stifled intellectual development, and smothered attempts to address Indonesia's many ethnic and religious disputes, which then erupted after Suharto's downfall with great loss of life.

Suharto was also lucky. His accession to power coincided with the escalation of the Vietnam War, when the United States was desperate for reliable allies in the region and willing to turn a blind eye to his human rights record.

It also coincided with the first oil boom, which poured riches into the government's coffers.

This only fuelled the culture of patronage and corruption which was endemic in Suharto's paternalistic style of government.

It was one of his great blind spots, a corrosive drag on his economic achievements he never seemed to recognise.

He was notably weak in confronting the conflicts of interest surrounding his six children, who became spectacularly rich during the boom years of the 1980s and 90s.

Suharto himself lived modestly, but he surrounded himself with people who did not, and who flagrantly abused their access to him to become even richer.

Obscure retirement

Was he a great Asian leader? The many thousands of victims of his brutal purges would surely say no, and yet most Indonesians probably accepted his rule as largely beneficial right up to his last few years in power.

He enjoyed great respect in the rest of the region as a leader who had led Indonesia away from chaos and confrontation with its neighbours.

Had he felt able to step down a few years earlier, his reputation in his country would have been assured.

As his New Order began to show its age in the 1990s, there was much fevered speculation over how violent Suharto's departure would be, whether it would be as bad as Indonesia's only other experience of a power transfer in the mid-1960s.

Many saw Indonesia as another Yugoslavia, an unwieldy sprawl of islands and ethnic groups that was doomed to fall apart once Suharto's vice-like hold on power was loosened.

Yet, when finally confronted with overwhelming opposition in May 1998, he did not, as many feared, use the military to defend his regime, but instead accepted his defeat, and stepped back into obscure retirement.

After a shaky few years, Indonesia has developed into one of Asia's most lively democracies, and is enjoying strong economic growth again.

One look at nearby Burma, a country with some striking similarities, is enough to know how bad things could have been in Indonesia under different leadership.





Ini adalah keratan akhbar dari BBC News untuk tujuan dokumentasi. Akhbar & Majalah dikelola oleh Syafrein Effendiuz yang juga editor Majalah.Dompas.net, Dompas Network, dan Artikel Sentral. Dia juga mengelola beberapa blog: Catatan Sekilas, Perkahwinan, Tokoh, Usahawan Maya, Cyber Ilmu, Riau, Banners to click!, Making money from home just got easier, dan lain-lain. Dia kini bekerjasama dengan Zubli Zainordin pengasas Sains dan Seni Jaya Diri, pengarang blog Total Happiness dan pengelola Book Project blog.
Ahad, Januari 27, 2008 | 0 ulasan

Former Indonesian President Suharto dies at 86

The octogenarian Suharto, shown at birthday celebrations in June.

JAKARTA, Indonesia (CNN) -- Former Indonesian dictator Haji Muhammad Suharto -- the "smiling general" who ruled his country with an iron fist for three decades -- died Sunday at a hospital in Jakarta, said his doctor. He was 86.

He was rushed to Pertamina Hospital on January 4 for treatment of a failing liver, heart and lungs, his doctors said.

He had been suffering at home for five days.

His death comes just a day after his doctors said he appeared to be making a remarkable recovery.

Suharto, who, like other Indonesians, only has one name, was president of Indonesia from 1967 until he was forced to resign -- under immense political pressure -- in 1998.

He is credited with shaping modern Indonesia by boosting the economy and making the sprawling archipelago a regional power.

However, he also reigned as the nation was beset by internal corruption and, at the end of his rule, economic decline.

"He was known as the smiling general. He could be very charming, but behind that smile was this streak of steel," said Richard Woolcott, Australia's former ambassador to Indonesia.

"In the short term, he'll probably be judged fairly harshly by Australian critics and others in the West, but in the longer term, I suspect historians will see his contributions to Indonesia in a very positive light," Woolcott told CNN





Ini adalah keratan akhbar dari CNN untuk tujuan dokumentasi. Akhbar & Majalah dikelola oleh Syafrein Effendiuz yang juga editor Majalah.Dompas.net, Dompas Network, dan Artikel Sentral. Dia juga mengelola beberapa blog: Catatan Sekilas, Perkahwinan, Tokoh, Usahawan Maya, Cyber Ilmu, Riau, Banners to click!, Making money from home just got easier, dan lain-lain. Dia kini bekerjasama dengan Zubli Zainordin pengasas Sains dan Seni Jaya Diri, pengarang blog Total Happiness dan pengelola Book Project blog.
Ahad, Januari 27, 2008 | 0 ulasan

Suharto meninggal dunia


JAKARTA, 27 Jan — Bekas Presiden Indonesia, Suharto meninggal dunia pada pukul 1.10 petang ini waktu tempatan (2.10 waktu Malaysia) setelah berada dalam keadaan kritikal sejak awal pagi ini.

Pengumuman itu dibuat oleh bekas Menteri Setiausaha Negara Indonesia, Moerdiono melalui siaran sebuah radio tempatan ke seluruh negara itu sejurus selepas pasukan Doktor Presiden yang merawat Suharto mengesahkan kematian bekas presiden itu.

Suharto, 86, memerintah Indonesia selama 32 tahun dari 1966 hingga 1998 berada dalam keadaan kritikal sejak dimasukkan ke Hospital Pusat Pertamina, Jakarta Selatan pada 4 Jan lepas.

Terdahulu hari ini, doktor mengisytiharkan Suharto dalam keadaan kecemasan dan paling kritikal sejak berada di hospital itu apabila sejak pukul 1 pagi ini bekas pemimpin itu terpaksa bergantung sepenuhnya kepada bantuan alat pernafasan setelah pelbagai organ badannya gagal berfungsi.

Moerdiono yang juga jurucakap keluarga Suharto berkata, anak-anak bekas presiden itu berada di sisi bapa mereka ketika itu.

Semasa dirawat di hospital itu, Suharto yang dimasukkan ke hospital itu pada awalnya kerana masalah pencernaan dan paru-paru berair, beberapa kali dilaporkan berada dalam keadaan koma dan menjalani rawatan pemindahan darah.

Suharto atau lebih dikenali dengan gelaran “Pak Harto” adalah bekas Presiden kedua Indonesia yang juga dikenali sebagai “Bapa Pembangunan Indonesia” hasil perkembangan pesat negara itu semasa era pemerintahannya.

Suharto yang turut dihormati di kalangan negara jiran rantau ini adalah antara pemimpin yang banyak menyumbang dalam pertubuhan serantau Asean.

Bekas Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr Mahathir Mohamad yang turut melawat Suharto di hospital itu pada 14 Januari lepas berkata, bekas presiden itu juga berperanan utama dalam memulihkan hubungan antara Malaysia-Indonesia (selepas konfrontasi terhadap Malaysia yang dilancarkan oleh presiden pertama Indonesia, Sukarno).

“Suharto memudahkan perhubungan antara Malaysia dengan Indonesia yang selepas itu semakin meningkat dan hubungan jadi begitu rapat sehingga kita boleh anggap ini serumpun, yang sememangnya dari asal dekat,” kata Dr Mahathir kepada media Indonesia sejurus selepas meluangkan masa kira-kira 25 minit melawat Suharto di hospital itu.

Sultan Pahang Sultan Ahmad Shah adalah antara kenamaan Malaysia yang melawat Suharto di hospital itu.- Bernama




Ini adalah keratan akhbar dari Utusan Malaysia untuk tujuan dokumentasi. Akhbar & Majalah dikelola oleh Syafrein Effendiuz yang juga editor Majalah.Dompas.net, Dompas Network, dan Artikel Sentral. Dia juga mengelola beberapa blog: Catatan Sekilas, Perkahwinan, Tokoh, Usahawan Maya, Cyber Ilmu, Riau, Banners to click!, Making money from home just got easier, dan lain-lain. Dia kini bekerjasama dengan Zubli Zainordin pengasas Sains dan Seni Jaya Diri, pengarang blog Total Happiness dan pengelola Book Project blog.
Ahad, Januari 27, 2008 | 0 ulasan