Jumaat, Januari 28, 2005 | 0
ulasan
Si Mata Biru Mangsa Tsunami
Written By JOM JALAN on 25/01/05 | Selasa, Januari 25, 2005
Senin, 24 Jan 2005
Mata Biru Tinggal Separo
MEULABOH - Kawasan pesisir pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama ini populer dengan gadis-gadis cantik bermata biru, berkulit putih, dan berambut pirang. Mereka adalah keturunan Portugis yang sudah menetap beratus-ratus tahun di beberapa desa di Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Akibat bencana tsunami, warga Aceh keturunan Portugis yang berjumlah 2.000 itu tinggal separonya. Mereka yang selamat kini tinggal di sejumlah tempat pengungsian.Menurut Tengku M. Yahya Wahab, banyak warga keturunan Eropa itu yang menetap di Desa Ujung Muloh, Gle Jong, Gampong Biru, dan Kuala. Setiap desa yang berada beberapa meter dari bibir pantai tersebut dihuni sekitar 1.000-2.000 penduduk. Warga bermata biru membaur bersama dengan penduduk asli Aceh. Membedakan warga keturunan dengan warga pribumi relatif tidak sulit. Warna kulit dan mata mereka berbeda. Tubuh mereka juga tinggi seperti orang Eropa. Yang menarik, meski berparas cantik, kebanyakan di antara mereka agak pemalu jika bertemu dengan orang luar. Mereka juga menolak difoto. "Karena sifat pemalu itu, mereka terkesan eksklusif," kata Tengku Yahya, warga Lamno yang menjadi anggota DPRD Aceh Jaya. Mereka kebanyakan menikah dengan sesama keturunan Portugis. Tapi, belakangan, beberapa gadis mata biru bersedia diperistri laki-laki dari luar komunitas mereka.Gelombang mahadahsyat tsunami mengurangi jumlah warga keturunan tersebut. "Kalau dihitung, kisarannya bisa mencapai separo dari sekitar 2.000 warga," kata Yahya yang ditemui wartawan koran ini di posko Satkorlak Penanggulangan Musibah Tsunami di Meulaboh.Jarak ke Lamno sebenarnya lebih dekat dari Banda Aceh (60 kilometer) daripada lewat Meulaboh (150 kilometer). Namun, kawasan itu masuk dalam teritori Korem 012/Teuku Umar yang berpusat di Meulaboh. Karena itu, penanganan pengungsi di Lamno dikendalikan dari Satkorlak di Meulaboh.Menurut Kepala Bappeda Pemkab Aceh Barat Tengku Irwansyah, nenek moyang si mata biru itu berasal dari Portugis dan Spanyol. Mereka adalah sisa-sisa tentara dinasti Islam di Spanyol (Al-Hambra). Mereka mengasingkan diri ke luar Eropa setelah kekaisaran runtuh pada abad ke-14. Sebagian tentara kalah perang itu kemudian terdampar di wilayah pantai barat NAD, khususnya di Lamno. Sebagian di antara mereka menaklukkan kekuasaan kerajaaan Hindu di Aceh (Indrapuri) dan mendirikan kesultanan Aceh yang berlatar Islam. Di Lamno, mereka mendirikan kesultanan Lamno. "Karena itu, selain cantik, gadis-gadis mata biru itu dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat, seperti warga Aceh lainnya," terang Irwansyah.Pindah ke LamnoKerusakan total seluruh fasilitas pemerintahan dan fasilitas umum di Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, membuat pelayanan pemerintahan nyaris mandek. Karena itu, pemerintah pusat berencana memindahkan sementara ibu kota kabupaten pecahan Aceh Besar tersebut ke Lamno.Menteri Koordinator Bidang Kesra Alwi Shihab menyampaikan hal itu ketika meninjau pembuatan empat tempat relokasi sementara di Banda Aceh serta Aceh Besar kemarin. Menurut mantan menteri luar negeri era Abdurrahman Wahid tersebut, salah satu pertimbangannya, fasilitas publik di Lamno relatif utuh. Meski, kota kecil itu kehilangan sekitar 12.400 penduduk akibat tsunami."Bencana membuat Calang seperti terisap ke laut, sehingga seluruh fasilitas publik hancur total. Menjadi lebih menguntungkan bagi kita bila ibu kota Aceh Jaya sementara dipindah ke Lamno. Tentunya kalau masyarakat Aceh Jaya menginginkannya. Bupatinya sudah tidak keberatan," jelas Alwi.Dengan pemindahan tersebut, kata dia, diharapkan operasional pemberian bantuan bagi korban bencana selama masa tanggap darurat menjadi lebih terorganisasi. Seperti diketahui, akibat bencana itu, Bupati Aceh Jaya Zulfian Ahmad terpaksa berkantor di tenda TNI akibat seluruh kantornya hancur. "Pemerintah daerah dan pemerintah pusat pada masa depan bisa memikirkan apakah akan tetap menggunakan Calang atau memperluas fasilitas publik di Lamno," ungkapnya.Berdasarkan data Satkorlak Penanganan Bencana Aceh, Kota Lamno masih memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjadi ibu kota kabupaten. Di kota tersebut masih terdapat fasilitas pemerintahan, pendidikan, masjid, listrik, telekomunikasi, pasar, serta fasilitas publik lainnya. Saat ini, fasilitas-fasilitas itu menjadi kamp konsentrasi pengungsi dari Kecamatan Jaya, Sampoiniet, Setia Bakti, Krueng Sabe, serta Panga. Di kota yang saat ini hanya dijangkau 15 sorti (penerbangan) helikopter US Navy tersebut juga telah berdiri rumah sakit lapangan yang dikelola International Medical Corps dengan tenaga-tenaga medis asal AS. Rumah sakit yang dikepalai dr Jeffry Goodman itu mampu melayani 1.000 pasien rawat jalan per hari serta puluhan tempat tidur untuk pasien rawat inap. Rumah sakit tersebut juga menjalin kerja sama rujukan dengan rumah sakit lapangan yang dikelola ICRC (International Committee of the Red Cross) di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh. Setiap hari, pasien-pasien yang membutuhkan perawatan medis intensif serta tindakan operatif akan diterbangkan menggunakan helikopter ke RS ICRC. Saat ini juga telah dimulai pembangunan jembatan penghubung Lamno-Jantho di Kabupaten Aceh Besar yang memungkinkan pengiriman bantuan dari Banda Aceh dilakukan melalui jalur darat. Jembatan yang dikerjakan Korps Zeni TNI-AD tersebut direncanakan mulai bisa dioperasikan pekan pertama Februari mendatang. Berdasarkan data di Posko Induk Lamno, jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Jaya sekitar 96 ribu jiwa. Di antara jumlah tersebut, 50.758 orang dinyatakan selamat dari musibah tsunami pada 26 Desember 2004. Sedangkan sekitar 45.200 orang dinyatakan menjadi korban. Saat ini, sekitar 46 ribu penduduk Aceh Jaya menghuni tempat-tempat pengungsian. Mereka berasal dari Kecamatan Jaya sekitar 10 ribu jiwa, Sampoiniet (8 ribu jiwa), Krueng Sabe (11 ribu jiwa), Panga (3.500 jiwa), Setia Bakti (3.500 jiwa), serta Teunom (10 ribu jiwa). (agm/noe)
Mata Biru Tinggal Separo
MEULABOH - Kawasan pesisir pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama ini populer dengan gadis-gadis cantik bermata biru, berkulit putih, dan berambut pirang. Mereka adalah keturunan Portugis yang sudah menetap beratus-ratus tahun di beberapa desa di Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Akibat bencana tsunami, warga Aceh keturunan Portugis yang berjumlah 2.000 itu tinggal separonya. Mereka yang selamat kini tinggal di sejumlah tempat pengungsian.Menurut Tengku M. Yahya Wahab, banyak warga keturunan Eropa itu yang menetap di Desa Ujung Muloh, Gle Jong, Gampong Biru, dan Kuala. Setiap desa yang berada beberapa meter dari bibir pantai tersebut dihuni sekitar 1.000-2.000 penduduk. Warga bermata biru membaur bersama dengan penduduk asli Aceh. Membedakan warga keturunan dengan warga pribumi relatif tidak sulit. Warna kulit dan mata mereka berbeda. Tubuh mereka juga tinggi seperti orang Eropa. Yang menarik, meski berparas cantik, kebanyakan di antara mereka agak pemalu jika bertemu dengan orang luar. Mereka juga menolak difoto. "Karena sifat pemalu itu, mereka terkesan eksklusif," kata Tengku Yahya, warga Lamno yang menjadi anggota DPRD Aceh Jaya. Mereka kebanyakan menikah dengan sesama keturunan Portugis. Tapi, belakangan, beberapa gadis mata biru bersedia diperistri laki-laki dari luar komunitas mereka.Gelombang mahadahsyat tsunami mengurangi jumlah warga keturunan tersebut. "Kalau dihitung, kisarannya bisa mencapai separo dari sekitar 2.000 warga," kata Yahya yang ditemui wartawan koran ini di posko Satkorlak Penanggulangan Musibah Tsunami di Meulaboh.Jarak ke Lamno sebenarnya lebih dekat dari Banda Aceh (60 kilometer) daripada lewat Meulaboh (150 kilometer). Namun, kawasan itu masuk dalam teritori Korem 012/Teuku Umar yang berpusat di Meulaboh. Karena itu, penanganan pengungsi di Lamno dikendalikan dari Satkorlak di Meulaboh.Menurut Kepala Bappeda Pemkab Aceh Barat Tengku Irwansyah, nenek moyang si mata biru itu berasal dari Portugis dan Spanyol. Mereka adalah sisa-sisa tentara dinasti Islam di Spanyol (Al-Hambra). Mereka mengasingkan diri ke luar Eropa setelah kekaisaran runtuh pada abad ke-14. Sebagian tentara kalah perang itu kemudian terdampar di wilayah pantai barat NAD, khususnya di Lamno. Sebagian di antara mereka menaklukkan kekuasaan kerajaaan Hindu di Aceh (Indrapuri) dan mendirikan kesultanan Aceh yang berlatar Islam. Di Lamno, mereka mendirikan kesultanan Lamno. "Karena itu, selain cantik, gadis-gadis mata biru itu dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat, seperti warga Aceh lainnya," terang Irwansyah.Pindah ke LamnoKerusakan total seluruh fasilitas pemerintahan dan fasilitas umum di Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, membuat pelayanan pemerintahan nyaris mandek. Karena itu, pemerintah pusat berencana memindahkan sementara ibu kota kabupaten pecahan Aceh Besar tersebut ke Lamno.Menteri Koordinator Bidang Kesra Alwi Shihab menyampaikan hal itu ketika meninjau pembuatan empat tempat relokasi sementara di Banda Aceh serta Aceh Besar kemarin. Menurut mantan menteri luar negeri era Abdurrahman Wahid tersebut, salah satu pertimbangannya, fasilitas publik di Lamno relatif utuh. Meski, kota kecil itu kehilangan sekitar 12.400 penduduk akibat tsunami."Bencana membuat Calang seperti terisap ke laut, sehingga seluruh fasilitas publik hancur total. Menjadi lebih menguntungkan bagi kita bila ibu kota Aceh Jaya sementara dipindah ke Lamno. Tentunya kalau masyarakat Aceh Jaya menginginkannya. Bupatinya sudah tidak keberatan," jelas Alwi.Dengan pemindahan tersebut, kata dia, diharapkan operasional pemberian bantuan bagi korban bencana selama masa tanggap darurat menjadi lebih terorganisasi. Seperti diketahui, akibat bencana itu, Bupati Aceh Jaya Zulfian Ahmad terpaksa berkantor di tenda TNI akibat seluruh kantornya hancur. "Pemerintah daerah dan pemerintah pusat pada masa depan bisa memikirkan apakah akan tetap menggunakan Calang atau memperluas fasilitas publik di Lamno," ungkapnya.Berdasarkan data Satkorlak Penanganan Bencana Aceh, Kota Lamno masih memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjadi ibu kota kabupaten. Di kota tersebut masih terdapat fasilitas pemerintahan, pendidikan, masjid, listrik, telekomunikasi, pasar, serta fasilitas publik lainnya. Saat ini, fasilitas-fasilitas itu menjadi kamp konsentrasi pengungsi dari Kecamatan Jaya, Sampoiniet, Setia Bakti, Krueng Sabe, serta Panga. Di kota yang saat ini hanya dijangkau 15 sorti (penerbangan) helikopter US Navy tersebut juga telah berdiri rumah sakit lapangan yang dikelola International Medical Corps dengan tenaga-tenaga medis asal AS. Rumah sakit yang dikepalai dr Jeffry Goodman itu mampu melayani 1.000 pasien rawat jalan per hari serta puluhan tempat tidur untuk pasien rawat inap. Rumah sakit tersebut juga menjalin kerja sama rujukan dengan rumah sakit lapangan yang dikelola ICRC (International Committee of the Red Cross) di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh. Setiap hari, pasien-pasien yang membutuhkan perawatan medis intensif serta tindakan operatif akan diterbangkan menggunakan helikopter ke RS ICRC. Saat ini juga telah dimulai pembangunan jembatan penghubung Lamno-Jantho di Kabupaten Aceh Besar yang memungkinkan pengiriman bantuan dari Banda Aceh dilakukan melalui jalur darat. Jembatan yang dikerjakan Korps Zeni TNI-AD tersebut direncanakan mulai bisa dioperasikan pekan pertama Februari mendatang. Berdasarkan data di Posko Induk Lamno, jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Jaya sekitar 96 ribu jiwa. Di antara jumlah tersebut, 50.758 orang dinyatakan selamat dari musibah tsunami pada 26 Desember 2004. Sedangkan sekitar 45.200 orang dinyatakan menjadi korban. Saat ini, sekitar 46 ribu penduduk Aceh Jaya menghuni tempat-tempat pengungsian. Mereka berasal dari Kecamatan Jaya sekitar 10 ribu jiwa, Sampoiniet (8 ribu jiwa), Krueng Sabe (11 ribu jiwa), Panga (3.500 jiwa), Setia Bakti (3.500 jiwa), serta Teunom (10 ribu jiwa). (agm/noe)
Selasa, Januari 25, 2005 | 0
ulasan
Askar Britain dera tahanan Iraq
LONDON: Akhbar Britain semalam menyiarkan gambar penderaan dan serangan seksual banduan Iraq yang didakwa dilakukan oleh tentera negara itu serta menyifatkannya sebagai mengejut dan memualkan dalam skandal Abu Ghraib Britain.
Gambar itu didedahkan di Osnabrueck, Jerman, tempat mahkamah tentera Britain membicarakan tiga tenteranya atas tuduhan melakukan serangan dan memaksa banduan melakukan aksi seks.
Akhbar Guardian menyiarkan tajuk muka depan Imej menggemparkan terbongkar dalam perbicaraan Abu Ghraib Britain, rujukan terhadap kes penderaan hampir sama yang terbongkar tahun lalu di sebuah penjara kendalian Amerika di pinggir Baghdad.
Pendedahan gambar itu di Britain besar kemungkinan akan meningkatkan bantahan rakyat terhadap keputusan Perdana Menteri, Tony Blair, untuk menyertai Amerika menakluk dan menduduki Iraq.
Gambar muka depan akhbar Guardian itu menunjukkan seorang pegawai tentera Britain menumbuk banduan Iraq yang bahagian atas badannya dibungkus dengan jaring.
Akhbar lain turut menyiarkan lebih banyak gambar. Independent pula menyiarkan siri gambar muka depan dengan sebahagiannya menunjukkan dua banduan Iraq yang bogel didakwa dipaksa melakukan aksi liwat.
Tajuk lidah pengarang akhbar The Sun pula bertajuk Aib tentera.
Negara ini hanya mengemukakan satu soalan hari ini. Bagaimana tentera Britain boleh membenarkan perkara amat buruk ini berlaku.
Kebenarannya di sini adalah hanya segelintir individu yang memberontak membenarkan diri mereka tenggelam ke martabat paling rendah. Tetapi ia bukan alasan.
Kita sudah melihat penderaan dan penghinaan yang dilakukan tentera Amerika di penjara Abu Ghraib, tetapi tidak pernah terbayang tindakan sama berlaku di kem tentera Britain, tulis pengarang akhbar The Sun.
Sementara itu, Blair berkata, Britain tidak akan bertolak ansur terhadap sebarang bentuk penderaan.
Kami akan sedaya upaya memastikan bahawa kami tidak akan bertolak ansur terhadap sebarang bentuk penderaan mengikut prinsip prosedur, kata jurucakap Blair yang memetik kenyataan perdana menteri itu semalam.
Tentera Britain dikerah ke rantau Basra di selatan Iraq dan mereka biasanya tidak memakai baju kalis peluru kerana keadaan di situ agak aman. AFP
Akhbar Daily Mail dalam lidah pengarangnya menyatakan gambar itu amat menyakitkan hati serta mungkin menyebabkan reputasi Britain hancur. AFP
Tiga anggota tentera elit Britain, Koperal Daniel Kenyon, Lans Koperal Darren Larkin dan Mark Cooley, menghadapi sembilan pertuduhan berkaitan dengan serangan, memaksa banduan melakukan aksi seks serta melanggar tatatertib angkatan tentera. AFP
Khamis, Januari 20, 2005 | 0
ulasan
Kisah ajaib Tsunami Aceh
Written By JOM JALAN on 18/01/05 | Selasa, Januari 18, 2005
Karomah dari Tanah Duka
Bermacam keajaiban dan kebesaran Allah, nampak di Aceh. Mulai dari besarnya gelombang sampai cara-cara selamat yang tak masuk akal.
Pagi itu, daerah Krueng Raya yang berada di pantai barat Privinsi Nanggroe Aceh Darussalam ramai. Seperti biasa. Perkampungan di garis pantai itu, dipenuhi anak-anak yang turun bermain di bibir laut. Di daerah itu pula, Taufik bin Ahmad tinggal bersama istri dan seorang anaknya.
Rumah sederhananya berdiri di samping sebuah meunasah, atau mushalla, An Nur. Di meunasah itu pula, Taufik bin Ahmad setiap malam sampai subuh mendirikan shalat tahajud dengan sujud-sujud panjangnya. Mengajar ngaji anak-anak kecil dari perkampungan pantai dan juga berdakwah. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu, hari Ahad (26/12) langit juga cerah. Awan putih bergumpal dan berarak di langit biru. Tapi tiba-tiba bumi berguncang dengan kuatnya. Kepanikan, sesaat melanda penduduk perkampungan di garis pantai itu.
Tapi tak lama. Kepanikan yang mengepung segera sirna. Maklum, gempa memang bukan hal yang aneh pagi penduduk Serambi Mekkah ini. Tapi bukan karena itu saja, air pantai yang surut hingga lebih dari satu kilometer yang menyisakan ikan-ikan yang menggelepar di pantai begitu menggoda penduduk. Berduyun anak-anak dan juga orang dewasa, turun ke pantai yang garisnya sudah jauh surut. Mereka berebut ikan yang menari-nari di atas pasir.
Tapi, tidak dengan Taufik bin Ahmad. kepada SABILI ia mengaku perasaannya begitu ngeri melihat air surut dari pantai dengan cepatnya. Ia berteriak-teriak pada orang-orang untuk tak turun ke pantai. “Jangan. Jangan ke pantai,” pekiknya. Tapi tak ada yang hirau pada teriakan itu.
Ia berlari dan bilang pada istrinya, untuk segera menjauh dari pantai. Meski ia tak tahu apa yang bakal terjadi, perasaannya mengatakan ada yang tak wajar. Ia menyuruh istri dan anaknya untuk kembali ke rumah. Tak berapa lama, hanya dalam hitungan tak sampai beberapa menit ombak yang seperti tembok tingginya datang bergulung-gulung. Menggulung pantai, orang dan rumah-rumah. Taufik bin Ahmad pun terpisah dari anak dan istrinya.
Istri Taufik dan anaknya, masuk ke dalam meunasah. “Saya yakin, Allah tidak akan berbuat apa-apa dengan meunasah ini. Saya yakin, Allah akan menyelamatkan meunasah dan orang-orang di dalamnya,” ujar istri Taufik pada SABILI beberapa hari setelah badai usai.
Dan memang, meunasah itu tak apa-apa. Meunasah sederhana yang terbangun dari papan itu memang terbawa arus sampai beratus-ratus meter dari tempatnya berdiri semula. Begitu juga istri dan anak Taufik bin Ahmad. Dari dalam meunasah ia merasakan hantaman ombak tsunami, pusaran air yang menggulung-gulung. Tapi meunasah itu selamat, begitu juga anak dan istri Taufik bin Ahmad. Beberapa jam setelah air surut, suami, istri dan anak itu bertemu. Dengan selamat.
Padahal, tak jauh dari sana, masih di Krueng Raya, tangki-tangki Pertamina yang berukuran besar, dari besi dengan bobot berton-ton telah poranda. Bentuk aslinya telah hilang oleh gelombang tsunami yang menghantam. Meunasah kecil An Nur yang sederhana, adalah keajaiban Allah yang dituturkan oleh keluarga Taufik bin Ahmad, keluarga yang selamat di dalam rumah Allah itu.
Masih di Kreung Raya, keajaiban dipertontonkan pada manusia. Sebuah dayeuh atau pesantren, Darul Hijrah namanya, adalah saksi sekaligus penerima dari karomah yang luar biasa itu. Pesantren yang berdiri di tepi pantai itu cukup indah dengan pemandangan langsung ke arah pantai. Tapi itu adalah pemandangan sebelum gelombang tsunami menghantam.
Meski pantai sudah tak seperti dulu lagi, Darul Hijrah masih tetap seperti semula. Dayeuh dengan enam bangunan yang terbuat dari rumah panggung papan itu bahkan tak bergeser sedikit pun. Puluhan santrinya selamat, tak kurang suatu apa.
Menurut keterangan santri dan penduduk sekitar, gelombang tsunami memang menerpa. Namun, tepat di sekitar dayeuh, arus gelombang seakan melemah. Bahkan gelombang seolah terbelah dan membiarkan dayeuh selamat dari terjangan tsunami. Padahal, sekali lagi, Pertamina yang tak jauh dari tempat itu, hanya berjarak beberapa kilometer saja, lantak oleh tsunami. Tangki-tangki besar yang berbobot mati berton-ton penyok, tak sesuai bentuk asalnya. Bahkan tangki-tangki itu tak berdiri di tempatnya semula.
Pesantren atau dayeuh lain yang selamat adalah Nasrul Muta’alimin, di kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Dayeuh yang berada hanya beberapa ratus meter saja dari laut yang menjadi pusat tsunami ini selamat tak kurang suatu apa. Begitu juga para santrinya, tak seorang pun menjadi korban. Menurut seorang santri, Halimah, yang ditemui SABILI, para penghuni pesantren mengamati terjangan tsunami sejak awal. Detik demi detik. Sementara itu, di dalam pesantren, seluruh santri dan guru berzikir tak putus dan memanjatkan doa tiada henti.
Dan alhamdulillah, doa mereka seakan terjawab. Gelombang air yang begitu dahsyat itu seolah terpisah saat sampai di Pesantren Nasrul Muta’alimin. Air hanya lewat dengan begitu tenang di bawah bangunan pesantren yang berbentuk rumah panggung. “Kami semua membaca al-Qur’an dan berdoa tak henti-henti ketika ombak laut datang,” ujar Halimah yang saat itu tak menyangka akan begitu banyak korban yang ditelan tsunami yang melintas di hadapannya.
Masjid Kreung Raya pun tetap utuh seperti sedia kala. Air memang sempat masuk ke bangunan masjid. Tak tak satu pun tiang atau sudut bangunan masjid ini yang roboh. Masjid ini masih berdiri kokoh di ujung muara kreung (sungai, Aceh). Jika melihat posisi masjid yang benar-benar nyaris di bibir pantai, rasanya mustahil bagi akal untuk menerimanya tetap berdiri tak kurang suatu apa. Allah memang telah memilih apa yang hendak diselamatkan, dan apa pula yang hendak dilumatkan.
Daerah garis pantai Kreung Raya memang menyimpan banyak cerita setelah tsunami reda. Di pantai itu pula ulama besar dari abad silam, Syiah Kuala dimakamkan. Makam yang indah di tepi pantai.
Di tepi pantai itu pula, dua malam sebelum bencana, menurut keterangan penduduk yang selamat, beberapa anggota Brimob yang beragama Kristen merayakan malam Natal. Acara cukup meriah, ujar seorang penduduk yang selamat. Tapi tak hanya perayaan Natal. Pada malam berikutnya, perayaan Natal berganti dengan pesta. Tak jelas, apakah orang-orang yang berada di tempat tersebut sama dengan orang-orang sebelumnya, tapi yang jelas, malam itu lebih meriah dengan malam sebelumnya.
Pesta api unggun hingga pagi hari. Tenda-tenda juga didirikan. Suara-suara perempuan terdengar oleh penduduk dari kejauhan. Entah sedang berlangsung pesta apa di pantai dekat makam Syekh Syiah Kuala itu. Pesta memang terus berlangsung hingga sinar matahari memecahkan gelap langit. Penduduk sekitar menceritakan, orang-orang tersebut bahkan masih berada di pantai saat gempa mengguncang. Peserta pesta semalam itu, dituturkan, terkaget-kaget juga saat air pantai surut hingga jauh ke laut. Mereka terbengong-bengong dan tak tahu apa yang terjadi.
Di saat seperti itulah, air datang. Tapi anehnya, menurut penduduk, air tak hanya datang dari arah laut. Air keluar dari arah makam. Air hitam, tinggi menjulang. Dan para peserta pesta pun terkepung. Dari depan mereka, arah laut, sebelum sempat sadar, gelombang dengan kecepatan setara jet komersial datang menghantam. Sedangkan dari belakang, air yang memancar tinggi, setinggi pohon kelapa dan juga bagai tembok, panjangnya menghalangi jalan keluar.
Benarkah cerita yang dituturkan penduduk Kreung Raya itu? Tentang air hitam yang keluar dengan dahsyat dari areal makam? Wallahu a’lam. Yang jelas, makam Syiah Kuala yang berusia ratusan tahun itu kini telah hilang, nyaris tak meninggalkan bekas di tempatnya.
Keajaiban dan karomah lain diperlihatkan lewat pemeran lain. Kali ini hewan-hewan, bukan manusia. Sebelum gempa dan gelombang tsunami menghantam, tanda-tanda yang disampaikan oleh alam dan hewan telah bertebaran. Kawanan burung putih terbang berarak-arak di langit kota Banda Aceh. Menurut kakek nenek dan orang-orang dulu, jika kawanan burung putih melintas di atas langit, akan ada bencana yang datang dari laut. Begitu juga jika air laut surut dengan cepat dari pantai. Orang tua dulu telah memberikan nasihat turun-temurun, jika air surut dengan cepat, depat-cepat lari naik ke hutan. Karena tak lama, ombak setinggi pohon kelapa akan segera datang.
Setelah bencana terjadi pun, keajaiban yang ditunjukkan oleh alam dan binatang juga terjadi. Mayat-mayat yang terbengkalai di mana-mana, hingga hari ini dikhawatirkan menimbulkan gelombang bencana susulan. Gelombang wabah kolera.
Tapi hingga hari ini, dua pekan lebih setelah hari bencana, belum diketahui ada korban selamat yang terjangkit kolera. Dan ini adalah keajaiban lain.
Keajaiban yang lain adalah, tak ada lalat-lalat yang mengerumuni mayat yang sudah pasti akan membantu cepatnya penyebaran virus atau bakteri kolera. Keheranan akal ini dicermati dengan teliti oleh dr. Mastanto dari Posko Keadilan Peduli Umat (PKPU). “Saya heran, benar-benar tidak ada lalat. Saya tak bisa membayangkan kalau lalat-lalat ada. Kolera pasti tak terbendung,” ujarnya.
Keajaiban dan karomah, kebesaran dan karunia Allah memang tak pernah absen dari kehidupan manusia. Asal kita pandai membaca tanda-tanda, kebesaran Allah selalu ada di mana-mana. Dan seharusnya, kebesaran itu pula yang akan membuat kepala kita kian tertunduk, hati dan jiwa kita kian mengerti bahwa hidup tidak lain kecuali untuk beribadah. Kepada-Nya.
Herry Nurdi
sabili cybernews 2004
Cipinang Cempedak III No.11A Polonia Jakarta Timur 13340
Bermacam keajaiban dan kebesaran Allah, nampak di Aceh. Mulai dari besarnya gelombang sampai cara-cara selamat yang tak masuk akal.
Pagi itu, daerah Krueng Raya yang berada di pantai barat Privinsi Nanggroe Aceh Darussalam ramai. Seperti biasa. Perkampungan di garis pantai itu, dipenuhi anak-anak yang turun bermain di bibir laut. Di daerah itu pula, Taufik bin Ahmad tinggal bersama istri dan seorang anaknya.
Rumah sederhananya berdiri di samping sebuah meunasah, atau mushalla, An Nur. Di meunasah itu pula, Taufik bin Ahmad setiap malam sampai subuh mendirikan shalat tahajud dengan sujud-sujud panjangnya. Mengajar ngaji anak-anak kecil dari perkampungan pantai dan juga berdakwah. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu, hari Ahad (26/12) langit juga cerah. Awan putih bergumpal dan berarak di langit biru. Tapi tiba-tiba bumi berguncang dengan kuatnya. Kepanikan, sesaat melanda penduduk perkampungan di garis pantai itu.
Tapi tak lama. Kepanikan yang mengepung segera sirna. Maklum, gempa memang bukan hal yang aneh pagi penduduk Serambi Mekkah ini. Tapi bukan karena itu saja, air pantai yang surut hingga lebih dari satu kilometer yang menyisakan ikan-ikan yang menggelepar di pantai begitu menggoda penduduk. Berduyun anak-anak dan juga orang dewasa, turun ke pantai yang garisnya sudah jauh surut. Mereka berebut ikan yang menari-nari di atas pasir.
Tapi, tidak dengan Taufik bin Ahmad. kepada SABILI ia mengaku perasaannya begitu ngeri melihat air surut dari pantai dengan cepatnya. Ia berteriak-teriak pada orang-orang untuk tak turun ke pantai. “Jangan. Jangan ke pantai,” pekiknya. Tapi tak ada yang hirau pada teriakan itu.
Ia berlari dan bilang pada istrinya, untuk segera menjauh dari pantai. Meski ia tak tahu apa yang bakal terjadi, perasaannya mengatakan ada yang tak wajar. Ia menyuruh istri dan anaknya untuk kembali ke rumah. Tak berapa lama, hanya dalam hitungan tak sampai beberapa menit ombak yang seperti tembok tingginya datang bergulung-gulung. Menggulung pantai, orang dan rumah-rumah. Taufik bin Ahmad pun terpisah dari anak dan istrinya.
Istri Taufik dan anaknya, masuk ke dalam meunasah. “Saya yakin, Allah tidak akan berbuat apa-apa dengan meunasah ini. Saya yakin, Allah akan menyelamatkan meunasah dan orang-orang di dalamnya,” ujar istri Taufik pada SABILI beberapa hari setelah badai usai.
Dan memang, meunasah itu tak apa-apa. Meunasah sederhana yang terbangun dari papan itu memang terbawa arus sampai beratus-ratus meter dari tempatnya berdiri semula. Begitu juga istri dan anak Taufik bin Ahmad. Dari dalam meunasah ia merasakan hantaman ombak tsunami, pusaran air yang menggulung-gulung. Tapi meunasah itu selamat, begitu juga anak dan istri Taufik bin Ahmad. Beberapa jam setelah air surut, suami, istri dan anak itu bertemu. Dengan selamat.
Padahal, tak jauh dari sana, masih di Krueng Raya, tangki-tangki Pertamina yang berukuran besar, dari besi dengan bobot berton-ton telah poranda. Bentuk aslinya telah hilang oleh gelombang tsunami yang menghantam. Meunasah kecil An Nur yang sederhana, adalah keajaiban Allah yang dituturkan oleh keluarga Taufik bin Ahmad, keluarga yang selamat di dalam rumah Allah itu.
Masih di Kreung Raya, keajaiban dipertontonkan pada manusia. Sebuah dayeuh atau pesantren, Darul Hijrah namanya, adalah saksi sekaligus penerima dari karomah yang luar biasa itu. Pesantren yang berdiri di tepi pantai itu cukup indah dengan pemandangan langsung ke arah pantai. Tapi itu adalah pemandangan sebelum gelombang tsunami menghantam.
Meski pantai sudah tak seperti dulu lagi, Darul Hijrah masih tetap seperti semula. Dayeuh dengan enam bangunan yang terbuat dari rumah panggung papan itu bahkan tak bergeser sedikit pun. Puluhan santrinya selamat, tak kurang suatu apa.
Menurut keterangan santri dan penduduk sekitar, gelombang tsunami memang menerpa. Namun, tepat di sekitar dayeuh, arus gelombang seakan melemah. Bahkan gelombang seolah terbelah dan membiarkan dayeuh selamat dari terjangan tsunami. Padahal, sekali lagi, Pertamina yang tak jauh dari tempat itu, hanya berjarak beberapa kilometer saja, lantak oleh tsunami. Tangki-tangki besar yang berbobot mati berton-ton penyok, tak sesuai bentuk asalnya. Bahkan tangki-tangki itu tak berdiri di tempatnya semula.
Pesantren atau dayeuh lain yang selamat adalah Nasrul Muta’alimin, di kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Dayeuh yang berada hanya beberapa ratus meter saja dari laut yang menjadi pusat tsunami ini selamat tak kurang suatu apa. Begitu juga para santrinya, tak seorang pun menjadi korban. Menurut seorang santri, Halimah, yang ditemui SABILI, para penghuni pesantren mengamati terjangan tsunami sejak awal. Detik demi detik. Sementara itu, di dalam pesantren, seluruh santri dan guru berzikir tak putus dan memanjatkan doa tiada henti.
Dan alhamdulillah, doa mereka seakan terjawab. Gelombang air yang begitu dahsyat itu seolah terpisah saat sampai di Pesantren Nasrul Muta’alimin. Air hanya lewat dengan begitu tenang di bawah bangunan pesantren yang berbentuk rumah panggung. “Kami semua membaca al-Qur’an dan berdoa tak henti-henti ketika ombak laut datang,” ujar Halimah yang saat itu tak menyangka akan begitu banyak korban yang ditelan tsunami yang melintas di hadapannya.
Masjid Kreung Raya pun tetap utuh seperti sedia kala. Air memang sempat masuk ke bangunan masjid. Tak tak satu pun tiang atau sudut bangunan masjid ini yang roboh. Masjid ini masih berdiri kokoh di ujung muara kreung (sungai, Aceh). Jika melihat posisi masjid yang benar-benar nyaris di bibir pantai, rasanya mustahil bagi akal untuk menerimanya tetap berdiri tak kurang suatu apa. Allah memang telah memilih apa yang hendak diselamatkan, dan apa pula yang hendak dilumatkan.
Daerah garis pantai Kreung Raya memang menyimpan banyak cerita setelah tsunami reda. Di pantai itu pula ulama besar dari abad silam, Syiah Kuala dimakamkan. Makam yang indah di tepi pantai.
Di tepi pantai itu pula, dua malam sebelum bencana, menurut keterangan penduduk yang selamat, beberapa anggota Brimob yang beragama Kristen merayakan malam Natal. Acara cukup meriah, ujar seorang penduduk yang selamat. Tapi tak hanya perayaan Natal. Pada malam berikutnya, perayaan Natal berganti dengan pesta. Tak jelas, apakah orang-orang yang berada di tempat tersebut sama dengan orang-orang sebelumnya, tapi yang jelas, malam itu lebih meriah dengan malam sebelumnya.
Pesta api unggun hingga pagi hari. Tenda-tenda juga didirikan. Suara-suara perempuan terdengar oleh penduduk dari kejauhan. Entah sedang berlangsung pesta apa di pantai dekat makam Syekh Syiah Kuala itu. Pesta memang terus berlangsung hingga sinar matahari memecahkan gelap langit. Penduduk sekitar menceritakan, orang-orang tersebut bahkan masih berada di pantai saat gempa mengguncang. Peserta pesta semalam itu, dituturkan, terkaget-kaget juga saat air pantai surut hingga jauh ke laut. Mereka terbengong-bengong dan tak tahu apa yang terjadi.
Di saat seperti itulah, air datang. Tapi anehnya, menurut penduduk, air tak hanya datang dari arah laut. Air keluar dari arah makam. Air hitam, tinggi menjulang. Dan para peserta pesta pun terkepung. Dari depan mereka, arah laut, sebelum sempat sadar, gelombang dengan kecepatan setara jet komersial datang menghantam. Sedangkan dari belakang, air yang memancar tinggi, setinggi pohon kelapa dan juga bagai tembok, panjangnya menghalangi jalan keluar.
Benarkah cerita yang dituturkan penduduk Kreung Raya itu? Tentang air hitam yang keluar dengan dahsyat dari areal makam? Wallahu a’lam. Yang jelas, makam Syiah Kuala yang berusia ratusan tahun itu kini telah hilang, nyaris tak meninggalkan bekas di tempatnya.
Keajaiban dan karomah lain diperlihatkan lewat pemeran lain. Kali ini hewan-hewan, bukan manusia. Sebelum gempa dan gelombang tsunami menghantam, tanda-tanda yang disampaikan oleh alam dan hewan telah bertebaran. Kawanan burung putih terbang berarak-arak di langit kota Banda Aceh. Menurut kakek nenek dan orang-orang dulu, jika kawanan burung putih melintas di atas langit, akan ada bencana yang datang dari laut. Begitu juga jika air laut surut dengan cepat dari pantai. Orang tua dulu telah memberikan nasihat turun-temurun, jika air surut dengan cepat, depat-cepat lari naik ke hutan. Karena tak lama, ombak setinggi pohon kelapa akan segera datang.
Setelah bencana terjadi pun, keajaiban yang ditunjukkan oleh alam dan binatang juga terjadi. Mayat-mayat yang terbengkalai di mana-mana, hingga hari ini dikhawatirkan menimbulkan gelombang bencana susulan. Gelombang wabah kolera.
Tapi hingga hari ini, dua pekan lebih setelah hari bencana, belum diketahui ada korban selamat yang terjangkit kolera. Dan ini adalah keajaiban lain.
Keajaiban yang lain adalah, tak ada lalat-lalat yang mengerumuni mayat yang sudah pasti akan membantu cepatnya penyebaran virus atau bakteri kolera. Keheranan akal ini dicermati dengan teliti oleh dr. Mastanto dari Posko Keadilan Peduli Umat (PKPU). “Saya heran, benar-benar tidak ada lalat. Saya tak bisa membayangkan kalau lalat-lalat ada. Kolera pasti tak terbendung,” ujarnya.
Keajaiban dan karomah, kebesaran dan karunia Allah memang tak pernah absen dari kehidupan manusia. Asal kita pandai membaca tanda-tanda, kebesaran Allah selalu ada di mana-mana. Dan seharusnya, kebesaran itu pula yang akan membuat kepala kita kian tertunduk, hati dan jiwa kita kian mengerti bahwa hidup tidak lain kecuali untuk beribadah. Kepada-Nya.
Herry Nurdi
sabili cybernews 2004
Cipinang Cempedak III No.11A Polonia Jakarta Timur 13340
Selasa, Januari 18, 2005 | 0
ulasan
Link Berita - Kompas Cyber Media
Written By JOM JALAN on 16/01/05 | Ahad, Januari 16, 2005
Organisasi, Koordinasi, dan Komando Titik Lemah Penanganan Bencana Tsunami Pengorganisasian, koordinasi, komando dan pengendalian adalah titik lemah dalam penanganan bencana di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. dengan " | ||
|
Ahad, Januari 16, 2005 | 0
ulasan
Written By JOM JALAN on 15/01/05 | Sabtu, Januari 15, 2005
KARYA al-Muqatha'ah, iaitu catatan huruf-huruf tunggal khat Nasta'liq oleh seniman dari Iran dengan menggunakan buluh khaizaran.
Pena khat - Rahsia tulisan indah
KETIKA menatap lembaran khat yang indah, pernahkah kita bertanya, apa rahsia di sebalik keindahan karya itu? Antara rahsianya ialah pena yang terselit dicelah genggaman jari penulis.
Pena telah digunakan sejak ribuan tahun dahulu dalam tamadun manusia, sama ada untuk seni mahupun kegunaan umum. Pada zaman awal, ia berperanan sebagai alat melakar lukisan dan simbol pada dinding gua atau batu seperti inskripsi tulisan tamadun Sumeria, Mesir purba, Phoenix dan lain-lain.
Pena mengalami evolusi daripada melakar hingga kepada penggunaan tinta. Proses ini turut berlaku dalam penyalinan wahyu pada zaman Rasulullah s.a.w. Setiap catatan sama ada pahatan atau menggunakan tinta, termasuk dalam kategori penggunaan pena.
Lorekan pena yang tidak bertinta di atas bahan keras seperti batu atau lain-lain menghasilkan corak tulisan Arab yang tegak dan keras (Yabis). Sementara catatan pena bertinta di atas lembaran lembut menghasilkan tulisan yang lembut (Jaff).
Tulisan Cina yang bergaya bebas pula dihasilkan daripada pena berus bulu haiwan kerana ia sesuai dengan corak tulisan tersebut. Manuskrip al-Quran dari China unik kerana menggunakan pena yang dibalut dengan kain sutera. Pena menggunakan tinta digunakan secara meluas sehingga hari ini mungkin kerana ia membuka lebih banyak ruang untuk berseni atau aktiviti lain.
Dalam kecanggihan teknologi ICT, prinsip pena masih lagi dimanfaatkan misalnya dengan kewujudan pena elektronik yang dilakar di atas skrin komputer. Pena disebut di dalam al-Quran antaranya dalam surah al-Qalam, maksudnya: Nun. Demi pena dan demi apa yang mereka catatkan'' dan surah al-`Alaq, maksudnya:''Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang mengajar melalui perantaraan pena.
Allah s.w.t. membuat perumpamaan pena seperti dalam surah Luqman ayat 27: Seandainya pohon di bumi menjadi pena, dan lautan (menjadi tinta) ditambah kepadanya tujuh lautan sesudah keringnya, tidak akan habis kalimat Allah.''
Ayat ini menunjukkan kegunaan pohon sebagai pena. Pohon adalah dalam kategori tumbuhan. Daripada pengalaman dan kajian, didapati pena daripada tumbuhan jauh lebih baik daripada pena moden berjenama dan berharga ribuan ringgit. Inilah yang mendorong seniman khat untuk menggunakan pena daripada tumbuhan dalam penyalinan al-Quran sejak dahulu lagi.
Pena boleh dihasilkan daripada pelbagai bahan dan didapati di mana sahaja di muka bumi ini. Selain itu, bahan lain seperti kulit gandum, kulit padi dan sebagainya turut dijadikan mata pena. Ini memudahkan ia digunakan untuk menyalin ayat al-Quran dan kegunaan yang lain. Kemudahan ini menggalakkan manusia untuk mendalami rahsia ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. melalui ilmu dan penyalinan ayat-ayat-Nya.
Pena boleh diperbuat daripada pelbagai bahan sama ada tumbuhan atau logam. Namun pena yang diperbuat daripada tumbuhan ada keistimewaan yang tersendiri. Struktur rawan dan seratnya mampu menyerap dakwat secara semula jadi. Ia anjal dan membantu penulis untuk mengawal aliran tinta sewaktu membentuk huruf. Saiz mata penanya juga boleh diubah mengikut saiz huruf yang diperlukan. Banyak lagi keistimewaan pena tumbuhan selain daripada ini.
Pena tumbuh-tumbuhan lebih dekat dengan jiwa penulis. Keindahan tulisan terpancar daripada cahaya hati dan disalur melalui pena yang baik. Tidak hairanlah jika Plato sendiri pernah mengatakan, ``Tulisan adalah mekanisma jiwa yang dizahirkan melalui perkakas jasmani (pena).'' Selain khat, pena daripada tumbuhan juga baik untuk tanda tangan dan hasil kesenian lain yang mengkagumkan.
Bumi kita kaya dengan bahan yang baik untuk pena. Ini tidak menghairankan kerana Malaysia mempunyai `Green Gold' atau emas hijau.
Di antara tumbuhan hebat untuk pena di negara kita ialah handam atau resam. Ia adalah daripada sejenis pokok paku yang tumbuh meliar di tepi jalan, desa dan hutan. Ia amat diminati oleh seniman khat dari seluruh dunia. Malah ada yang merentasi ribuan batu demi mencari `pena emas' ini dan ada peniaga di negara mereka yang menjualnya dengan harga yang lumayan.
Keistimewaan ini membuatkan Black & Brown suatu ketika dahulu istiqamah untuk menyalin manuskrip Al-Quran Mushaf Malaysia beriluminasi penuh selama tiga tahun dengan menggunakan handam dan tidak tertarik untuk menggunakan pena khat biasa.
Pena
Selain handam atau resam, bilah daripada pohon ijuk yang amat keras dan kurus juga amat baik digunakan sebagai pena. Buluh juga tidak kurang pentingnya. Penulis khat di Asia Barat gemar juga menggunakan buluh untuk penulisan khat. Di Iran, penulis menggunakan sejenis buluh yang di panggil Khaizaran. Sejenis tumbuhan seperti bemban yang dipanggil Dusfuli turut menjadi pilihan mereka.
Jika manusia perlu diasah, pena juga perlu dibentuk dan diasah agar menjadi pena yang baik. Pena baru `dilatih' supaya benar-benar bersedia untuk tulisan. Biasanya penulis mempunyai beberapa jenis saiz mata pena. Saiz dan kecondongan mata pena amat penting dalam menentukan ketepatan khat.
Pena dan tinta disimpan dalam bekas yang tersendiri dan diasah dari masa ke masa. Malah ada penulis khat zaman dahulu `memulangkan' cebisan pena ke dalam tanah dan ada yang menyimpan baki pena penyalinan ayat al-Quran dengan baik demi menjunjung tinggi Kalam Allah s.w.t.
Antara petua mengasah pena ialah membentuk sisi mata seperti bentuk ikan. Antaranya lagi ialah memotong matanya mengikut kecondongan antara hujung jari telunjuk dan jari tengah. Kadar ukuran lilit batang pena juga turut menjadi ukuran untuk bahagian yang terlibat dalam meraut mata pena.(Lihat gambar di bawah)
Penggunaan pena ini tidak menolak kemajuan, bahkan ia menjadi satu elemen pemangkin pembangunan budaya sesebuah bangsa. Black & Brown berusaha mengembangkan dan memperkenalkan penggunaan pena kepada masyarakat. Kajian turut dijalankan supaya nikmat Allah s.w.t. melalui pena yang tidak ternilai ini akan dapat dihayati oleh semua.
* Artikel di atas adalah hak intelektual Black & Brown Resources Sdn. Bhd. Ia sebuah syarikat bumiputera yang berpengalaman dalam seni Islam, penerbitan dan pengiklanan selama 15 tahun dan pembinaan manuskrip al-Quran beriluminasi selama 10 tahun.
Tel: 03-61565660 Faks: 03-61565661 E-mel: sisipanseni@blackbrown.com.my
http://www.blackbrown.com.my
Sabtu, Januari 15, 2005 | 0
ulasan
Sharifah Maslina disambut meriah
Sharifah Maslina disambut meriah
Oleh: ABDUL MUIN SAPIDIN
SEPANG 14 Jan. - Wanita Asia pertama berjaya merentasi Antartika secara solo, Datuk Paduka Sharifah Maslina Syed Kadir disambut meriah setibanya di Lapangan Terbang Antarabangsa Kuala Lumpur (KLIA) hari ini.
Ketibaannya disambut oleh Timbalan Menteri Belia dan Sukan, Datuk Ong Tee Keat; Menteri Pengajian Tinggi, Datuk Dr. Shafie Mohd. Salleh dan Naib Canselor Universiti Teknologi Mara (UiTM), Prof. Datuk Seri Dr. Ibrahim Abu Shah.
Lebih 300 pelajar UiTM yang menunggu seawal pukul enam pagi bersorak sebaik sahaja Sharifah Maslina tiba dan dia turut menerima ucapan tahniah daripada wakil penaja dan kakitangan Kementerian Belia dan Sukan.
Beliau yang juga pensyarah Psikologi Sukan, Fakulti Sukan dan Rekreasi UiTM memulakan ekspedisi merentasi Antartika dengan kaedah ski sailing selama 22 hari bermula dari Kutub Selatan sehingga melepasi garisan penamat di Hercules Inlet pada pukul 10.45 malam, 29 Disember lalu.
Kejayaan itu lebih manis apabila pihak Ekspedisi dan Logistik Antartika (ALE), iaitu badan yang mengurus dan mengendalikan ekspedisi itu, turut mengiktiraf kejayaan beliau memecahkan rekod 24 hari yang dicatat sebelum ini.
Sharifah, 39, yang ditemui pada sidang akhbar menceritakan detik-detik sukar apabila terpaksa berdepan angin kencang dan ribut salji sehingga pada satu ketika beliau menangis dan hampir berputus asa.
``Saat paling kritikal itu berlaku pada hari ke-18 dan cukup pantas, dalam satu hingga dua saat semuanya berubah, ribut salji berlaku secara mengejut, permukaan laluan juga berubah sehingga saya tidak nampak apa-apa.
``Saya mula hilang kawalan dan tersungkur dengan salah satu ski terbenam dan sebelah lagi melintang keluar menyebabkan saya tidak dapat bergerak langsung,'' katanya.
Menurutnya, apabila keadaan mula reda, beliau mengerah tenaga yang ada untuk membuka kasut ski bagi membolehkannya bergerak tetapi angin ribut yang lebih hebat datang sekali lagi sehingga menyebabkannya melayang di udara.
``Saya terdengar bunyi `krek' pada lutut saya dan ia membuat saya berfikir kaki saya mungkin patah, ia terlalu sakit sehingga membuat saya menangis... saya mula ketakutan dan berfikir adakah patut saya teruskan ekspedisi ini.
``Tapi melihat logo-logo yang ada pada baju membuat saya berfikir betapa saya tidak boleh mengalah begitu sahaja, mengenangkan harapan besar seluruh rakyat Malaysia, saya gagahkan juga,'' ujarnya lagi.
Sementara itu, Tee Keat berkata, Sharifah Maslina akan dilibatkan dalam program bagi membentuk kekuatan minda di kalangan belia di negara ini.
Katanya, kementeriannya akan bekerjasama dengan UiTM untuk membolehkan beliau menjelajah ke seluruh negara untuk memotivasikan golongan belia.
Oleh: ABDUL MUIN SAPIDIN
SEPANG 14 Jan. - Wanita Asia pertama berjaya merentasi Antartika secara solo, Datuk Paduka Sharifah Maslina Syed Kadir disambut meriah setibanya di Lapangan Terbang Antarabangsa Kuala Lumpur (KLIA) hari ini.
Ketibaannya disambut oleh Timbalan Menteri Belia dan Sukan, Datuk Ong Tee Keat; Menteri Pengajian Tinggi, Datuk Dr. Shafie Mohd. Salleh dan Naib Canselor Universiti Teknologi Mara (UiTM), Prof. Datuk Seri Dr. Ibrahim Abu Shah.
Lebih 300 pelajar UiTM yang menunggu seawal pukul enam pagi bersorak sebaik sahaja Sharifah Maslina tiba dan dia turut menerima ucapan tahniah daripada wakil penaja dan kakitangan Kementerian Belia dan Sukan.
Beliau yang juga pensyarah Psikologi Sukan, Fakulti Sukan dan Rekreasi UiTM memulakan ekspedisi merentasi Antartika dengan kaedah ski sailing selama 22 hari bermula dari Kutub Selatan sehingga melepasi garisan penamat di Hercules Inlet pada pukul 10.45 malam, 29 Disember lalu.
Kejayaan itu lebih manis apabila pihak Ekspedisi dan Logistik Antartika (ALE), iaitu badan yang mengurus dan mengendalikan ekspedisi itu, turut mengiktiraf kejayaan beliau memecahkan rekod 24 hari yang dicatat sebelum ini.
Sharifah, 39, yang ditemui pada sidang akhbar menceritakan detik-detik sukar apabila terpaksa berdepan angin kencang dan ribut salji sehingga pada satu ketika beliau menangis dan hampir berputus asa.
``Saat paling kritikal itu berlaku pada hari ke-18 dan cukup pantas, dalam satu hingga dua saat semuanya berubah, ribut salji berlaku secara mengejut, permukaan laluan juga berubah sehingga saya tidak nampak apa-apa.
``Saya mula hilang kawalan dan tersungkur dengan salah satu ski terbenam dan sebelah lagi melintang keluar menyebabkan saya tidak dapat bergerak langsung,'' katanya.
Menurutnya, apabila keadaan mula reda, beliau mengerah tenaga yang ada untuk membuka kasut ski bagi membolehkannya bergerak tetapi angin ribut yang lebih hebat datang sekali lagi sehingga menyebabkannya melayang di udara.
``Saya terdengar bunyi `krek' pada lutut saya dan ia membuat saya berfikir kaki saya mungkin patah, ia terlalu sakit sehingga membuat saya menangis... saya mula ketakutan dan berfikir adakah patut saya teruskan ekspedisi ini.
``Tapi melihat logo-logo yang ada pada baju membuat saya berfikir betapa saya tidak boleh mengalah begitu sahaja, mengenangkan harapan besar seluruh rakyat Malaysia, saya gagahkan juga,'' ujarnya lagi.
Sementara itu, Tee Keat berkata, Sharifah Maslina akan dilibatkan dalam program bagi membentuk kekuatan minda di kalangan belia di negara ini.
Katanya, kementeriannya akan bekerjasama dengan UiTM untuk membolehkan beliau menjelajah ke seluruh negara untuk memotivasikan golongan belia.
Sabtu, Januari 15, 2005 | 0
ulasan
Tsunami Aceh: Awasi Penipuan
Jumat, 14 Januari 2005 18:58:00
Penipuan dengan Dalih Minta Bantuan untuk Korban Tsunami Aceh
Bekasi-RoL-- Lama menjadi pengangguran, membuat Ahmad Jundi (22 tahun) nekad melakukan penipuan. Hal ini dilakukannya dengan memanfaatkan bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh.
Ahmad Jundi melakukan penipuan dengan mengaku-ngaku sebagai mahasiswa Universitas Terbuka (UT). Kemudian ia berkeliling untuk meminta bantuan kepada warga di Jalan Siliwangi, Narogong, Bekasi Timur. Bantuan tersebut ia katakan akan diberikan bagi korban gempa dan tsunami di Aceh.
Untuk meyakinkan warga setempat, dalam aksi tersebut ia mengenakan jaket almamater Universitas Terbuka. Masyarakat yang merasa terusik dan curiga dengan aktivitas tersangka, kemudian melaporkan tindakan tersebut ke Polsek Bekasi Timur.
Mendapat laporan tersebut, petugas langsung menuju ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Petugas pun lantas membawa dan mengamankan tersangka. Dari tangan tersangka, polisi berhasil menyita barang bukti berupa uang sebesar Rp 96.500 dan sebuah jaket almamater.
Saat dikonfirmasi, Kapolsek Bekasi Timur, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Sambodo, membenarkan adanya kejadian tersebut. Ia juga menghimbau kepada masyarakat agar berhati-hati terhadap aksi penipuan yang berkedok bantuan untuk korban gempa dan tsunami di Aceh.
Sambodo juga mengatakan bahwa aksi pengumpulan bantuan tersebut seharusnya mendapat ijin dari Dinas Sosial. Ia pun berharap Dinas Sosial dapat lebih menertibkan aksi-aksi tersebut. c26
Penipuan dengan Dalih Minta Bantuan untuk Korban Tsunami Aceh
Bekasi-RoL-- Lama menjadi pengangguran, membuat Ahmad Jundi (22 tahun) nekad melakukan penipuan. Hal ini dilakukannya dengan memanfaatkan bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh.
Ahmad Jundi melakukan penipuan dengan mengaku-ngaku sebagai mahasiswa Universitas Terbuka (UT). Kemudian ia berkeliling untuk meminta bantuan kepada warga di Jalan Siliwangi, Narogong, Bekasi Timur. Bantuan tersebut ia katakan akan diberikan bagi korban gempa dan tsunami di Aceh.
Untuk meyakinkan warga setempat, dalam aksi tersebut ia mengenakan jaket almamater Universitas Terbuka. Masyarakat yang merasa terusik dan curiga dengan aktivitas tersangka, kemudian melaporkan tindakan tersebut ke Polsek Bekasi Timur.
Mendapat laporan tersebut, petugas langsung menuju ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Petugas pun lantas membawa dan mengamankan tersangka. Dari tangan tersangka, polisi berhasil menyita barang bukti berupa uang sebesar Rp 96.500 dan sebuah jaket almamater.
Saat dikonfirmasi, Kapolsek Bekasi Timur, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Sambodo, membenarkan adanya kejadian tersebut. Ia juga menghimbau kepada masyarakat agar berhati-hati terhadap aksi penipuan yang berkedok bantuan untuk korban gempa dan tsunami di Aceh.
Sambodo juga mengatakan bahwa aksi pengumpulan bantuan tersebut seharusnya mendapat ijin dari Dinas Sosial. Ia pun berharap Dinas Sosial dapat lebih menertibkan aksi-aksi tersebut. c26
Sabtu, Januari 15, 2005 | 0
ulasan
Umat Islam Aceh, pasukan keselamatan, sukarelawan dan para wartawan mendirikan solat Jumaat di Masjid Baiturrahman di Banda Aceh yang tidak terjejas strukturnya semasa bencana tsunami melanda wilayah itu 26 Disember lalu dan mengorbankan kira-kira 250,000 penduduk.
Masjid berusia lebih 300 tahun itu yang menjadi simbol Banda Aceh, sebelum ini tidak dapat digunakan untuk solat Jumaat berikutan bencana tersebut.
Dalam khutbahnya, imam besar masjid berkenaan, Muhammad Daud Zamzuri berkata: ``Bencana gempa bumi dan ombak tsunami itu merupakan hukuman Allah ke atas kita semua.''
Sabtu, Januari 15, 2005 | 0
ulasan
Yatim Aceh: Selamatkan Aqidah Mereka
MUI desak yayasan Kristian pulangkan anak yatim Aceh
Daripada: ZULKIFLEE BAKAR
JAKARTA 14 Jan. - Majlis Ulama Indonesia (MUI) mendesak sebuah yayasan Kristian yang berpusat di Virginia, Amerika Syarikat (AS) memulangkan segera 300 anak Aceh yang dibawa keluar dari wilayah itu semasa bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Disember lalu.
Setiausaha Agung MUI, Din Syamsuddin menegaskan kesemua anak Aceh yang kini diasuh oleh yayasan itu dan sebahagiannya sudah berada di luar Jakarta perlu dikembalikan ke wilayah asal mereka melalui saluran pemerintah.
``Jika permintaan ini diabaikan kami akan bertindak lebih tegas kerana kami mempunyai nama pemimpin kelompok yang membawa anak-anak tersebut,'' katanya seperti dipetik detik.com hari ini.
Beliau mengulas tindakan Yayasan WorldHelp yang mengaku telah membawa 300 anak yatim Aceh, mangsa bencana gempa bumi dan ombak tsunami ke Jakarta.
Yayasan ini mempunyai rangkaian di Jakarta yang mengelola rumah anak yatim.
Dalam laporan akhbar Washington Post, 13 Januari lalu yayasan tersebut menyatakan bencana besar di Aceh memberi peluang kepada mereka membawa anak-anak Aceh yang sebahagian besar berumur di bawah 12 tahun keluar dari wilayah itu untuk ditukarkan agama mereka.
Ini kerana, menurut yayasan itu, pada waktu biasa Aceh tertutup untuk orang asing dan penyebar agama.
``Mereka trauma, yatim-piatu, tidak punya rumah, tidak tahu mahu pergi ke mana dan tidak memiliki sesuatu untuk dimakan,'' kata WorldHelp seperti dipetik akhbar harian Republika hari ini.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum ini mengeluarkan larangan mana-mana pihak membawa keluar anak yatim Aceh dari wilayah itu semasa isu penculikan dan perdagangan anak tersebar luas.
Din seterusnya menjelaskan kes seumpama itu tidak boleh dibiarkan kerana akan menjadi isu serius kepada umat Islam.
``Kami mengetahui 300 anak Aceh yang diambil oleh kelompok fundamentalis Kristian yang dibiayai oleh WorldHelp ini sudah berada di luar Jakarta,'' kata Din lagi.
MUI juga kata Din menyeru pemerintah bertindak tegas mengusir WorldHelp dan organisasi asing lainnya yang menggunakan dalih memberikan bantuan kemanusiaan di Aceh tetapi sebaliknya mempunyai tujuan lain.
WorldHelp yang dikatakan telah mengumpulkan sumbangan sebanyak RM1.3 juta untuk bantuan ke Aceh mengaku mendapat izin pemerintah Indonesia untuk membawa keluar anak-anak Aceh.
Yayasan itu yang ditubuhkan pada 1991 kini mempunyai 100 tenaga kerja di AS dan sejumlah aktivis di 50 buah negara.
Selain WorldHelp beberapa pertubuhan seperti WorldVision, Catholic Relief Services and Church World Service dan Advancing Native Missions (Charlottesville, AS) dikatakan telah berada di Aceh untuk menyebarkan agama Kristian.
Sementara itu, jurucakap Kementerian Luar Indonesia, Marty Natalagawa menegaskan, pemerintah Indonesia tidak pernah mengeluarkan izin untuk WorldHelp membawa keluar anak-anak Aceh.
Sehubungan itu, katanya, pihaknya akan mendapatkan penjelasan daripada WorldHelp melalui Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Syarikat. - Utusan
Daripada: ZULKIFLEE BAKAR
JAKARTA 14 Jan. - Majlis Ulama Indonesia (MUI) mendesak sebuah yayasan Kristian yang berpusat di Virginia, Amerika Syarikat (AS) memulangkan segera 300 anak Aceh yang dibawa keluar dari wilayah itu semasa bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Disember lalu.
Setiausaha Agung MUI, Din Syamsuddin menegaskan kesemua anak Aceh yang kini diasuh oleh yayasan itu dan sebahagiannya sudah berada di luar Jakarta perlu dikembalikan ke wilayah asal mereka melalui saluran pemerintah.
``Jika permintaan ini diabaikan kami akan bertindak lebih tegas kerana kami mempunyai nama pemimpin kelompok yang membawa anak-anak tersebut,'' katanya seperti dipetik detik.com hari ini.
Beliau mengulas tindakan Yayasan WorldHelp yang mengaku telah membawa 300 anak yatim Aceh, mangsa bencana gempa bumi dan ombak tsunami ke Jakarta.
Yayasan ini mempunyai rangkaian di Jakarta yang mengelola rumah anak yatim.
Dalam laporan akhbar Washington Post, 13 Januari lalu yayasan tersebut menyatakan bencana besar di Aceh memberi peluang kepada mereka membawa anak-anak Aceh yang sebahagian besar berumur di bawah 12 tahun keluar dari wilayah itu untuk ditukarkan agama mereka.
Ini kerana, menurut yayasan itu, pada waktu biasa Aceh tertutup untuk orang asing dan penyebar agama.
``Mereka trauma, yatim-piatu, tidak punya rumah, tidak tahu mahu pergi ke mana dan tidak memiliki sesuatu untuk dimakan,'' kata WorldHelp seperti dipetik akhbar harian Republika hari ini.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum ini mengeluarkan larangan mana-mana pihak membawa keluar anak yatim Aceh dari wilayah itu semasa isu penculikan dan perdagangan anak tersebar luas.
Din seterusnya menjelaskan kes seumpama itu tidak boleh dibiarkan kerana akan menjadi isu serius kepada umat Islam.
``Kami mengetahui 300 anak Aceh yang diambil oleh kelompok fundamentalis Kristian yang dibiayai oleh WorldHelp ini sudah berada di luar Jakarta,'' kata Din lagi.
MUI juga kata Din menyeru pemerintah bertindak tegas mengusir WorldHelp dan organisasi asing lainnya yang menggunakan dalih memberikan bantuan kemanusiaan di Aceh tetapi sebaliknya mempunyai tujuan lain.
WorldHelp yang dikatakan telah mengumpulkan sumbangan sebanyak RM1.3 juta untuk bantuan ke Aceh mengaku mendapat izin pemerintah Indonesia untuk membawa keluar anak-anak Aceh.
Yayasan itu yang ditubuhkan pada 1991 kini mempunyai 100 tenaga kerja di AS dan sejumlah aktivis di 50 buah negara.
Selain WorldHelp beberapa pertubuhan seperti WorldVision, Catholic Relief Services and Church World Service dan Advancing Native Missions (Charlottesville, AS) dikatakan telah berada di Aceh untuk menyebarkan agama Kristian.
Sementara itu, jurucakap Kementerian Luar Indonesia, Marty Natalagawa menegaskan, pemerintah Indonesia tidak pernah mengeluarkan izin untuk WorldHelp membawa keluar anak-anak Aceh.
Sehubungan itu, katanya, pihaknya akan mendapatkan penjelasan daripada WorldHelp melalui Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Syarikat. - Utusan
Sabtu, Januari 15, 2005 | 0
ulasan
Ari Afrizal: 15 hari di Lautan Hindi
Written By JOM JALAN on 13/01/05 | Khamis, Januari 13, 2005
KLANG 12 Jan. - Ari Afrizal Samsuddin, orang hanyut Aceh yang diselamatkan oleh sebuah kapal dagang setelah terapung selama 15 hari di Lautan Hindi kelmarin, hari ini menerima berita gembira.
Sebahagian daripada keluarganya di Aceh terselamat daripada tsunami.
Malam tadi, perasaannya masih pilu teringat kampung halamannya yang musnah sama sekali akibat ombak besar itu.
Khabar gembira itu dimaklumkan oleh pihak Kedutaan Indonesia yang mengatakan ibu dan dua orang adik-beradiknya terselamat daripada malapetaka tersebut. Mereka kini berada di Desa Kabung, Krueng Sabee, Aceh Jaya.
Namun, perasaan sedih bercampur sugul tetap tergambar di wajahnya apabila nasib bapanya, Samsuddin, 60, abangnya, Fikri, 24, dan adik bongsunya, Mona, 15, masih belum diketahui.
Ari Afrizal, 22, yang masih dirawat di Hospital Tengku Ampuan Rahimah (HTAR) berkata, ibunya, Rayah, 40-an bersama abangnya, Mahaya, 26, dan adiknya Mahruzal, 18, berjaya menyelamatkan diri pada hari kejadian walaupun telah dihanyutkan ombak.
``Saya sangat gembira apabila mendapat berita ibu, abang Mahaya dan adik Mahruzal selamat,'' katanya ketika ditemui pemberita di HTAR di sini.
Khamis, Januari 13, 2005 | 0
ulasan
Binaan rumah ibadat lebih kukuh
Written By JOM JALAN on 11/01/05 | Selasa, Januari 11, 2005
Forum
Binaan rumah ibadat lebih kukuh
Saudara Pengarang,
SESUNGGUHNYA bencana tsunami yang melanda kawasan Asia pada 26 Disember lalu banyak memberikan pengajaran kepada mereka yang mampu berfikir secara rasional. Dalam al-Quran ada banyak ayat-ayat yang dimulai dengan ``tidakkah engkau berfikir?'' Oleh itu ternyata Allah menghendaki kita menggunakan pemikiran apakah implikasi di sebalik musibah tersebut.
Dari gambar-gambar yang disiarkan melalui akhbar terhadap kerosakan di Aceh di dapati ada banyak terdapat masjid yang terselamat dari ombak besar itu misalnya masjid Baiturahman di Banda Acheh. Begitu juga ada masjid-masjid lain yang tidak terjejas walaupun kawasan di sekitarnya menjadi `padang jarak padang tekukur'. Akibatnya ramailah yang menganggap masjid itu sebagai Rumah Allah dan Allah telah menyelamatkan rumah-Nya.
Secara logiknya kalau kita bersedia menggunakan pemikiran yang rasional kita tentu tertanya-tanya juga tentang beberapa kejadian lain yang serupa. Misalnya di Sri Lanka terdapat beberapa buah kuil Hindu yang tidak terjejas; di Thailand ada pula Wat Siam yang turut tidak diganggu oleh ombak tsunami dan di beberapa tempat lain ada patung Buddha dan salib Kristian serta gereja yang juga terselamat walaupun kawasan sekelilingnya rosak teruk.
Semua binaan-binaan itu terletak dekat dengan pantai. Kita tentu akan tertanya-tanya apakah kuil Hindu, patung Buddha dan gereja itu juga sebagai rumah Allah dan Allah menyelamatkan rumah-Nya ?
Kalau kita bersedia melihatnya secara yang lebih terperinci kita akan dapati bahawa struktur binaan rumah-rumah ibadat tersebut didirikan dalam bentuk yang lebih kukuh daripada binaan rumah-rumah di sekitarnya. Masjid Baiturahman di Aceh itu misalnya sudah lebih dari 700 tahun dibina.
Ternyata struktur pembinaannya sangat teguh untuk menghadapi ombak yang sangat besar itu. Begitu juga rumah-rumah ibadat agama lain yang turut tidak terjejas. patung Buddha itu terselamat kerana ia dibuat daripada konkrit atau logam yang sangat berat dan teguh. Oleh itu memang wajar kalau binaan-binaan tersebut tidak menghadapi kerosakan bila ombak tsunami melanda. Ternyata bukan masjid saja yang terselamat.
Marilah kita membuka mata dan bersedia melihat suasana di keliling kita dengan menggunakan pemikiran yang Allah s.w.t. kurniakan kepada kita sebaik mungkin. Janganlah kita hanya melihat apa yang ada di kawasan kita saja tanpa mempedulikan tempat lain.
Sesungguhnya Islam itu rasional dan Allah s.w.t. tidak menyuruh hamba-Nya berfikiran subjektif sehingga menjadi jumud dan tidak bersedia berkongsi pengalaman dengan orang asing yang tidak sehaluan dengan kita. Subhanallah. - HAMBA ALLAH RASIONAL, Nashville, Amerika Syarikat.
Binaan rumah ibadat lebih kukuh
Saudara Pengarang,
SESUNGGUHNYA bencana tsunami yang melanda kawasan Asia pada 26 Disember lalu banyak memberikan pengajaran kepada mereka yang mampu berfikir secara rasional. Dalam al-Quran ada banyak ayat-ayat yang dimulai dengan ``tidakkah engkau berfikir?'' Oleh itu ternyata Allah menghendaki kita menggunakan pemikiran apakah implikasi di sebalik musibah tersebut.
Dari gambar-gambar yang disiarkan melalui akhbar terhadap kerosakan di Aceh di dapati ada banyak terdapat masjid yang terselamat dari ombak besar itu misalnya masjid Baiturahman di Banda Acheh. Begitu juga ada masjid-masjid lain yang tidak terjejas walaupun kawasan di sekitarnya menjadi `padang jarak padang tekukur'. Akibatnya ramailah yang menganggap masjid itu sebagai Rumah Allah dan Allah telah menyelamatkan rumah-Nya.
Secara logiknya kalau kita bersedia menggunakan pemikiran yang rasional kita tentu tertanya-tanya juga tentang beberapa kejadian lain yang serupa. Misalnya di Sri Lanka terdapat beberapa buah kuil Hindu yang tidak terjejas; di Thailand ada pula Wat Siam yang turut tidak diganggu oleh ombak tsunami dan di beberapa tempat lain ada patung Buddha dan salib Kristian serta gereja yang juga terselamat walaupun kawasan sekelilingnya rosak teruk.
Semua binaan-binaan itu terletak dekat dengan pantai. Kita tentu akan tertanya-tanya apakah kuil Hindu, patung Buddha dan gereja itu juga sebagai rumah Allah dan Allah menyelamatkan rumah-Nya ?
Kalau kita bersedia melihatnya secara yang lebih terperinci kita akan dapati bahawa struktur binaan rumah-rumah ibadat tersebut didirikan dalam bentuk yang lebih kukuh daripada binaan rumah-rumah di sekitarnya. Masjid Baiturahman di Aceh itu misalnya sudah lebih dari 700 tahun dibina.
Ternyata struktur pembinaannya sangat teguh untuk menghadapi ombak yang sangat besar itu. Begitu juga rumah-rumah ibadat agama lain yang turut tidak terjejas. patung Buddha itu terselamat kerana ia dibuat daripada konkrit atau logam yang sangat berat dan teguh. Oleh itu memang wajar kalau binaan-binaan tersebut tidak menghadapi kerosakan bila ombak tsunami melanda. Ternyata bukan masjid saja yang terselamat.
Marilah kita membuka mata dan bersedia melihat suasana di keliling kita dengan menggunakan pemikiran yang Allah s.w.t. kurniakan kepada kita sebaik mungkin. Janganlah kita hanya melihat apa yang ada di kawasan kita saja tanpa mempedulikan tempat lain.
Sesungguhnya Islam itu rasional dan Allah s.w.t. tidak menyuruh hamba-Nya berfikiran subjektif sehingga menjadi jumud dan tidak bersedia berkongsi pengalaman dengan orang asing yang tidak sehaluan dengan kita. Subhanallah. - HAMBA ALLAH RASIONAL, Nashville, Amerika Syarikat.
Selasa, Januari 11, 2005 | 0
ulasan
Sekolah masih dipenuhi pelarian
ACEH BESAR 10 Jan. - Sekolah mula dibuka semula di seluruh kawasan yang dilanda tsunami di Aceh hari ini tetapi ramai pelajar yang masih dihantui bencana itu menjauhkan diri dari pekarangan sekolah yang dipenuhi pelarian.
Sebilangan pelajar yang hadir meninggalkan kelas-kelas biasa untuk menyertai majlis membaca doa beramai-ramai.
Pegawai Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (PBB) menganggarkan separuh daripada 104,000 korban di Sumatera adalah kanak-kanak.
Gegaran-gegaran susulan berikutan gempa bumi 9.0 pada skala Richter pada 26 Disember lalu menakutkan mangsa yang terselamat dan menjejaskan usaha kerajaan untuk memulihkan keadaan terutamanya bagi kanak-kanak.
``Dengan membuka semula sekolah, kami hanya cuba menceriakan kanak-kanak. Mereka dalam keadaan sangat bersedih,'' kata Guru Besar Sekolah Rendah Guegajah, Sutrisni di Aceh Besar, tiga kilometer ke barat Banda Aceh.
Hanya separuh daripada 130 pelajar di sekolah itu berhimpun di dalam dua bilik darjah yang tidak diduduki oleh keluarga-keluarga yang hilang tempat tinggal.
Pelajar beruniform itu yang disertai oleh kira-kira 60 anak pelarian membaca ayat-ayat suci al-Quran.
Guru akan kembali mengikuti kurikulum kerajaan dalam masa beberapa minggu akan datang, kata Sutrisni.
``Hari ini kami hanya mengajar mereka membaca doa pada waktu sukar ini,'' katanya.
Kerajaan hari ini menyatakan sejumlah 420 buah sekolah musnah dan 1,000 orang guru terbunuh di Aceh. - AP
Selasa, Januari 11, 2005 | 0
ulasan
Tsunami: Zulkifli sebak terima bantuan RM100,000
BALIK PULAU 10 Jan. - Zulkifli Mohd. Noor, yang kehilangan lima orang anak sekelip mata dalam tragedi ombak besar tsunami tidak dapat menahan rasa sebak dan hiba sebaik sahaja menerima bantuan ehsan wang tunai berjumlah RM100,000 hari ini.
``Saya tak mahu sikit pun duit ini, (sebaliknya) saya akan berikan (peruntukan) kesemuanya untuk dua orang lagi anak saya yang tinggal demi masa depan mereka.
``Terima kasihlah kepada kerajaan,'' kata pemandu bas kilang berusia 42 tahun itu dalam nada suara tersekat-sekat ketika ditanya pemberita mengenai wang yang diterimanya dari Tabung Bantuan Mangsa Tsunami Malaysia itu.
Zulkifli sebelum itu menerima akaun Bank Simpanan Nasional (BSN) bernilai RM100,000 daripada Timbalan Perdana Menteri, Datuk Seri Najib Tun Razak pada satu majlis penyampaian bantuan wang ehsan kepada waris 36 lagi mangsa tsunami yang turut terkorban.
Majlis yang diselubungi kesedihan di kalangan mereka yang hadir itu berlangsung di Dewan Perda, Teluk Kumbar di sini petang ini, sejurus selepas Najib pada sidang akhbar di Kuala Lumpur mengumumkan bantuan sebanyak RM20,000 untuk setiap mangsa yang terkorban akibat bencana itu.
Dalam tragedi 26 Disember lalu, Zulkifli dan isterinya, Jamilah Majid, 39, tidak sempat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan lima daripada tujuh anak mereka setelah dipukul dan dihanyutkan ombak besar ketika berkelah di Pantai Pasir Panjang, Pulau Betong di sini.
Walaupun pasangan itu cuba menyelamatkan anak mereka, namun ombak besar secara tiba-tiba itu menyebabkan mereka hanya mampu melihat kelima-limanya hilang dibawa arus.
Lima anak Zulkifli yang terkorban ialah Siti Nurain, 17, Mohd. Shukri, 12, Siti Nur Shuhada, 10, Siti Nur Atikah, 9 dan Siti Suraya, 5.
Anak yang terselamat ialah Siti Fairuz, 16, dan Siti Zulaikha, 1.
Zulkifli turut kehilangan anak saudaranya, Erdawati Shamimi, 23, dalam kejadian itu, yang hamil enam bulan.
Pihak media yang menemu bual Zulkifli selepas majlis petang ini tidak sanggup meminta beliau meneruskan komennya berikutan keadaannya yang terlalu sebak.
Pemandu bas kilang itu juga kelihatan masih belum pulih dari kecederaan di bahagian pinggang yang dipercayai dialaminya ketika berhempas-pulas untuk menyelamatkan anggota keluarganya dalam kejadian tersebut.
Selasa, Januari 11, 2005 | 0
ulasan
ANDA ACEH 10 Jan. - Lebih 200 anak-anak yatim Aceh mangsa tsunami yang mengorbankan ibu bapa mereka di dua pusat perlindungan di sini sedang menghadapi krisis kebuluran.
Anak-anak itu yang berusia antara setahun dan 13 tahun, hanya menjamah makanan dua kali sehari iaitu roti pada pagi dan nasi pada petang.
Pada malam, mereka terpaksa berlapar. Ramai yang menangis, tetapi rumah kebajikan itu tidak boleh berbuat apa-apa. Bekalan makanan amat terhad.
Kanak-kanak itu yang kelihatan masih keliru kerana kehilangan sanak saudara dan orang yang paling dikasihi, buat masa ini berada dalam lindungan Pesantren Babul Maghrifah dan Babul Najah di Cot Keueung, Kuto Baro di sini.
``Jika kami tidak mendapat bekalan makanan dan kelengkapan memasak selewat-lewatnya minggu depan, anak-anak yatim ini akan kebuluran.
``Sekarang pun bekalan kami semakin berkurangan,'' kata Timbalan Pengurus kedua-dua pesantren tersebut, Umi Sapura Abu Bakar dalam nada sebak kepada Utusan Malaysia di sini hari ini.
Walaupun pelbagai usaha dilakukan oleh pihak pengurusan pesantren (madrasah) bagi mendapatkan bekalan makanan dan peralatan memasak daripada pasukan bantuan, namun segala-galanya tidak berhasil.
Ini berpunca daripada kerenah birokrasi di pusat pengumpulan dan pengedaran makanan di Pengkalan Udara Sultan Iskandar Muda Blang Bintang.
Utusan Malaysia difahamkan bukan sahaja kedua-dua pesantren itu, malah beberapa penempatan mangsa tsunami yang mempunyai anak-anak yatim turut menghadapi pelbagai masalah termasuk terpaksa berasak-asak dalam khemah yang sempit.
Umi Sapura membuat kenyataan itu bukan sekadar rekaan tetapi ia adalah fakta dan ini terbukti apabila beras seberat 70 kilogram yang diserahkan oleh wakil kerajaan Malaysia kepada mereka semalam sudah habis dimasak kepada anak-anak yatim itu.
Menurut Umi Sapura, bekalan makanan di situ bukan sahaja untuk anak-anak yatim tersebut malah untuk hampir 3,000 lagi mangsa tsunami yang turut berlindung di kedua-dua pesantren berkenaan selepas kehilangan tempat tinggal berikutan bencana itu.
``Kami sudah berusaha sedaya-upaya untuk mendapat bekalan makanan daripada pasukan bantuan tetapi semua gagal, kesudahannya anak-anak yatim semakin kelaparan kerana kita terpaksa mengurangkan jumlah makan seharian,'' katanya.
Ketika masalah makanan masih menghantui pesantren itu, anak-anak yatim berkenaan berhadapan dengan satu lagi keadaan apabila pihak berkuasa tidak menyediakan sebarang khemah untuk mereka, akibatnya kesemua mereka terpaksa berhimpit-himpit dalam bilik asrama yang ruangnya terlalu sempit.
Bilik yang pada asalnya hanya layak diduduki oleh enam orang kini didiami oleh 12 orang dan mereka juga tidak menukar pakaian sejak hari pertama memasuki pesantren itu pada 27 Disember lalu.
Lebih menyedihkan mereka tidur tanpa tilam, bantal mahupun selimut. Apa yang ada pada mereka hanyalah baju yang dipakai dan diganti sejak dua minggu lalu. - Utusan
Selasa, Januari 11, 2005 | 0
ulasan
`Kekebalan' masjid kebesaran Tuhan
Written By JOM JALAN on 9/01/05 | Ahad, Januari 09, 2005
`Kekebalan' masjid kebesaran Tuhan
Oleh Siti Mariam Md. Zain
KEBESARAN Tuhan! Itulah hakikat yang dapat dilihat di sebalik kehancuran ketamadunan manusia akibat tragedi tsunami yang menyerang dunia khususnya negara-negara Asia pada 26 Disember lalu.
Biarpun di kawasan yang ditimpa bencana, hampir seluruh bandarnya musnah dan ratusan ribu nyawa terkorban, namun masjid-masjid masih berdiri megah.
Lebih menakjubkan, ada di antaranya seolah-olah langsung tidak disentuh walaupun banyak bangunan di sekelilingnya runtuh menyembah bumi sekelip mata.
`Kekebalan' masjid-masjid berkenaan bukan sahaja memberi peluang kepada ratusan ribu mangsa untuk berlindung, malah menginsafkan mereka yang masih hidup.
Keadaan yang sama juga berlaku di Turki dan Iran (Bam) tahun lalu apabila masjid yang terlibat dalam gempa bumi tetap utuh.
``Itulah kebesaran dan keagungan Allah subhanahu wa taala. Dia mampu melakukan apa sahaja yang dikehendaki-Nya,'' kata Mufti Perak, Datuk Seri Harussani Zakaria.
Walaupun wujud dakwaan mengatakan kemusnahan yang diturunkan itu mempunyai kaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh manusia, tetapi perkara itu hanya Tuhan yang lebih mengetahuinya.
``Apa sahaja bencana yang berlaku merupakan ujian Allah.
``Sama ada mereka membuat dosa atau tidak, kalau Tuhan hendak menurunkan bencana atau bala, Dia akan melakukannya.
``Maknanya setiap manusia tidak akan terlepas daripada melalui ujian tidak kira dalam apa sahaja bentuk,'' katanya.
Dalam soal ini jelas Harussani, Tuhan tidak menetapkan untuk menurunkan bala hanya kepada umat manusia yang terlupa kepada tanggungjawab mereka sahaja.
``Bagi orang yang beriman, mereka akan mati syahid dan masuk syurga tetapi kepada yang melakukan dosa, tempat mereka ialah di neraka,'' kata beliau lagi.
Menurut Harussani, keadaan itu sama seperti melihat masjid-masjid yang terselamat daripada bencana.
``Ada juga masjid yang musnah apabila ditimpa bencana. Kemusnahannya mungkin kerana ia didirikan atas sebab-sebab tidak baik seperti untuk menunjuk-nunjuk atau angkuh dan sebagainya,'' jelasnya.
Tambah beliau, kesan daripada bala yang diturunkan oleh Tuhan sebenarnya adalah terhadap manusia yang masih hidup.
``Sebab itu adalah wajib bagi kita menghulurkan bantuan untuk mengembalikan semula kehidupan normal mereka,'' katanya.
Sesungguhnya banyak kejadian yang boleh dijadikan iktibar kesan daripada peristiwa mengejutkan dunia itu.
Kemusnahan yang menimpa Banda Aceh, iaitu tempat paling teruk menerima tamparan tsunami, juga tidak menunjukkan kesan ada masjidnya yang rosak teruk.
Ombak besar yang memusnahkan beratus-ratus rumah di Kampung Kaju yang terletak berhampiran kawasan itu, hanya menyebabkan masjidnya mengalami keretakan kecil di bahagian dinding.
Keadaan yang sama berlaku di Pasi Lhok, kira-kira 20 kilometer dari utara bandar Sigli apabila penduduk di lima buah kampung terpaksa mendapatkan perlindungan di masjid setelah bangunan lain musnah.
Di Sigli sendiri, sebuah masjid yang hanya didirikan daripada kayu juga terselamat.
Begitu juga masjid-masjid di Meulaboh yang terletak di pantai barat Sumatera.
Jarak yang hanya kira-kira 150 kilometer dari pusat gempa bumi dan mengorbankan sekurang-kurangnya 10,000 nyawa, tidak menggugat masjid-masjid di kawasan itu.
`Kehebatan' masjid-masjid yang mampu melawan serangan ganas tsunami menyebabkan ia kini dijadikan tempat perlindungan dan berurusan masyarakat tempatan.
Bahkan Masjid Baiturrahman iaitu masjid utama di Banda Aceh sendiri telah berubah sebagai `rumah sementara' paling selamat bagi mangsa-mangsa tsunami.
Dalam al-Quran, kisah rumah Allah dilindungi bencana berlaku pada zaman sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
Gabenor Parsi, Abraha yang memerintah Yaman datang bersama tentera bergajah untuk menghancurkan Kaabah ketika itu.
Bagaimanapun pada masa yang sama, Allah telah mengerahkan burung Ababil menyerang tentera-tentera Abraha sebelum mereka dapat menghampirinya.
Di Aceh sahaja, lebih 100,000 penduduknya terbunuh akibat tsunami setakat ini.
Sejarah mencatatkan, Aceh sebenarnya mempunyai latar belakang yang amat rapat dengan kegemilangan Islam itu sendiri.
Dikenali sebagai Serambi Mekah, di situlah bermulanya Islam di rantau ini.
Indonesia pula adalah negara yang mempunyai paling ramai umat Islam di dunia.
Menyaksikan begitu banyak kejadian luar biasa sejak akhir-akhir ini, termasuk perang yang tidak berpenghujung dan turunnya salji di negara Arab yang dikenali sebagai kawasan panas dan bergurun, ada yang mengaitkannya dengan ketibaan kiamat.
``Untuk menentukan bila berlaku kiamat adalah di luar kemampuan kita. Mungkin kita boleh kata bahawa ketika ini dunia dah nyanyuk,'' kata Dr. Anisah Abdul Ghani.
Pensyarah di Jabatan Siasah Syariah Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya itu bagaimanapun tidak menafikan tindak-tanduk manusia yang semakin menyimpang daripada ajaran Tuhan yang sebenarnya menyumbang kepada berlakunya bencana.
``Apa yang harus kita ingat ialah, bala Allah tidak pernah mengenal bulu. Jika bala ditimpakan di sesuatu tempat, bukan sahaja mereka yang melakukan dosa menerima akibat tetapi apa sahaja kehidupan yang ada di situ,'' ujarnya.
Keadaan itu berbeza apabila Tuhan mahu memberikan nikmat kerana hanya individu yang khusus akan menerima rahmat-„ya.
Menyentuh hakikat kebesaran Tuhan, Anisah berpendapat, setiap kejadian pasti mempunyai alasan yang tersendiri.
``Memang kita katakan tsunami ini kejadian alam, tetapi kita kena kaitkan juga dengan sikap manusia. Mungkin Allah memberi peringatan kepada kita,'' katanya.
Atas faktor tersebut, tegas Anisah, menyebabkan pentingnya setiap lapisan masyarakat memainkan peranan mereka dengan berpesan-pesan sesama sendiri.
``Ini adalah amaran Tuhan bahawa ada kuasa yang mampu melakukan apa sahaja.
``Kerana itu manusia perlu sentiasa sedar dan mengelak diri daripada menerima kemurkaan Allah,'' kata beliau lagi.
Oleh Siti Mariam Md. Zain
KEBESARAN Tuhan! Itulah hakikat yang dapat dilihat di sebalik kehancuran ketamadunan manusia akibat tragedi tsunami yang menyerang dunia khususnya negara-negara Asia pada 26 Disember lalu.
Biarpun di kawasan yang ditimpa bencana, hampir seluruh bandarnya musnah dan ratusan ribu nyawa terkorban, namun masjid-masjid masih berdiri megah.
Lebih menakjubkan, ada di antaranya seolah-olah langsung tidak disentuh walaupun banyak bangunan di sekelilingnya runtuh menyembah bumi sekelip mata.
`Kekebalan' masjid-masjid berkenaan bukan sahaja memberi peluang kepada ratusan ribu mangsa untuk berlindung, malah menginsafkan mereka yang masih hidup.
Keadaan yang sama juga berlaku di Turki dan Iran (Bam) tahun lalu apabila masjid yang terlibat dalam gempa bumi tetap utuh.
``Itulah kebesaran dan keagungan Allah subhanahu wa taala. Dia mampu melakukan apa sahaja yang dikehendaki-Nya,'' kata Mufti Perak, Datuk Seri Harussani Zakaria.
Walaupun wujud dakwaan mengatakan kemusnahan yang diturunkan itu mempunyai kaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh manusia, tetapi perkara itu hanya Tuhan yang lebih mengetahuinya.
``Apa sahaja bencana yang berlaku merupakan ujian Allah.
``Sama ada mereka membuat dosa atau tidak, kalau Tuhan hendak menurunkan bencana atau bala, Dia akan melakukannya.
``Maknanya setiap manusia tidak akan terlepas daripada melalui ujian tidak kira dalam apa sahaja bentuk,'' katanya.
Dalam soal ini jelas Harussani, Tuhan tidak menetapkan untuk menurunkan bala hanya kepada umat manusia yang terlupa kepada tanggungjawab mereka sahaja.
``Bagi orang yang beriman, mereka akan mati syahid dan masuk syurga tetapi kepada yang melakukan dosa, tempat mereka ialah di neraka,'' kata beliau lagi.
Menurut Harussani, keadaan itu sama seperti melihat masjid-masjid yang terselamat daripada bencana.
``Ada juga masjid yang musnah apabila ditimpa bencana. Kemusnahannya mungkin kerana ia didirikan atas sebab-sebab tidak baik seperti untuk menunjuk-nunjuk atau angkuh dan sebagainya,'' jelasnya.
Tambah beliau, kesan daripada bala yang diturunkan oleh Tuhan sebenarnya adalah terhadap manusia yang masih hidup.
``Sebab itu adalah wajib bagi kita menghulurkan bantuan untuk mengembalikan semula kehidupan normal mereka,'' katanya.
Sesungguhnya banyak kejadian yang boleh dijadikan iktibar kesan daripada peristiwa mengejutkan dunia itu.
Kemusnahan yang menimpa Banda Aceh, iaitu tempat paling teruk menerima tamparan tsunami, juga tidak menunjukkan kesan ada masjidnya yang rosak teruk.
Ombak besar yang memusnahkan beratus-ratus rumah di Kampung Kaju yang terletak berhampiran kawasan itu, hanya menyebabkan masjidnya mengalami keretakan kecil di bahagian dinding.
Keadaan yang sama berlaku di Pasi Lhok, kira-kira 20 kilometer dari utara bandar Sigli apabila penduduk di lima buah kampung terpaksa mendapatkan perlindungan di masjid setelah bangunan lain musnah.
Di Sigli sendiri, sebuah masjid yang hanya didirikan daripada kayu juga terselamat.
Begitu juga masjid-masjid di Meulaboh yang terletak di pantai barat Sumatera.
Jarak yang hanya kira-kira 150 kilometer dari pusat gempa bumi dan mengorbankan sekurang-kurangnya 10,000 nyawa, tidak menggugat masjid-masjid di kawasan itu.
`Kehebatan' masjid-masjid yang mampu melawan serangan ganas tsunami menyebabkan ia kini dijadikan tempat perlindungan dan berurusan masyarakat tempatan.
Bahkan Masjid Baiturrahman iaitu masjid utama di Banda Aceh sendiri telah berubah sebagai `rumah sementara' paling selamat bagi mangsa-mangsa tsunami.
Dalam al-Quran, kisah rumah Allah dilindungi bencana berlaku pada zaman sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
Gabenor Parsi, Abraha yang memerintah Yaman datang bersama tentera bergajah untuk menghancurkan Kaabah ketika itu.
Bagaimanapun pada masa yang sama, Allah telah mengerahkan burung Ababil menyerang tentera-tentera Abraha sebelum mereka dapat menghampirinya.
Di Aceh sahaja, lebih 100,000 penduduknya terbunuh akibat tsunami setakat ini.
Sejarah mencatatkan, Aceh sebenarnya mempunyai latar belakang yang amat rapat dengan kegemilangan Islam itu sendiri.
Dikenali sebagai Serambi Mekah, di situlah bermulanya Islam di rantau ini.
Indonesia pula adalah negara yang mempunyai paling ramai umat Islam di dunia.
Menyaksikan begitu banyak kejadian luar biasa sejak akhir-akhir ini, termasuk perang yang tidak berpenghujung dan turunnya salji di negara Arab yang dikenali sebagai kawasan panas dan bergurun, ada yang mengaitkannya dengan ketibaan kiamat.
``Untuk menentukan bila berlaku kiamat adalah di luar kemampuan kita. Mungkin kita boleh kata bahawa ketika ini dunia dah nyanyuk,'' kata Dr. Anisah Abdul Ghani.
Pensyarah di Jabatan Siasah Syariah Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya itu bagaimanapun tidak menafikan tindak-tanduk manusia yang semakin menyimpang daripada ajaran Tuhan yang sebenarnya menyumbang kepada berlakunya bencana.
``Apa yang harus kita ingat ialah, bala Allah tidak pernah mengenal bulu. Jika bala ditimpakan di sesuatu tempat, bukan sahaja mereka yang melakukan dosa menerima akibat tetapi apa sahaja kehidupan yang ada di situ,'' ujarnya.
Keadaan itu berbeza apabila Tuhan mahu memberikan nikmat kerana hanya individu yang khusus akan menerima rahmat-„ya.
Menyentuh hakikat kebesaran Tuhan, Anisah berpendapat, setiap kejadian pasti mempunyai alasan yang tersendiri.
``Memang kita katakan tsunami ini kejadian alam, tetapi kita kena kaitkan juga dengan sikap manusia. Mungkin Allah memberi peringatan kepada kita,'' katanya.
Atas faktor tersebut, tegas Anisah, menyebabkan pentingnya setiap lapisan masyarakat memainkan peranan mereka dengan berpesan-pesan sesama sendiri.
``Ini adalah amaran Tuhan bahawa ada kuasa yang mampu melakukan apa sahaja.
``Kerana itu manusia perlu sentiasa sedar dan mengelak diri daripada menerima kemurkaan Allah,'' kata beliau lagi.
Ahad, Januari 09, 2005 | 0
ulasan
Menyumbang atau membuang sampah?
Menyumbang atau membuang sampah?
Oleh NOOR AZAM SHAIRI
KETIKA kemuncak zaman reformasi di Indonesia beberapa tahun lalu, penyair dari tanah seberang, Taufik Ismail menulis: ``Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada/tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang/ menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.''
Sajak yang ditulisnya pada tahun 1998 itu bertajuk Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Ketika kita di negara ini dihadapkan dengan bencana dan krisis kemanusiaan yang parah di Aceh, potongan sajak itu semacam boleh dilemparkan ke muka kita sendiri.
Kita seharusnya mula belajar malu menjadi orang Malaysia.
Agensi berita Associated Press Khamis lalu menyiarkan satu laporan ke seluruh dunia yang seharusnya membuatkan kita merah padam muka.
``Sebahagian rakyat Malaysia menderma `sampah' untuk mangsa tsunami di luar negara,'' jerit tajuk berita pendek itu.
Kita tidak boleh mengatakan ini laporan jahat media asing. Berita yang merosakkan ini adalah apa yang sebenarnya berlaku, bukan sesuatu yang sengaja diada-adakan.
Kita tidak boleh juga menyalahkan para sukarelawan yang mendedahkan berita itu kepada umum. Mereka sudah cukup terbeban dengan kesibukan menangani usaha-usaha kemanusiaan akibat daripada bencana 26 Disember itu.
Carian di Internet menunjukkan berita itu dipetik oleh sekurang-kurangnya sebuah akhbar luar, The Hindustan Times di India.
Seorang pembaca akhbar itu di New Delhi memberikan komennya: ``Sungguh menyedihkan! Betapa tidak sensitifnya orang mendermakan barang-barang yang tidak berguna.''
Tidak malukah kita menjadi rakyat Malaysia dengan berita buruk itu?
Ketua Pegawai Operasi Persatuan Bantuan Perubatan (Mercy) Malaysia, Shareen Shariza Abdul Ghani memberitahu sesetengah barangan yang dihantar oleh orang ramai itu tidak ada langsung gunanya untuk masyarakat yang terlibat dalam bencana itu.
``Ada yang menghantar pakaian yang sudah koyak, pakaian dalam, trofi dan plak cenderamata,'' katanya.
Malah bayangkan saja: Apakah maknanya baju tidur yang menjolok mata kepada mangsa-mangsa bencana yang cukup menderita itu?
Apakah orang yang tidak bertanggungjawab itu mahu berlawak jenaka atau mereka sebenarnya gagal memahami penderitaan dan krisis kemanusiaan yang semakin buruk dari hari ke hari ini?
Mereka itu bukan saja memberi nama buruk kepada negara malah menyusahkan para sukarelawan yang bekerja mengejar masa. Bayangkan saja berapa banyak masa yang terbuang untuk mengasing-asingkan sampah-sampah itu.
``Timbunan barangan yang boleh dikatakan sampah itu sama tingginya dengan pakaian yang kami longgokkan untuk dihantar ke luar negara,'' kata Shareen.
Sikap tidak bertanggungjawab sebilangan ahli masyarakat yang menjadikan pusat pengumpulan bantuan itu sebagai `tapak pembuangan sampah' itu hanya menambahkan beban mereka yang sedia ada.
Ini bukanlah kali pertama orang kita menelanjangkan sikap buruk mereka di khalayak ramai.
Di majlis jamuan rumah terbuka pemimpin negara dan juga majlis yang sama anjuran kerajaan sempena hari perayaan pun ceritanya sama.
Orang berebut-rebut mengambil makanan seperti kebuluran. Apa yang lebih menyakitkan mata ada yang membungkus makanan yang disajikan untuk dibawa pulang makan bersama ahli keluarga.
Pada lapis yang lain, ada baiknya juga kita dikejutkan dengan berita seumpama ini. Kempen berbudi bahasa yang akan dilancarkan oleh Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan sebelum akhir bulan ini adalah sesuatu yang sebenarnya sangat diperlukan oleh masyarakat negara ini.
Adalah sesuatu yang malang; kita perlu diajar tentang hal-hal yang sepatutnya sudah boleh diselesaikan di peringkat keluarga. Tetapi itulah realiti wajah buruk masyarakat kita.
Jumlah mereka tidak ramai tetapi yang sedikit itulah yang menyebabkan kita malu menjadi orang Malaysia.
Oleh NOOR AZAM SHAIRI
KETIKA kemuncak zaman reformasi di Indonesia beberapa tahun lalu, penyair dari tanah seberang, Taufik Ismail menulis: ``Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada/tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang/ menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.''
Sajak yang ditulisnya pada tahun 1998 itu bertajuk Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Ketika kita di negara ini dihadapkan dengan bencana dan krisis kemanusiaan yang parah di Aceh, potongan sajak itu semacam boleh dilemparkan ke muka kita sendiri.
Kita seharusnya mula belajar malu menjadi orang Malaysia.
Agensi berita Associated Press Khamis lalu menyiarkan satu laporan ke seluruh dunia yang seharusnya membuatkan kita merah padam muka.
``Sebahagian rakyat Malaysia menderma `sampah' untuk mangsa tsunami di luar negara,'' jerit tajuk berita pendek itu.
Kita tidak boleh mengatakan ini laporan jahat media asing. Berita yang merosakkan ini adalah apa yang sebenarnya berlaku, bukan sesuatu yang sengaja diada-adakan.
Kita tidak boleh juga menyalahkan para sukarelawan yang mendedahkan berita itu kepada umum. Mereka sudah cukup terbeban dengan kesibukan menangani usaha-usaha kemanusiaan akibat daripada bencana 26 Disember itu.
Carian di Internet menunjukkan berita itu dipetik oleh sekurang-kurangnya sebuah akhbar luar, The Hindustan Times di India.
Seorang pembaca akhbar itu di New Delhi memberikan komennya: ``Sungguh menyedihkan! Betapa tidak sensitifnya orang mendermakan barang-barang yang tidak berguna.''
Tidak malukah kita menjadi rakyat Malaysia dengan berita buruk itu?
Ketua Pegawai Operasi Persatuan Bantuan Perubatan (Mercy) Malaysia, Shareen Shariza Abdul Ghani memberitahu sesetengah barangan yang dihantar oleh orang ramai itu tidak ada langsung gunanya untuk masyarakat yang terlibat dalam bencana itu.
``Ada yang menghantar pakaian yang sudah koyak, pakaian dalam, trofi dan plak cenderamata,'' katanya.
Malah bayangkan saja: Apakah maknanya baju tidur yang menjolok mata kepada mangsa-mangsa bencana yang cukup menderita itu?
Apakah orang yang tidak bertanggungjawab itu mahu berlawak jenaka atau mereka sebenarnya gagal memahami penderitaan dan krisis kemanusiaan yang semakin buruk dari hari ke hari ini?
Mereka itu bukan saja memberi nama buruk kepada negara malah menyusahkan para sukarelawan yang bekerja mengejar masa. Bayangkan saja berapa banyak masa yang terbuang untuk mengasing-asingkan sampah-sampah itu.
``Timbunan barangan yang boleh dikatakan sampah itu sama tingginya dengan pakaian yang kami longgokkan untuk dihantar ke luar negara,'' kata Shareen.
Sikap tidak bertanggungjawab sebilangan ahli masyarakat yang menjadikan pusat pengumpulan bantuan itu sebagai `tapak pembuangan sampah' itu hanya menambahkan beban mereka yang sedia ada.
Ini bukanlah kali pertama orang kita menelanjangkan sikap buruk mereka di khalayak ramai.
Di majlis jamuan rumah terbuka pemimpin negara dan juga majlis yang sama anjuran kerajaan sempena hari perayaan pun ceritanya sama.
Orang berebut-rebut mengambil makanan seperti kebuluran. Apa yang lebih menyakitkan mata ada yang membungkus makanan yang disajikan untuk dibawa pulang makan bersama ahli keluarga.
Pada lapis yang lain, ada baiknya juga kita dikejutkan dengan berita seumpama ini. Kempen berbudi bahasa yang akan dilancarkan oleh Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan sebelum akhir bulan ini adalah sesuatu yang sebenarnya sangat diperlukan oleh masyarakat negara ini.
Adalah sesuatu yang malang; kita perlu diajar tentang hal-hal yang sepatutnya sudah boleh diselesaikan di peringkat keluarga. Tetapi itulah realiti wajah buruk masyarakat kita.
Jumlah mereka tidak ramai tetapi yang sedikit itulah yang menyebabkan kita malu menjadi orang Malaysia.
Ahad, Januari 09, 2005 | 0
ulasan
Masyarakat Aceh akan bangkit semula
Masyarakat Aceh akan bangkit semula
MINGGUAN: Bagaimana Tan Sri melihat proses pembangunan semula selepas ini?
SANUSI: Apa yang penting sekarang ialah tempat kediaman serta infrastruktur dan kemudahan asas termasuk sistem komunikasi, jalan raya, sekolah dan hospital. Jabatan kerajaan juga perlu digerakkan semula kerana banyak juga pegawai daerah dan penghulu yang terkorban. Hal-hal itu menjadi tanggungjawab kerajaan Indonesia sekarang.
Saya juga dapat tahu bahawa separuh daripada cerdik pandai dan tenaga profesional termasuk guru dan doktor yang ada di Aceh meninggal. Saya percaya kekurangan tenaga ini boleh ditampung oleh Indonesia. Tetapi kalau ada kemampuan dari negara-negara lain termasuk Malaysia kita boleh memberikan bantuan.
Memandangkan penguasaan bahasa Inggeris masyarakat di Aceh lemah, tidak dapat tidak ia akan banyak bergantung sama ada daripada Malaysia atau Indonesia. Harapan mereka kepada kita ialah kerana faktor bahasa. Kita juga dihubungkan oleh faktor keturunan dan agama.
Apakah keutamaan sekarang?
SANUSI: Air dan ubat-ubatan. Hal-hal ini sedang diuruskan oleh beberapa pihak dan perlu sampai ke sana dengan banyak dan segera. Tentang ubat-ubatan, ia tentulah memerlukan nasihat daripada doktor-doktor dan pasukan bantuan perubatan yang berkhidmat di sana.
Di Medan, ada sebuah hospital, Rumah Sakit Islam Malahayati yang pengarahnya orang Aceh. Hospital itu tahu contact di seluruh Aceh. Ini salah satu saluran yang boleh digunakan.
Saya bukan hendak mempromosikan satu-satu saluran dan mahukan saluran yang lain ditutup. Cuma saya melihat masalah ini terlalu besar dan tidak ada satu organisasi yang boleh menyelesaikannya secara sendirian. Malah negara-negara yang terlibat juga memerlukan bantuan daripada luar.
Dunia sedang memberikan tumpuan kepada Aceh. Apakah yang boleh diharapkan selepas ini?
SANUSI: Aceh sebuah wilayah yang kaya tetapi kekayaannya terlalu sedikit yang dapat dinikmatinya. Kita berharap dengan adanya kepimpinan baru Indonesia di bawah Presiden Bambang Susilo Yudhoyono - yang juga mendapat sokongan bulat hampir 75 peratus daripada Aceh - supaya bermurah hati, jangan seperti pada zaman-zaman dulu.
Ketika itu, kekayaan Aceh itu tidak membantu kemajuan di wilayah itu. Sekarang kekayaan itu bukan datang dari Aceh tetapi dari serata dunia. Apa yang menjadi kegusaran di kalangan orang Aceh sekarang ialah kalau sebelum ini kekayaan Aceh tidak banyak yang dikembalikan kepada Aceh, apakah kekayaan dari luar itu juga akan ke sana.
Apa yang saya suarakan ini ialah apa yang bermain-main dalam fikiran orang Aceh, persepsi mereka. Hal-hal ini apabila difikirkan cukup menyebakkan mereka.
Tetapi kita mempunyai harapan kerana Indonesia ada Presiden dan Naib Presiden baru. Saya yakin bantuan-bantuan itu akan sampai ke Aceh kerana kepimpinan sekarang ini mempunyai wawasan.
Apakah itu saja kebimbangannya?
SANUSI: Aceh masih lagi di dalam perang. Saya rasa sudah cukup korban, tentera sudah banyak mati dan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga. Dendam yang ada itu harus dihapuskan, baik di kalangan tentera mahupun orang Aceh sendiri. Cukuplah dengan kematian yang ada ini.
Semua orang rasa hiba dengan kehilangan yang berlaku akibat bencana ini. Cuma bezanya, mati akibat gempa bumi tidak menimbulkan dendam kerana tiada sesiapa yang boleh dipersalahkan.
Apakah konflik yang berlarutan ini akan reda seketika untuk proses pembangunan semula Aceh?
SANUSI: Saya rasa konflik di Aceh dulu antara tahun 1956 hingga 1963 itu kerana agama, konflik yang berlandas janji waktu merdeka. Konflik yang kemudian daripada itu ialah kerana masalah ekonomi. Aceh wilayah yang kaya dengan minyak dan balak. Saya sebagai orang luar melihatnya sebagai konflik ekonomi.
Tetapi sekarang (selepas bencana ini) tiada lagi kekayaan ekonomi, sudah habis musnah semuanya. Masalah yang ada di Aceh sekarang tidak memungkinkan orang berebut kekayaan di Aceh. Persoalan siapa menguasai apa tidak lagi timbul sekarang.
Masalah sekarang ialah siapa yang hendak menolong Aceh membangun semula daripada kemusnahan ini. Tiada apa lagi yang hendak diambil daripada Aceh; soalnya sekarang siapa yang hendak memberi.
Apakah yang harus dilakukan oleh kerajaan Indonesia untuk penyatuan semula, misalnya?
SANUSI: Masalah yang ada sekarang ini cuma soal maruah saja. Tetapi para pemimpin GAM yang hendak memikirkan soal maruah ini bukannya duduk di Aceh tetapi di luar negara. Ada sesetengahnya tidak pernah duduk pun di Aceh.
Saya fikir mereka (GAM) perlu menimbangkan hal ini. Janganlah kerana soal maruah ini masyarakat Aceh yang lain menderita. Mereka harus memikirkan apakah yang perlu diberikan keutamaan sekarang.
Kita melihat tentera yang dulunya dihantar untuk membendung gerakan GAM di Aceh sekarang ini memberikan bantuan kemanusiaan kepada mangsa-mangsa bencana. Apakah maknanya ini semua?
SANUSI: Itukan tanggungjawab sebuah negara; Aceh sebahagian daripada Indonesia. Pihak yang mengisytiharkan perang ke atas Aceh ialah Indonesia dan yang hendak menolongnya sekarang pun tentulah Indonesia. Kita yang dari luar ini termasuk saudara-mara menolong atas dasar kemanusiaan, dan kita juga mengharapkan kerajaan Indonesia membantu.
Kerajaan Indonesia sedang berusaha bersungguh-sungguh melakukannya dengan sebaik mungkin. Apa yang penting ialah jangan ada rasa curiga dan dendam; semua pihak harus terbuka. Kita perlu menghidupkan semangat rumpun Melayu, itu yang penting dan bukannya semangat mengikut suku dan keturunan.
Masalah yang dihadapi sekarang ini boleh diselesaikan dengan semangat rumpun Melayu. Inilah cabaran kepada rumpun Melayu.
Inilah barangkali apa yang tersirat di sebalik bencana ini? Sekarang ini seluruh dunia sedang bertumpu kepada Aceh.
SANUSI: Ya. Aceh yang dulunya tertutup, sampaikan bencana datang pun orang tidak tahu kerana tidak ada wartawan luar yang boleh masuk, sekarang ini sudah terbuka.
Kita memerlukan satu gempa bumi untuk membuka Aceh kepada dunia, membebaskan Aceh sehingga orang luar boleh masuk. Begitu hebatnya, Tuhan terpaksa campur tangan untuk membebaskan Aceh.
Kalau di Aceh itu diisytiharkan perang, ia memang sudah jadi seperti zon peperangan dengan segala kapal perang dari serata dunia yang ada di sana sekarang. Tetapi itu bukan zon peperangan untuk membunuh tetapi menyelamatkan yang masih hidup.
Saya melihat situasi ini sebagai sesuatu yang cukup poetic.
Apakah yang penting untuk masa depan Aceh?
SANUSI: Ada dua perkara: Pelajaran dan agama untuk anak-anak Aceh. Usaha hendak membawa keluar anak-anak Aceh dari tanah airnya untuk diberikan bantuan harus dikurangkan. Ia perlu dibendung dan dipantau betul-betul.
Saya menyokong langkah kerajaan Indonesia yang tegas dalam hal ini. Saya melihat kalau wilayah sudah musnah begitu, proses pembangunan semulanya tentu memerlukan manusia yang banyak untuk membantu.
Orang yang hendak mengambil anak angkat ini tidak akan mengambil mereka yang capek dan tua tetapi yang boleh memberikan harapan. Ini bermakna sudahlah Aceh itu sekarang ini miskin hasil buminya ia juga akan miskin manusia.
Apa yang penting dalam hal pembangunan semula ini bukannya hasil bumi tetapi tenaga manusia. Lihat Jepun, ia tiada hasil bumi tetapi manusianya dapat membangunkan negara dan bangsa itu. Aceh yang sekarang menjadi padang jarak padang tekukur kalau dibangunkan nanti boleh menjadi pekan-pekan yang lebih tersusun dan cantik, kalau perancangannya betul.
Apakah yang diperlukan untuk pembangunan semula ini?
SANUSI: Harus ada kelonggaran kepada para pelabur asing untuk masuk ke sana dan membantu. Ini memerlukan kerjasama kerajaan Indonesia. Ini saya fikir tidak ada masalah.
Tan Sri menyebut tentang manusia sebagai aset. Ada kebimbangan bahawa Aceh sekarang kehilangan generasi masa depan akibat bencana ini.
SANUSI: Ini soal takdir. Memang banyak anak kecil yang meninggal tetapi keluarga yang hidup itu akan melahirkan lagi anak selepas ini. Lagi pula tidak ada gunanya kita memikirkan masalah itu kerana kita tidak boleh berbuat apa-apa untuk menghalangnya daripada berlaku. Adalah lebih baik kita memikirkan apa yang boleh dibuat.
Orang banyak bercerita tentang kekuatan semangat yang ada pada orang Aceh. Sejarah perjuangannya berdepan dengan Belanda adalah satu contoh terbaik. Orang melihat semangat itu juga kekuatan untuk mereka bangun semula.
SANUSI: Ini bukan satu masalah. Di Malaysia pun, tidak ramai orang Aceh tetapi mereka terlibat juga dalam pembangunan negara ini. Ada banyak juga orang Aceh yang mempunyai kedudukan dan jawatan penting di negara ini. Tidak semestinya duduk di Aceh baru boleh turut membangun. Kita rumpun Melayu; sesiapa pun boleh ikut sama membangunkan semula Aceh.
Saya tidak pesimistik dalam soal itu. Kalau ada gerakan umpamanya mahu berebutkan ekonomi Aceh, apa yang hendak direbutkan itu sudah hancur semuanya. Jadi rasional sekarang ini ialah kita menghidupkan semula semangat rumpun Melayu. Ini adalah cabaran kepada rumpun itu.
Apakah yang boleh kita berikan?
SANUSI: Banyak. Kita yang paling dekat dengan Aceh dan Sumatera. Pertama, kita boleh ke sana untuk membantu baik dari segi perniagaan atau sekurang-kurangnya membina rumah kebajikan untuk ditadbirkan oleh orang di sana. Kita boleh rundingkan hal ini dengan kerajaan Indonesia.
Kedua, kita juga boleh membawa anak-anak Aceh yang dewasa untuk belajar di sini. Mereka memerlukan pendidikan dalam pelbagai bidang. Dalam bidang perikanan misalnya, kalau kerajaan Indonesia bersetuju kita boleh melatih mereka di sini.
Itu yang barangkali timbul cerita tentang anak angkat?
SANUSI: Banyak orang salah faham tentang hal anak angkat. Ada sebuah badan di Kuwait yang mempunyai 10,000 anak angkat dari Afrika tetapi tidak seorang anak angkat itu meninggalkan Afrika.
Kita masih boleh mengambil anak angkat dan membiayai kehidupan mereka tetapi mereka tinggal bersama keluarga atau jiran di Aceh. Kita boleh juga membiayai anak-anak angkat yang belajar di pesantren-pesantren. Kalau kerajaan Indonesia membenarkan, kita boleh juga membiayai anak-anak angkat dari Aceh untuk dibawa belajar di sini.
Anak angkat kategori keempat barulah mereka yang dibawa untuk tinggal bersama kita. Tetapi anak angkat itu harus jangan dipisahkan daripada asal-usulnya. Masalahnya ada orang yang mahu anak angkat tetapi kalau boleh jadi macam anak sendiri dan lupakan asal keturunannya. Ini tidak adil, dan tentulah orang tidak mahu beri.
Saya fikir pendirian kerajaan Indonesia tidak membenarkan anak-anak Aceh dibawa keluar adalah satu ketegasan yang logik. Apa yang menjadi kebimbangan ialah kalau yang menjadi keluarga angkat itu terdiri daripada bukan Islam. Kita harus faham bahawa orang Aceh ini lebih rela mati daripada bertukar agama.
Boleh orang Aceh bangun semula seperti burung phoenix yang bangkit dari abu?
SANUSI: Saya fikir selepas ini Aceh akan bangun semula dengan lebih hebat. Orang yang membangun di dunia semuanya telah menghadapi durjana dan bencana yang hebat. Lihat saja orang Jerman dan Jepun. Saya percaya orang Palestin kalau ada negaranya sendiri juga akan begitu.
Orang yang boleh bangkit semula ini adalah mereka yang berani mengambil risiko. Bagi orang Aceh sekarang, soal mengambil risiko sudah tidak timbul lagi. Mati bagi mereka adalah perkara biasa; dulu dengan peluru sekarang kerana gempa bumi. Mereka sudah melalui pengalaman yang paling buruk dahsyatnya.
Saya tidak fikir kalau orang Aceh selepas ini masuk dalam bidang perniagaan mereka akan takut rugi atau gagal. Mereka sudah melihat yang lebih teruk daripada itu, hilang ahli keluarga dan segala-galanya - apalah sangat hilang sedikit keuntungan.
Saya percaya kalau mereka boleh bertahan daripada bencana ini, insya-Allah, mereka boleh bertahan daripada apa saja cabaran. Ahli fikir Islam, Syaqib Arsalan ditanya kenapa orang Islam mundur sedangkan orang lain jauh lebih maju. Katanya, orang Islam terkena penyakit cintakan kepada hidup dan takut kepada mati. Maksudnya, mereka penakut.
Orang Aceh kalau selepas bencana ini hilang takut dan mutlak keberaniannya, saya yakin mereka akan maju... kalau mereka menggunakan fikiran. Tetapi kalau mereka takut mengambil risiko, takut mahu meningkatkan ilmu pengetahuan, masa depan mereka akan gelap. Mereka tidak ada alasan untuk tidak berjaya selepas ini.
Mereka harus meminjam semangat bushido Jepun: Amanah, berani, disiplin, rajin dan setia. Ini sifat-sifat yang ada dalam Islam tetapi yang mengamalkannya orang Jepun. Saya super optimis tentang masa depan Aceh
MINGGUAN: Bagaimana Tan Sri melihat proses pembangunan semula selepas ini?
SANUSI: Apa yang penting sekarang ialah tempat kediaman serta infrastruktur dan kemudahan asas termasuk sistem komunikasi, jalan raya, sekolah dan hospital. Jabatan kerajaan juga perlu digerakkan semula kerana banyak juga pegawai daerah dan penghulu yang terkorban. Hal-hal itu menjadi tanggungjawab kerajaan Indonesia sekarang.
Saya juga dapat tahu bahawa separuh daripada cerdik pandai dan tenaga profesional termasuk guru dan doktor yang ada di Aceh meninggal. Saya percaya kekurangan tenaga ini boleh ditampung oleh Indonesia. Tetapi kalau ada kemampuan dari negara-negara lain termasuk Malaysia kita boleh memberikan bantuan.
Memandangkan penguasaan bahasa Inggeris masyarakat di Aceh lemah, tidak dapat tidak ia akan banyak bergantung sama ada daripada Malaysia atau Indonesia. Harapan mereka kepada kita ialah kerana faktor bahasa. Kita juga dihubungkan oleh faktor keturunan dan agama.
Apakah keutamaan sekarang?
SANUSI: Air dan ubat-ubatan. Hal-hal ini sedang diuruskan oleh beberapa pihak dan perlu sampai ke sana dengan banyak dan segera. Tentang ubat-ubatan, ia tentulah memerlukan nasihat daripada doktor-doktor dan pasukan bantuan perubatan yang berkhidmat di sana.
Di Medan, ada sebuah hospital, Rumah Sakit Islam Malahayati yang pengarahnya orang Aceh. Hospital itu tahu contact di seluruh Aceh. Ini salah satu saluran yang boleh digunakan.
Saya bukan hendak mempromosikan satu-satu saluran dan mahukan saluran yang lain ditutup. Cuma saya melihat masalah ini terlalu besar dan tidak ada satu organisasi yang boleh menyelesaikannya secara sendirian. Malah negara-negara yang terlibat juga memerlukan bantuan daripada luar.
Dunia sedang memberikan tumpuan kepada Aceh. Apakah yang boleh diharapkan selepas ini?
SANUSI: Aceh sebuah wilayah yang kaya tetapi kekayaannya terlalu sedikit yang dapat dinikmatinya. Kita berharap dengan adanya kepimpinan baru Indonesia di bawah Presiden Bambang Susilo Yudhoyono - yang juga mendapat sokongan bulat hampir 75 peratus daripada Aceh - supaya bermurah hati, jangan seperti pada zaman-zaman dulu.
Ketika itu, kekayaan Aceh itu tidak membantu kemajuan di wilayah itu. Sekarang kekayaan itu bukan datang dari Aceh tetapi dari serata dunia. Apa yang menjadi kegusaran di kalangan orang Aceh sekarang ialah kalau sebelum ini kekayaan Aceh tidak banyak yang dikembalikan kepada Aceh, apakah kekayaan dari luar itu juga akan ke sana.
Apa yang saya suarakan ini ialah apa yang bermain-main dalam fikiran orang Aceh, persepsi mereka. Hal-hal ini apabila difikirkan cukup menyebakkan mereka.
Tetapi kita mempunyai harapan kerana Indonesia ada Presiden dan Naib Presiden baru. Saya yakin bantuan-bantuan itu akan sampai ke Aceh kerana kepimpinan sekarang ini mempunyai wawasan.
Apakah itu saja kebimbangannya?
SANUSI: Aceh masih lagi di dalam perang. Saya rasa sudah cukup korban, tentera sudah banyak mati dan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga. Dendam yang ada itu harus dihapuskan, baik di kalangan tentera mahupun orang Aceh sendiri. Cukuplah dengan kematian yang ada ini.
Semua orang rasa hiba dengan kehilangan yang berlaku akibat bencana ini. Cuma bezanya, mati akibat gempa bumi tidak menimbulkan dendam kerana tiada sesiapa yang boleh dipersalahkan.
Apakah konflik yang berlarutan ini akan reda seketika untuk proses pembangunan semula Aceh?
SANUSI: Saya rasa konflik di Aceh dulu antara tahun 1956 hingga 1963 itu kerana agama, konflik yang berlandas janji waktu merdeka. Konflik yang kemudian daripada itu ialah kerana masalah ekonomi. Aceh wilayah yang kaya dengan minyak dan balak. Saya sebagai orang luar melihatnya sebagai konflik ekonomi.
Tetapi sekarang (selepas bencana ini) tiada lagi kekayaan ekonomi, sudah habis musnah semuanya. Masalah yang ada di Aceh sekarang tidak memungkinkan orang berebut kekayaan di Aceh. Persoalan siapa menguasai apa tidak lagi timbul sekarang.
Masalah sekarang ialah siapa yang hendak menolong Aceh membangun semula daripada kemusnahan ini. Tiada apa lagi yang hendak diambil daripada Aceh; soalnya sekarang siapa yang hendak memberi.
Apakah yang harus dilakukan oleh kerajaan Indonesia untuk penyatuan semula, misalnya?
SANUSI: Masalah yang ada sekarang ini cuma soal maruah saja. Tetapi para pemimpin GAM yang hendak memikirkan soal maruah ini bukannya duduk di Aceh tetapi di luar negara. Ada sesetengahnya tidak pernah duduk pun di Aceh.
Saya fikir mereka (GAM) perlu menimbangkan hal ini. Janganlah kerana soal maruah ini masyarakat Aceh yang lain menderita. Mereka harus memikirkan apakah yang perlu diberikan keutamaan sekarang.
Kita melihat tentera yang dulunya dihantar untuk membendung gerakan GAM di Aceh sekarang ini memberikan bantuan kemanusiaan kepada mangsa-mangsa bencana. Apakah maknanya ini semua?
SANUSI: Itukan tanggungjawab sebuah negara; Aceh sebahagian daripada Indonesia. Pihak yang mengisytiharkan perang ke atas Aceh ialah Indonesia dan yang hendak menolongnya sekarang pun tentulah Indonesia. Kita yang dari luar ini termasuk saudara-mara menolong atas dasar kemanusiaan, dan kita juga mengharapkan kerajaan Indonesia membantu.
Kerajaan Indonesia sedang berusaha bersungguh-sungguh melakukannya dengan sebaik mungkin. Apa yang penting ialah jangan ada rasa curiga dan dendam; semua pihak harus terbuka. Kita perlu menghidupkan semangat rumpun Melayu, itu yang penting dan bukannya semangat mengikut suku dan keturunan.
Masalah yang dihadapi sekarang ini boleh diselesaikan dengan semangat rumpun Melayu. Inilah cabaran kepada rumpun Melayu.
Inilah barangkali apa yang tersirat di sebalik bencana ini? Sekarang ini seluruh dunia sedang bertumpu kepada Aceh.
SANUSI: Ya. Aceh yang dulunya tertutup, sampaikan bencana datang pun orang tidak tahu kerana tidak ada wartawan luar yang boleh masuk, sekarang ini sudah terbuka.
Kita memerlukan satu gempa bumi untuk membuka Aceh kepada dunia, membebaskan Aceh sehingga orang luar boleh masuk. Begitu hebatnya, Tuhan terpaksa campur tangan untuk membebaskan Aceh.
Kalau di Aceh itu diisytiharkan perang, ia memang sudah jadi seperti zon peperangan dengan segala kapal perang dari serata dunia yang ada di sana sekarang. Tetapi itu bukan zon peperangan untuk membunuh tetapi menyelamatkan yang masih hidup.
Saya melihat situasi ini sebagai sesuatu yang cukup poetic.
Apakah yang penting untuk masa depan Aceh?
SANUSI: Ada dua perkara: Pelajaran dan agama untuk anak-anak Aceh. Usaha hendak membawa keluar anak-anak Aceh dari tanah airnya untuk diberikan bantuan harus dikurangkan. Ia perlu dibendung dan dipantau betul-betul.
Saya menyokong langkah kerajaan Indonesia yang tegas dalam hal ini. Saya melihat kalau wilayah sudah musnah begitu, proses pembangunan semulanya tentu memerlukan manusia yang banyak untuk membantu.
Orang yang hendak mengambil anak angkat ini tidak akan mengambil mereka yang capek dan tua tetapi yang boleh memberikan harapan. Ini bermakna sudahlah Aceh itu sekarang ini miskin hasil buminya ia juga akan miskin manusia.
Apa yang penting dalam hal pembangunan semula ini bukannya hasil bumi tetapi tenaga manusia. Lihat Jepun, ia tiada hasil bumi tetapi manusianya dapat membangunkan negara dan bangsa itu. Aceh yang sekarang menjadi padang jarak padang tekukur kalau dibangunkan nanti boleh menjadi pekan-pekan yang lebih tersusun dan cantik, kalau perancangannya betul.
Apakah yang diperlukan untuk pembangunan semula ini?
SANUSI: Harus ada kelonggaran kepada para pelabur asing untuk masuk ke sana dan membantu. Ini memerlukan kerjasama kerajaan Indonesia. Ini saya fikir tidak ada masalah.
Tan Sri menyebut tentang manusia sebagai aset. Ada kebimbangan bahawa Aceh sekarang kehilangan generasi masa depan akibat bencana ini.
SANUSI: Ini soal takdir. Memang banyak anak kecil yang meninggal tetapi keluarga yang hidup itu akan melahirkan lagi anak selepas ini. Lagi pula tidak ada gunanya kita memikirkan masalah itu kerana kita tidak boleh berbuat apa-apa untuk menghalangnya daripada berlaku. Adalah lebih baik kita memikirkan apa yang boleh dibuat.
Orang banyak bercerita tentang kekuatan semangat yang ada pada orang Aceh. Sejarah perjuangannya berdepan dengan Belanda adalah satu contoh terbaik. Orang melihat semangat itu juga kekuatan untuk mereka bangun semula.
SANUSI: Ini bukan satu masalah. Di Malaysia pun, tidak ramai orang Aceh tetapi mereka terlibat juga dalam pembangunan negara ini. Ada banyak juga orang Aceh yang mempunyai kedudukan dan jawatan penting di negara ini. Tidak semestinya duduk di Aceh baru boleh turut membangun. Kita rumpun Melayu; sesiapa pun boleh ikut sama membangunkan semula Aceh.
Saya tidak pesimistik dalam soal itu. Kalau ada gerakan umpamanya mahu berebutkan ekonomi Aceh, apa yang hendak direbutkan itu sudah hancur semuanya. Jadi rasional sekarang ini ialah kita menghidupkan semula semangat rumpun Melayu. Ini adalah cabaran kepada rumpun itu.
Apakah yang boleh kita berikan?
SANUSI: Banyak. Kita yang paling dekat dengan Aceh dan Sumatera. Pertama, kita boleh ke sana untuk membantu baik dari segi perniagaan atau sekurang-kurangnya membina rumah kebajikan untuk ditadbirkan oleh orang di sana. Kita boleh rundingkan hal ini dengan kerajaan Indonesia.
Kedua, kita juga boleh membawa anak-anak Aceh yang dewasa untuk belajar di sini. Mereka memerlukan pendidikan dalam pelbagai bidang. Dalam bidang perikanan misalnya, kalau kerajaan Indonesia bersetuju kita boleh melatih mereka di sini.
Itu yang barangkali timbul cerita tentang anak angkat?
SANUSI: Banyak orang salah faham tentang hal anak angkat. Ada sebuah badan di Kuwait yang mempunyai 10,000 anak angkat dari Afrika tetapi tidak seorang anak angkat itu meninggalkan Afrika.
Kita masih boleh mengambil anak angkat dan membiayai kehidupan mereka tetapi mereka tinggal bersama keluarga atau jiran di Aceh. Kita boleh juga membiayai anak-anak angkat yang belajar di pesantren-pesantren. Kalau kerajaan Indonesia membenarkan, kita boleh juga membiayai anak-anak angkat dari Aceh untuk dibawa belajar di sini.
Anak angkat kategori keempat barulah mereka yang dibawa untuk tinggal bersama kita. Tetapi anak angkat itu harus jangan dipisahkan daripada asal-usulnya. Masalahnya ada orang yang mahu anak angkat tetapi kalau boleh jadi macam anak sendiri dan lupakan asal keturunannya. Ini tidak adil, dan tentulah orang tidak mahu beri.
Saya fikir pendirian kerajaan Indonesia tidak membenarkan anak-anak Aceh dibawa keluar adalah satu ketegasan yang logik. Apa yang menjadi kebimbangan ialah kalau yang menjadi keluarga angkat itu terdiri daripada bukan Islam. Kita harus faham bahawa orang Aceh ini lebih rela mati daripada bertukar agama.
Boleh orang Aceh bangun semula seperti burung phoenix yang bangkit dari abu?
SANUSI: Saya fikir selepas ini Aceh akan bangun semula dengan lebih hebat. Orang yang membangun di dunia semuanya telah menghadapi durjana dan bencana yang hebat. Lihat saja orang Jerman dan Jepun. Saya percaya orang Palestin kalau ada negaranya sendiri juga akan begitu.
Orang yang boleh bangkit semula ini adalah mereka yang berani mengambil risiko. Bagi orang Aceh sekarang, soal mengambil risiko sudah tidak timbul lagi. Mati bagi mereka adalah perkara biasa; dulu dengan peluru sekarang kerana gempa bumi. Mereka sudah melalui pengalaman yang paling buruk dahsyatnya.
Saya tidak fikir kalau orang Aceh selepas ini masuk dalam bidang perniagaan mereka akan takut rugi atau gagal. Mereka sudah melihat yang lebih teruk daripada itu, hilang ahli keluarga dan segala-galanya - apalah sangat hilang sedikit keuntungan.
Saya percaya kalau mereka boleh bertahan daripada bencana ini, insya-Allah, mereka boleh bertahan daripada apa saja cabaran. Ahli fikir Islam, Syaqib Arsalan ditanya kenapa orang Islam mundur sedangkan orang lain jauh lebih maju. Katanya, orang Islam terkena penyakit cintakan kepada hidup dan takut kepada mati. Maksudnya, mereka penakut.
Orang Aceh kalau selepas bencana ini hilang takut dan mutlak keberaniannya, saya yakin mereka akan maju... kalau mereka menggunakan fikiran. Tetapi kalau mereka takut mengambil risiko, takut mahu meningkatkan ilmu pengetahuan, masa depan mereka akan gelap. Mereka tidak ada alasan untuk tidak berjaya selepas ini.
Mereka harus meminjam semangat bushido Jepun: Amanah, berani, disiplin, rajin dan setia. Ini sifat-sifat yang ada dalam Islam tetapi yang mengamalkannya orang Jepun. Saya super optimis tentang masa depan Aceh
Ahad, Januari 09, 2005 | 0
ulasan
DR. JEMILAH DI ACEH: ``Kami bertarung dengan emosi''
``Kami bertarung dengan emosi''
MUKADIMAH
DR. JEMILAH MAHMOOD tampak cukup letih dan lesu ketika ditemui di pejabatnya tengah hari semalam. Presiden Persatuan Bantuan Perubatan (Mercy) Malaysia itu baru saja kembali ke tanah air kelmarin selepas berada di Banda Aceh, wilayah yang paling teruk terjejas akibat bencana tsunami, selama 10 hari sejak 29 Disember lalu.
``Hanya baru sekarang saya rasa letihnya. Selama di sana, tidak fikir apa-apa asyik bekerja saja,'' katanya kepada wartawan NOOR AZAM SHAIRI dan HELMI MOHD. FOAD.
Dalam wawancara ini, Dr. Jemilah menceritakan pengalamannya bersama sukarelawan Mercy Malaysia berdepan dengan tragedi kemanusiaan kesan daripada bencana itu.
Beliau menceritakan tentang penderitaan mangsa-mangsa yang tercedera serta kesukaran dan cabaran memberikan bantuan perubatan kepada mereka dalam keadaan yang serba kekurangan.
``Kerja itu jadi lebih sukar kerana kita serumpun dan memahami bahasa pertuturan mereka. Kami faham cerita-cerita mereka tentang kesedihan dan kekesalan. Kami bertarung antara emosi sendiri dan luahan emosi mereka,'' katanya.
Tetapi selain cerita kemanusiaan itu ada satu perkara penting yang disuarakan oleh Dr. Jemilah untuk kita renungi bersama - tentang masa depan gerakan sukarela seperti Mercy Malaysia.
``Apa yang berlaku di Aceh itu adalah satu pengajaran yang bermakna,'' katanya.
Beliau menyebut tentang pentingnya sokongan masyarakat prihatin yang berterusan kepada kerja-kerja kemanusiaan dan bukan hanya semasa bencana menimpa.
Sementara itu, dalam satu wawancara berasingan, Presiden Ikatan Masyarakat Aceh Malaysia (Imam), Tan Sri Sanusi Junid berkongsi pandangan yang optimis tentang masa depan wilayah itu.
``Selepas ini, Aceh akan bangun semula dengan lebih hebat,'' katanya.
Sanusi yang juga berdarah Aceh bercakap tentang pembangunan semula wilayah itu serta bantuan yang boleh diberikan oleh kita atas semangat serumpun.
MINGGUAN: Bagaimana Mercy Malaysia mula terlibat dalam bencana ini?
DR. JEMILAH: Sebagai ahli jawatankuasa tindakan bencana Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (UNDAC), saya cepat mendapat maklumat. Laporan awal membayangkan keadaan di Aceh tidak teruk dan kerana itu kami mula memantau laporan dari Sri Lanka.
Saya memutuskan untuk menghantar satu pasukan penilai yang kecil ke Aceh, tiga orang. Lagipun jaraknya dekat dan kalau keadaan memerlukan kami boleh berangkat bila-bila masa. Pasukan yang diketuai oleh Norazam Abu Samah ke sana sehari selepas kejadian dengan pesawat komersial. Pada masa yang sama pasukan kedua diarahkan bersiap sedia.
Gambaran pertama yang diberikan oleh Norazam ialah selain mayat yang bergelimpangan keadaan terlalu buruk dengan banyak mangsa tercedera dan pasukan perubatan susulan mesti dihantar segera. Jadi saya dan lima lagi sukarelawan terus berkemas dan berangkat. Dua hari selepas pasukan pertama berlepas, kami pula sampai ke Banda Aceh.
Gambaran pertama yang dilihat?
DR. JEMILAH: Apabila sampai di lapangan terbang kami tidak melihat tanda-tanda kesan bencana kerana kawasan itu tidak terjejas. Ketika itu pun belum banyak bantuan antarabangsa yang masuk kecuali daripada pihak Indonesia sendiri. Apabila tiba di pusat bandar Banda Aceh, barulah kami mengetahui keadaan sebenarnya - kubur besar, jenazah bergelimpangan, kemusnahan di mana-mana, bau mayat yang mengapung.
Hospitalnya dalam keadaan kelam-kabut; lantainya berlumpur dengan darah di merata tempat serta berselerak dengan sarung tangan, kapas yang telah dipakai dan sebagainya kerana doktor-doktor mengejar masa. Ini waktu kecemasan paling buruk yang pernah saya alami. Dalam keadaan itu orang tidak dapat lagi menjaga soal kebersihan sehingga memburukkan lagi keadaan yang sedia teruk.
Keadaan dalam wad cukup kelam-kabut. Pesakit diletak bercampur-campur - lelaki, wanita dan kanak-kanak. Ada yang di atas katil, ada yang hanya di lantai berlapikkan tikar.
Sebaik sampai di Rumah Sakit Tentera Kesdam itu kami tidak menunggu lama - letak beg dan terus bekerja. Ketika itu sudah ada doktor dari Indonesia bertungkus-lumus membuat pembedahan. Kami bekerja di luar mengasing-asingkan kes, menentukan pesakit yang perlu dihantar untuk pembedahan. Ini membolehkan proses rawatan kecemasan lebih cepat.
Sukarelawan yang ada tidak mencukupi. Saya arahkan ibu pejabat hantar pasukan tambahan enam orang. Pasukan ketiga yang diketuai oleh Dr. Fauziah Mohd. Hassan berlepas Ahad lalu untuk menyertai kami bersama pakar-pakar bedah, bius dan perubatan dalaman.
Katanya empat daripada enam hospital di Banda Aceh musnah?
DR. JEMILAH: Ya, ada enam hospital utama di sana. Tetapi selepas bencana itu hanya sebuah yang beroperasi iaitu hospital tempat kami bekerja. Ia sebuah hospital kelas ketiga yang hanya mampu mengendalikan maksimum 150 pesakit pada satu-satu masa. Ada bilik bedah tetapi kemudahan tidak cukup. Tabung darah pun tidak ada. Tabung Darah Nasional pula habis bekalan. Jadi ketika itu tidak ada bekalan darah untuk seluruh Banda Aceh.
Hospital terbesar iaitu Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin pula terpaksa ditutup kerana diliputi oleh lumpur sampai ke lutut dan semua bekalan elektrik serta air terputus. Hanya baru-baru ini saja mereka membuka semula hospital itu tetapi tingkat bawah masih tidak boleh digunakan.
Sebuah pusat perubatan swasta, Rumah Sakit Sakinah juga tidak ada bekalan elektrik dan air. Rumah Sakit Harapan Bunda iaitu sebuah hospital bersalin juga membenarkan kita mengendalikan kes yang melibatkan pembedahan tetapi hanya untuk sementara. Dua buah hospital lagi rosak teruk.
Tenaga perubatannya bagaimana?
DR. JEMILAH: Separuh daripada 300 kakitangan perubatan yang ada di seluruh Banda Aceh disahkan terkorban; daripada baki 150 yang hilang itu hanya 17 saja yang melaporkan diri untuk bertugas. Mungkin ada yang tidak melaporkan diri atau sibuk mencari ahli keluarga.
Tetapi secara umum sistem kesihatannya pincang. Hospital tentera itu sekarang terpaksa mengendalikan 500 pesakit di wad dan di kaki lima bangunannya. Semasa mula-mula sampai kami cuba memperbaiki sistemnya. Kami cuci sendiri lantai bagi membolehkan wad pediatrik dan pusat rawatan rapi dibuka dan kami asingkan pesakit mengikut jantina.
Apa masalah kesihatan yang ada?
DR. JEMILAH: Luka-luka pesakit mula dijangkiti dan berulat. Ada yang sudah bernanah teruk, ada yang mengalami gangren dan terpaksa dibedah. Kebanyakan mereka juga mengalami radang paru-paru dan cirit-birit tetapi belum sampai ke tahap kolera.
Kanak-kanak pula bagaimana?
DR. JEMILAH: Tidak ramai yang selamat. Hasil tinjauan kumpulan Doktor Tanpa Sempadan (MSF) hampir 40 peratus kanak-kanak terbunuh dalam bencana itu. Mereka yang terselamat pula dalam keadaan trauma.
Saya tidak dapat melupakan satu pengalaman melihat seorang kanak-kanak yatim piatu menangis di atas katil. Seorang pesakit yang dewasa yang patah tangan di katil sebelah mengangkat kanak-kanak itu dan membawanya tidur bersama. Saya sungguh terharu dan kagum melihat betapa rapatnya ikatan masyarakat yang sama-sama menderita itu.
Ada yang menyangka sesetengah kanak-kanak itu bisu, sebenarnya mereka trauma. Selepas sukarelawan kita datang mencucikan badannya, berbual dan bermain dengannya barulah dia mengeluarkan suara.
Kes paling teruk yang doktor saksikan?
DR. JEMILAH: Terlalu banyak. (Terdiam seketika) Ada seorang wanita, mukanya hancur tidak menampakkan wajah asalnya, tidak boleh buka mata, bengkak-bengkak, kaki pecah dan dengan luka di serata tubuh badan. Ulat pun sudah nampak memakan daging di muka dan mulutnya yang cedera teruk. Saya tahu dia tidak ada harapan. Dr. Quah Boon Leong (seorang lagi sukarelawan) kata kepada saya: ``Sayang kalau kita tidak dapat buat apa-apa.''
Tetapi saya dapati semua organ badannya tidak lagi berfungsi, dan kencingnya pun sudah berdarah. Oleh itu saya katakan kepada rakan-rakan, kita tahu wanita itu akan mati tetapi biarlah dia pergi dengan aman dan baik. Kami mandikan dia dan Dr. Leong mengutip satu persatu ulat dari mulut wanita itu.
Saya ajar dia mengucap dua kalimah syahadah. Dia mengikuti lafaz itu dengan jelas sekali. Wanita itu berkata dengan sayu: ``Sakit, nak tetapi saya tahu sakitnya tidak lama. Terima kasih kerana menolong saya.'' Sebelum dia pergi, wanita itu kelihatan tabah dan tenang. Saya cukup terharu melihatnya. Kami tidak tahu nama wanita itu dan kami tidak tahu umurnya.
Pengalaman itu sungguh memberikan kesan yang mendalam dalam hati kami. Kami sebenarnya berada dalam keadaan yang sungguh tertekan dan sedih kerana 10 hingga 20 pesakit kami meninggal dunia setiap hari.
Pada hari-hari pertama saya terpaksa memilih pesakit mana yang hendak dirawat - antara mereka yang masih ada harapan atau sebaliknya. Di hospital itu, pesakit memanggil-manggil kami tetapi kami terpaksa berjalan dan meninggalkan mereka begitu saja.
Itulah yang paling menyedihkan. Saya dilatih untuk membantu pesakit tetapi di Aceh ada pesakit-pesakit yang terpaksa saya tinggalkan kerana tahu sekiranya saya menolong mereka saya tidak boleh merawat pesakit lain. Kami tahu kami boleh melakukan lebih daripada itu tetapi tidak berdaya kerana kelengkapannya tiada, ia tambah menyakitkan. Itulah yang juga dialami oleh doktor-doktor yang sampai awal di sana.
Apakah yang paling menyentuh hati Dr.?
DR. JEMILAH: Melihat kanak-kanak yang sesak nafas. Lebih menyedihkan apabila anak-anak itu memanggil emak. Ibu mereka kemungkinan sudah meninggal dunia. Tiada sesiapa di sisi mereka kecuali sesetengahnya yang masih ada adik-beradik atau sanak-saudara yang terselamat. Sebagai seorang ibu, saya terkenang anak saya sendiri. Apa yang tambah menyedihkan kami tahu mereka hanya menunggu masa.
Menjelang malam tahun baru, kebanyakan kami sudah mula tertekan. Pada malam tahun baru itu saya dan Dr. Leong tidak dapat menampung air mata melihat anak-anak yang menderita itu. Malam itu juga seorang kanak-kanak meninggal dunia. Saya tenangkan Dr. Leong yang kelihatan putus asa kerana tidak dapat membantu kanak-kanak itu. Selain kanak-kanak itu, ada dua lagi kanak-kanak yang mengalami masalah serupa. Kami memutuskan untuk memindahkan mereka.
Apa yang Dr. lakukan?
DR. JEMILAH: Kami berkeras mendesak supaya mereka dipindahkan. Alhamdulillah, keesokan harinya pada hari tahun baru mereka dapat dibawa keluar dari Banda Aceh .
Pada hari itu juga berlaku gempa bumi. Kami semua lari keluar dari bilik. Ia memang menakutkan. Ada sesetengah sukarelawan baru yang menggeletar. Ia satu tahun baru yang tidak dapat dilupakan. Kami tidak tidur sampai pukul 4 pagi, bukannya bergembira tetapi berdepan dengan kematian dan gempa bumi, bertarung dengan emosi sendiri dan penderitaan orang lain yang kami lihat di depan mata.
Alhamdulillah juga saya sempat berehat untuk menyambut kumpulan ketiga yang sampai Ahad lalu. Saya kembali ke Aceh bersama-sama mereka tetapi Dr. Leong tinggal sekejap di Medan. Beberapa hari kemudian, dia menelefon saya memberitahu siaran berita televisyen melaporkan dua kanak-kanak itu sudah pulih, boleh duduk dan bercakap.
Berita itu memberikan harapan dan memulihkan semangat kami, lebih-lebih lagi Dr. Leong yang masih muda 26 tahun dan ini merupakan pengalaman barunya dalam kerja sukarelawan.
Apakah yang menjadi pendorong Dr. selama di sana?
DR. JEMILAH: Naluri saya tidak membenarkan saya untuk duduk berdiam diri melihat orang lain menderita. Saya sedar ini adalah kurniaan Allah kepada saya. Saya merasakan ini adalah tanggungjawab dan amanah-Nya.
Saya mahu menunjukkan kepada dunia bahawa kita orang Malaysia mampu melakukan kerja-kerja kemanusiaan, bukan setakat itu saja tetapi yang setanding dengan mereka. Ada banyak orang melakukan kerja sukarelawan tetapi kita mahu organisasi antarabangsa lain melihat kita ini berada pada tahap yang sama. Alhamdulillah, kami sudah membuktikannya.
Mercy Malaysia yang mula-mula sampai di Aceh dan dilaporkan oleh CNN. Laporan itu menyiapkan dunia untuk berdepan dengan realiti yang lebih buruk di Aceh.
DR. JEMILAH: Dunia pada mulanya terlalu banyak memberikan reaksi kepada Phuket dan Sri Lanka, masyarakat antarabangsa cepat ke sana. Saya mungkin tersilap tetapi itu barangkali kerana banyak pelancong dan ekspatriat di sana.
Aceh juga tidak dapat menyebarkan maklumat apa yang sebenarnya berlaku dengan cepat kepada dunia. Saya juga fikir kerajaan Indonesia pada awalnya bimbang untuk menghebahkannya pada peringkat awal kerana sensitiviti Aceh. Itu (pandangan mereka) harus kita hormati.
Tetapi saya rasa tindak balas antarabangsa terhadap Aceh agak terlewat. Kita jiran Indonesia yang paling dekat, masuk akallah kalau kita sampai dulu. Kalau bukan kita yang mula-mula sampai, saya akan rasa sangat malu. Malah semasa bencana banjir di Pulau Nias dekat Sumatera pada Ogos 2001 kami satu-satunya pertubuhan antarabangsa yang ada di sana.
Saya tidak rasa bangga apa-apa tentang itu. Ia sesuatu yang memang sepatutnya berlaku.
Laporan itu mengubah banyak perkara.
DR. JEMILAH: Ya, ia benar-benar meletakkan Mercy Malaysia di arena antarabangsa. Kami mula mendapat sumbangan dana individu dari serata dunia. Sebenarnya bukan laporan CNN itu saja tetapi BBC, CBS News dan ABC. Alhamdulillah, daripada laporan-laporan itu kami mula mendapat sumbangan dari Kanada, Australia malah saya baru dapat satu SMS dari Switzerland. Ada pihak yang membuat kutipan dana untuk Mercy Malaysia hari ini.
Saya bimbang juga kalau-kalau sumbangan makin lesu kerana cabaran sekarang ialah semua pihak meminta sumbangan. Kami selalu dituduh tidak berbakti di Malaysia, hanya ke luar negara. Ini tuduhan yang tidak adil. Hakikatnya kami begitu aktif di dalam negara cuma media tidak berminat melaporkannya.
Tetapi saya juga percaya sekiranya Mercy Malaysia terpaksa memberikan respons kepada semua kecemasan dalam negara tentu ada sesuatu yang tidak kena dengan negara ini, baik sistem mahupun kerajaannya.
Sistem kesihatan kita sangat baik. Kerajaan juga ada mekanisme untuk bertindak balas kepada kecemasan dan bencana. Oleh itu, Mercy Malaysia tidak perlu mengulangi tugas itu.
Ini antara kritikan yang dilemparkan?
DR. JEMILAH: Pengkritik saya yang paling keras ialah orang Islam. Malah ada yang menelefon ke pejabat, marah-marah dan menghempaskan telefon. Ini sangat mengecewakan. Cuba tunjukkan saya dalil yang mengatakan bahawa orang Islam hanya perlu membantu orang Islam sahaja. Mereka mengkritik kami kerana membantu orang bukan Islam dan negara luar. Kenapa kita terlalu singkat akal?
Tetapi mereka yang marah-marah ini hanya segelintir saja, majoritinya orang menyokong kami. Malah sekarang Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu juga mendukung kami di Aceh. Dalam mesyuarat-mesyuarat mengenai kesihatan, saya diminta mempengerusikannya bersama.
Kritikan itu melemahkan semangat Dr.?
DR. JEMILAH: Saya tidak mahu putus asa. Saya bersyukur dengan apa yang mampu kami lakukan. Saya tidak mahu kritikan-kritikan itu melemahkan kami. Saya berserah kepada Allah.
Kalau mereka tidak mahu menolong, tidak mengapa, berdoalah saja untuk kami. Kalau kami sudah membuktikan apa yang boleh kami lakukan, janganlah pula menghalang atau melemahkan semangat kami.
Saya tahu ada orang menyebarkan fitnah mengatakan Mercy tidak memerlukan doktor sebaliknya hanya hantar pakaian dan air. Kami akan terus menghantar doktor apabila diperlukan.
Apakah kekesalan Dr. kalau ada?
DR. JEMILAH: Kami tidak dapat meyakinkan masyarakat bahawa sebuah pertubuhan sukarelawan seperti ini memerlukan satu dana yang kukuh sepanjang masa kerana bencana boleh berlaku dalam sekelip mata. Kami ada dana yang kukuh untuk Iraq dan Iran kerana kerajaan memberikan bantuan. Tetapi apabila tiada bantuan kerajaan kami sebenarnya tidaklah sekukuh mana. Masalahnya orang tidak percaya bahawa kami memerlukan dana yang kukuh juga untuk hal ehwal pentadbiran. Mana-mana pertubuhan pun tidak boleh beroperasi dengan baik tanpa pentadbiran yang baik.
Kami berjaya selama ini kerana dedikasi tinggi ahli-ahli. Mereka meninggalkan kerjaya yang lebih lumayan untuk bekerja dengan Mercy Malaysia sepenuh masa. Tetapi saya berfikir sekiranya kami ada dana yang kukuh, insya-Allah kami boleh mempunyai sebuah gudang yang lengkap dengan ubat-ubatan dan peralatan yang boleh dihantar ke mana-mana pada bila-bila masa.
Ini memerlukan dana yang kukuh. Masalahnya orang hanya mahu menyumbang kalau ada krisis atau bencana. Apa yang berlaku di Aceh ini adalah satu pengajaran kepada kerja-kerja kemanusiaan, kepada saya dan kepada Mercy Malaysia. Kami tidak mahu lagi terperangkap dalam keadaan tidak bersedia seperti ini. Kami sebenarnya boleh melakukan lebih baik daripada ini.
MUKADIMAH
DR. JEMILAH MAHMOOD tampak cukup letih dan lesu ketika ditemui di pejabatnya tengah hari semalam. Presiden Persatuan Bantuan Perubatan (Mercy) Malaysia itu baru saja kembali ke tanah air kelmarin selepas berada di Banda Aceh, wilayah yang paling teruk terjejas akibat bencana tsunami, selama 10 hari sejak 29 Disember lalu.
``Hanya baru sekarang saya rasa letihnya. Selama di sana, tidak fikir apa-apa asyik bekerja saja,'' katanya kepada wartawan NOOR AZAM SHAIRI dan HELMI MOHD. FOAD.
Dalam wawancara ini, Dr. Jemilah menceritakan pengalamannya bersama sukarelawan Mercy Malaysia berdepan dengan tragedi kemanusiaan kesan daripada bencana itu.
Beliau menceritakan tentang penderitaan mangsa-mangsa yang tercedera serta kesukaran dan cabaran memberikan bantuan perubatan kepada mereka dalam keadaan yang serba kekurangan.
``Kerja itu jadi lebih sukar kerana kita serumpun dan memahami bahasa pertuturan mereka. Kami faham cerita-cerita mereka tentang kesedihan dan kekesalan. Kami bertarung antara emosi sendiri dan luahan emosi mereka,'' katanya.
Tetapi selain cerita kemanusiaan itu ada satu perkara penting yang disuarakan oleh Dr. Jemilah untuk kita renungi bersama - tentang masa depan gerakan sukarela seperti Mercy Malaysia.
``Apa yang berlaku di Aceh itu adalah satu pengajaran yang bermakna,'' katanya.
Beliau menyebut tentang pentingnya sokongan masyarakat prihatin yang berterusan kepada kerja-kerja kemanusiaan dan bukan hanya semasa bencana menimpa.
Sementara itu, dalam satu wawancara berasingan, Presiden Ikatan Masyarakat Aceh Malaysia (Imam), Tan Sri Sanusi Junid berkongsi pandangan yang optimis tentang masa depan wilayah itu.
``Selepas ini, Aceh akan bangun semula dengan lebih hebat,'' katanya.
Sanusi yang juga berdarah Aceh bercakap tentang pembangunan semula wilayah itu serta bantuan yang boleh diberikan oleh kita atas semangat serumpun.
MINGGUAN: Bagaimana Mercy Malaysia mula terlibat dalam bencana ini?
DR. JEMILAH: Sebagai ahli jawatankuasa tindakan bencana Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (UNDAC), saya cepat mendapat maklumat. Laporan awal membayangkan keadaan di Aceh tidak teruk dan kerana itu kami mula memantau laporan dari Sri Lanka.
Saya memutuskan untuk menghantar satu pasukan penilai yang kecil ke Aceh, tiga orang. Lagipun jaraknya dekat dan kalau keadaan memerlukan kami boleh berangkat bila-bila masa. Pasukan yang diketuai oleh Norazam Abu Samah ke sana sehari selepas kejadian dengan pesawat komersial. Pada masa yang sama pasukan kedua diarahkan bersiap sedia.
Gambaran pertama yang diberikan oleh Norazam ialah selain mayat yang bergelimpangan keadaan terlalu buruk dengan banyak mangsa tercedera dan pasukan perubatan susulan mesti dihantar segera. Jadi saya dan lima lagi sukarelawan terus berkemas dan berangkat. Dua hari selepas pasukan pertama berlepas, kami pula sampai ke Banda Aceh.
Gambaran pertama yang dilihat?
DR. JEMILAH: Apabila sampai di lapangan terbang kami tidak melihat tanda-tanda kesan bencana kerana kawasan itu tidak terjejas. Ketika itu pun belum banyak bantuan antarabangsa yang masuk kecuali daripada pihak Indonesia sendiri. Apabila tiba di pusat bandar Banda Aceh, barulah kami mengetahui keadaan sebenarnya - kubur besar, jenazah bergelimpangan, kemusnahan di mana-mana, bau mayat yang mengapung.
Hospitalnya dalam keadaan kelam-kabut; lantainya berlumpur dengan darah di merata tempat serta berselerak dengan sarung tangan, kapas yang telah dipakai dan sebagainya kerana doktor-doktor mengejar masa. Ini waktu kecemasan paling buruk yang pernah saya alami. Dalam keadaan itu orang tidak dapat lagi menjaga soal kebersihan sehingga memburukkan lagi keadaan yang sedia teruk.
Keadaan dalam wad cukup kelam-kabut. Pesakit diletak bercampur-campur - lelaki, wanita dan kanak-kanak. Ada yang di atas katil, ada yang hanya di lantai berlapikkan tikar.
Sebaik sampai di Rumah Sakit Tentera Kesdam itu kami tidak menunggu lama - letak beg dan terus bekerja. Ketika itu sudah ada doktor dari Indonesia bertungkus-lumus membuat pembedahan. Kami bekerja di luar mengasing-asingkan kes, menentukan pesakit yang perlu dihantar untuk pembedahan. Ini membolehkan proses rawatan kecemasan lebih cepat.
Sukarelawan yang ada tidak mencukupi. Saya arahkan ibu pejabat hantar pasukan tambahan enam orang. Pasukan ketiga yang diketuai oleh Dr. Fauziah Mohd. Hassan berlepas Ahad lalu untuk menyertai kami bersama pakar-pakar bedah, bius dan perubatan dalaman.
Katanya empat daripada enam hospital di Banda Aceh musnah?
DR. JEMILAH: Ya, ada enam hospital utama di sana. Tetapi selepas bencana itu hanya sebuah yang beroperasi iaitu hospital tempat kami bekerja. Ia sebuah hospital kelas ketiga yang hanya mampu mengendalikan maksimum 150 pesakit pada satu-satu masa. Ada bilik bedah tetapi kemudahan tidak cukup. Tabung darah pun tidak ada. Tabung Darah Nasional pula habis bekalan. Jadi ketika itu tidak ada bekalan darah untuk seluruh Banda Aceh.
Hospital terbesar iaitu Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin pula terpaksa ditutup kerana diliputi oleh lumpur sampai ke lutut dan semua bekalan elektrik serta air terputus. Hanya baru-baru ini saja mereka membuka semula hospital itu tetapi tingkat bawah masih tidak boleh digunakan.
Sebuah pusat perubatan swasta, Rumah Sakit Sakinah juga tidak ada bekalan elektrik dan air. Rumah Sakit Harapan Bunda iaitu sebuah hospital bersalin juga membenarkan kita mengendalikan kes yang melibatkan pembedahan tetapi hanya untuk sementara. Dua buah hospital lagi rosak teruk.
Tenaga perubatannya bagaimana?
DR. JEMILAH: Separuh daripada 300 kakitangan perubatan yang ada di seluruh Banda Aceh disahkan terkorban; daripada baki 150 yang hilang itu hanya 17 saja yang melaporkan diri untuk bertugas. Mungkin ada yang tidak melaporkan diri atau sibuk mencari ahli keluarga.
Tetapi secara umum sistem kesihatannya pincang. Hospital tentera itu sekarang terpaksa mengendalikan 500 pesakit di wad dan di kaki lima bangunannya. Semasa mula-mula sampai kami cuba memperbaiki sistemnya. Kami cuci sendiri lantai bagi membolehkan wad pediatrik dan pusat rawatan rapi dibuka dan kami asingkan pesakit mengikut jantina.
Apa masalah kesihatan yang ada?
DR. JEMILAH: Luka-luka pesakit mula dijangkiti dan berulat. Ada yang sudah bernanah teruk, ada yang mengalami gangren dan terpaksa dibedah. Kebanyakan mereka juga mengalami radang paru-paru dan cirit-birit tetapi belum sampai ke tahap kolera.
Kanak-kanak pula bagaimana?
DR. JEMILAH: Tidak ramai yang selamat. Hasil tinjauan kumpulan Doktor Tanpa Sempadan (MSF) hampir 40 peratus kanak-kanak terbunuh dalam bencana itu. Mereka yang terselamat pula dalam keadaan trauma.
Saya tidak dapat melupakan satu pengalaman melihat seorang kanak-kanak yatim piatu menangis di atas katil. Seorang pesakit yang dewasa yang patah tangan di katil sebelah mengangkat kanak-kanak itu dan membawanya tidur bersama. Saya sungguh terharu dan kagum melihat betapa rapatnya ikatan masyarakat yang sama-sama menderita itu.
Ada yang menyangka sesetengah kanak-kanak itu bisu, sebenarnya mereka trauma. Selepas sukarelawan kita datang mencucikan badannya, berbual dan bermain dengannya barulah dia mengeluarkan suara.
Kes paling teruk yang doktor saksikan?
DR. JEMILAH: Terlalu banyak. (Terdiam seketika) Ada seorang wanita, mukanya hancur tidak menampakkan wajah asalnya, tidak boleh buka mata, bengkak-bengkak, kaki pecah dan dengan luka di serata tubuh badan. Ulat pun sudah nampak memakan daging di muka dan mulutnya yang cedera teruk. Saya tahu dia tidak ada harapan. Dr. Quah Boon Leong (seorang lagi sukarelawan) kata kepada saya: ``Sayang kalau kita tidak dapat buat apa-apa.''
Tetapi saya dapati semua organ badannya tidak lagi berfungsi, dan kencingnya pun sudah berdarah. Oleh itu saya katakan kepada rakan-rakan, kita tahu wanita itu akan mati tetapi biarlah dia pergi dengan aman dan baik. Kami mandikan dia dan Dr. Leong mengutip satu persatu ulat dari mulut wanita itu.
Saya ajar dia mengucap dua kalimah syahadah. Dia mengikuti lafaz itu dengan jelas sekali. Wanita itu berkata dengan sayu: ``Sakit, nak tetapi saya tahu sakitnya tidak lama. Terima kasih kerana menolong saya.'' Sebelum dia pergi, wanita itu kelihatan tabah dan tenang. Saya cukup terharu melihatnya. Kami tidak tahu nama wanita itu dan kami tidak tahu umurnya.
Pengalaman itu sungguh memberikan kesan yang mendalam dalam hati kami. Kami sebenarnya berada dalam keadaan yang sungguh tertekan dan sedih kerana 10 hingga 20 pesakit kami meninggal dunia setiap hari.
Pada hari-hari pertama saya terpaksa memilih pesakit mana yang hendak dirawat - antara mereka yang masih ada harapan atau sebaliknya. Di hospital itu, pesakit memanggil-manggil kami tetapi kami terpaksa berjalan dan meninggalkan mereka begitu saja.
Itulah yang paling menyedihkan. Saya dilatih untuk membantu pesakit tetapi di Aceh ada pesakit-pesakit yang terpaksa saya tinggalkan kerana tahu sekiranya saya menolong mereka saya tidak boleh merawat pesakit lain. Kami tahu kami boleh melakukan lebih daripada itu tetapi tidak berdaya kerana kelengkapannya tiada, ia tambah menyakitkan. Itulah yang juga dialami oleh doktor-doktor yang sampai awal di sana.
Apakah yang paling menyentuh hati Dr.?
DR. JEMILAH: Melihat kanak-kanak yang sesak nafas. Lebih menyedihkan apabila anak-anak itu memanggil emak. Ibu mereka kemungkinan sudah meninggal dunia. Tiada sesiapa di sisi mereka kecuali sesetengahnya yang masih ada adik-beradik atau sanak-saudara yang terselamat. Sebagai seorang ibu, saya terkenang anak saya sendiri. Apa yang tambah menyedihkan kami tahu mereka hanya menunggu masa.
Menjelang malam tahun baru, kebanyakan kami sudah mula tertekan. Pada malam tahun baru itu saya dan Dr. Leong tidak dapat menampung air mata melihat anak-anak yang menderita itu. Malam itu juga seorang kanak-kanak meninggal dunia. Saya tenangkan Dr. Leong yang kelihatan putus asa kerana tidak dapat membantu kanak-kanak itu. Selain kanak-kanak itu, ada dua lagi kanak-kanak yang mengalami masalah serupa. Kami memutuskan untuk memindahkan mereka.
Apa yang Dr. lakukan?
DR. JEMILAH: Kami berkeras mendesak supaya mereka dipindahkan. Alhamdulillah, keesokan harinya pada hari tahun baru mereka dapat dibawa keluar dari Banda Aceh .
Pada hari itu juga berlaku gempa bumi. Kami semua lari keluar dari bilik. Ia memang menakutkan. Ada sesetengah sukarelawan baru yang menggeletar. Ia satu tahun baru yang tidak dapat dilupakan. Kami tidak tidur sampai pukul 4 pagi, bukannya bergembira tetapi berdepan dengan kematian dan gempa bumi, bertarung dengan emosi sendiri dan penderitaan orang lain yang kami lihat di depan mata.
Alhamdulillah juga saya sempat berehat untuk menyambut kumpulan ketiga yang sampai Ahad lalu. Saya kembali ke Aceh bersama-sama mereka tetapi Dr. Leong tinggal sekejap di Medan. Beberapa hari kemudian, dia menelefon saya memberitahu siaran berita televisyen melaporkan dua kanak-kanak itu sudah pulih, boleh duduk dan bercakap.
Berita itu memberikan harapan dan memulihkan semangat kami, lebih-lebih lagi Dr. Leong yang masih muda 26 tahun dan ini merupakan pengalaman barunya dalam kerja sukarelawan.
Apakah yang menjadi pendorong Dr. selama di sana?
DR. JEMILAH: Naluri saya tidak membenarkan saya untuk duduk berdiam diri melihat orang lain menderita. Saya sedar ini adalah kurniaan Allah kepada saya. Saya merasakan ini adalah tanggungjawab dan amanah-Nya.
Saya mahu menunjukkan kepada dunia bahawa kita orang Malaysia mampu melakukan kerja-kerja kemanusiaan, bukan setakat itu saja tetapi yang setanding dengan mereka. Ada banyak orang melakukan kerja sukarelawan tetapi kita mahu organisasi antarabangsa lain melihat kita ini berada pada tahap yang sama. Alhamdulillah, kami sudah membuktikannya.
Mercy Malaysia yang mula-mula sampai di Aceh dan dilaporkan oleh CNN. Laporan itu menyiapkan dunia untuk berdepan dengan realiti yang lebih buruk di Aceh.
DR. JEMILAH: Dunia pada mulanya terlalu banyak memberikan reaksi kepada Phuket dan Sri Lanka, masyarakat antarabangsa cepat ke sana. Saya mungkin tersilap tetapi itu barangkali kerana banyak pelancong dan ekspatriat di sana.
Aceh juga tidak dapat menyebarkan maklumat apa yang sebenarnya berlaku dengan cepat kepada dunia. Saya juga fikir kerajaan Indonesia pada awalnya bimbang untuk menghebahkannya pada peringkat awal kerana sensitiviti Aceh. Itu (pandangan mereka) harus kita hormati.
Tetapi saya rasa tindak balas antarabangsa terhadap Aceh agak terlewat. Kita jiran Indonesia yang paling dekat, masuk akallah kalau kita sampai dulu. Kalau bukan kita yang mula-mula sampai, saya akan rasa sangat malu. Malah semasa bencana banjir di Pulau Nias dekat Sumatera pada Ogos 2001 kami satu-satunya pertubuhan antarabangsa yang ada di sana.
Saya tidak rasa bangga apa-apa tentang itu. Ia sesuatu yang memang sepatutnya berlaku.
Laporan itu mengubah banyak perkara.
DR. JEMILAH: Ya, ia benar-benar meletakkan Mercy Malaysia di arena antarabangsa. Kami mula mendapat sumbangan dana individu dari serata dunia. Sebenarnya bukan laporan CNN itu saja tetapi BBC, CBS News dan ABC. Alhamdulillah, daripada laporan-laporan itu kami mula mendapat sumbangan dari Kanada, Australia malah saya baru dapat satu SMS dari Switzerland. Ada pihak yang membuat kutipan dana untuk Mercy Malaysia hari ini.
Saya bimbang juga kalau-kalau sumbangan makin lesu kerana cabaran sekarang ialah semua pihak meminta sumbangan. Kami selalu dituduh tidak berbakti di Malaysia, hanya ke luar negara. Ini tuduhan yang tidak adil. Hakikatnya kami begitu aktif di dalam negara cuma media tidak berminat melaporkannya.
Tetapi saya juga percaya sekiranya Mercy Malaysia terpaksa memberikan respons kepada semua kecemasan dalam negara tentu ada sesuatu yang tidak kena dengan negara ini, baik sistem mahupun kerajaannya.
Sistem kesihatan kita sangat baik. Kerajaan juga ada mekanisme untuk bertindak balas kepada kecemasan dan bencana. Oleh itu, Mercy Malaysia tidak perlu mengulangi tugas itu.
Ini antara kritikan yang dilemparkan?
DR. JEMILAH: Pengkritik saya yang paling keras ialah orang Islam. Malah ada yang menelefon ke pejabat, marah-marah dan menghempaskan telefon. Ini sangat mengecewakan. Cuba tunjukkan saya dalil yang mengatakan bahawa orang Islam hanya perlu membantu orang Islam sahaja. Mereka mengkritik kami kerana membantu orang bukan Islam dan negara luar. Kenapa kita terlalu singkat akal?
Tetapi mereka yang marah-marah ini hanya segelintir saja, majoritinya orang menyokong kami. Malah sekarang Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu juga mendukung kami di Aceh. Dalam mesyuarat-mesyuarat mengenai kesihatan, saya diminta mempengerusikannya bersama.
Kritikan itu melemahkan semangat Dr.?
DR. JEMILAH: Saya tidak mahu putus asa. Saya bersyukur dengan apa yang mampu kami lakukan. Saya tidak mahu kritikan-kritikan itu melemahkan kami. Saya berserah kepada Allah.
Kalau mereka tidak mahu menolong, tidak mengapa, berdoalah saja untuk kami. Kalau kami sudah membuktikan apa yang boleh kami lakukan, janganlah pula menghalang atau melemahkan semangat kami.
Saya tahu ada orang menyebarkan fitnah mengatakan Mercy tidak memerlukan doktor sebaliknya hanya hantar pakaian dan air. Kami akan terus menghantar doktor apabila diperlukan.
Apakah kekesalan Dr. kalau ada?
DR. JEMILAH: Kami tidak dapat meyakinkan masyarakat bahawa sebuah pertubuhan sukarelawan seperti ini memerlukan satu dana yang kukuh sepanjang masa kerana bencana boleh berlaku dalam sekelip mata. Kami ada dana yang kukuh untuk Iraq dan Iran kerana kerajaan memberikan bantuan. Tetapi apabila tiada bantuan kerajaan kami sebenarnya tidaklah sekukuh mana. Masalahnya orang tidak percaya bahawa kami memerlukan dana yang kukuh juga untuk hal ehwal pentadbiran. Mana-mana pertubuhan pun tidak boleh beroperasi dengan baik tanpa pentadbiran yang baik.
Kami berjaya selama ini kerana dedikasi tinggi ahli-ahli. Mereka meninggalkan kerjaya yang lebih lumayan untuk bekerja dengan Mercy Malaysia sepenuh masa. Tetapi saya berfikir sekiranya kami ada dana yang kukuh, insya-Allah kami boleh mempunyai sebuah gudang yang lengkap dengan ubat-ubatan dan peralatan yang boleh dihantar ke mana-mana pada bila-bila masa.
Ini memerlukan dana yang kukuh. Masalahnya orang hanya mahu menyumbang kalau ada krisis atau bencana. Apa yang berlaku di Aceh ini adalah satu pengajaran kepada kerja-kerja kemanusiaan, kepada saya dan kepada Mercy Malaysia. Kami tidak mahu lagi terperangkap dalam keadaan tidak bersedia seperti ini. Kami sebenarnya boleh melakukan lebih baik daripada ini.
Ahad, Januari 09, 2005 | 0
ulasan
Manusia Aceh, manusia Phuket
Manusia Aceh, manusia Phuket
SEBAGAI seorang wartawan, Awang ingin berada di Aceh, di Sri Lanka dan di Phuket pada masa yang sama. Sebagai seorang wartawan, Awang ingin mencatat dan merakamkan malapetaka 26 Disember 2004 untuk ditatap dan dibaca dengan harapan ia akan membawa suatu erti baru kepada hidup manusia.
Bagaimanapun kerana terikat kepada meja di pejabat, Awang terlepas peluang untuk melakukan apa yang seorang wartawan ingin lakukan - menyingsing lengan dan berada di tengah-tengah segala macam yang sedang berlaku selepas tsunami melanggar muka bumi dan meninggalkan bahana di luar gambaran manusia.
Kerana tidak dapat menahan keinginan untuk turun padang, Awang menerima pelawaan seorang Hamba Allah untuk membuat kunjungan kilat ke Aceh dan Phuket, Selasa lalu. Agak malang, pesawat kami tidak dapat kebenaran untuk mendarat di Lapangan Terbang Iskandar Muda di Banda Aceh. Bagaimana pun setelah merayu berkali-kali menara kawalan membenarkan pesawat kami terbang serendah 3,000 kaki menyusur pantai Aceh yang dilanda ombak besar tsunami dan meragut lebih 100,000 nyawa.
Apa yang dilihat dari udara sungguh menyayat hati. Perkampungan tepi pantai sudah tiada. Apa yang tinggal kelihatan seperti sawah padi yang ditakungi air akibat hujan berlebihan. Air laut masuk jauh ke darat. Itulah keadaannya.
Awang tergamam bila tiba-tiba ternampak sebuah masjid berdiri tegak dikelilingi kekosongan. Ia tampak sendirian dan kesepian, dikelilingi punah ranah.
Suatu perasaan yang tidak dapat Awang gambarkan menusuk kalbu - suatu perasaan yang akan membuat hati sekeras mana pun insaf. Ia dengan serta-merta akan membuat siapa sahaja menerima hakikat betapa kerdilnya manusia - betapa kecilnya apa juga kuasa dan kekuatan yang ada pada manusia di sisi kuasa dan kekuatan alam dan Penciptanya.
Bila pesawat mula meninggalkan ruang udara Aceh dan masjid yang kesepian itu semakin sayup dan perlahan-lahan menghilang, Awang bergelut dengan rasa sebak sambil cuba membayangkan keadaan di bawah, di wilayah yang diberi julukan Serambi Mekah.
Penduduk Aceh yang hampir semuanya Islam diketahui sebagai umat yang berpegang kuat kepada ajaran agama. Awang cuba membayangkan puluhan ribu mayat yang masih belum dikebumikan; puluhan ribu anak yatim; dan hidup yang akan dipenuhi dugaan dan penderitaan bagi masa yang panjang.
Khamis lalu, atas dorongan perasaan untuk menghayati kedukaan itu, Awang berusaha dan berjaya mendapat tempat dalam sebuah pesawat MAS yang hendak ke Aceh menghantar bekalan makanan dan ubat-ubatan. Kerana kesibukan di lapangan terbang yang kecil dan serba kekurangan itu, pesawat hanya dapat mendarat di Banda Aceh bila hari sudah mula gelap.
Awang sangat terkilan kerana kami hanya dibenarkan berada selama satu jam sahaja kerana terlalu banyak pesawat sedang menunggu untuk mendarat membawa bekalan bantuan.
Lapangan Terbang Iskandar Muda lebih kecil daripada Lapangan Terbang Alor Star. Kekecilannya hanya membolehkan empat hingga lima pesawat sahaja berada di situ. Walaupun hanya dapat sejam, Awang dapat merasai sengsara yang menimpa penduduk Serambi Mekah itu.
Manusia dengan wajah-wajah kosong, hampa dan hilang arah, memenuhi kawasan lapangan terbang, mungkin mengharapkan untuk mendapat bekalan yang tidak henti-henti dibawa masuk.
Di tepi-tepi jalan berdebu, manusia berteduh di bawah apa sahaja yang boleh diguna untuk dijadikan bumbung. Ia sungguh mengharukan. Tiba-tiba rumah teres yang sesetengah daripada kita merasakan belum cukup selesa sebagai tempat berteduh di dunia sementara ini, terasa bagai mahligai.
Tiada air bersih untuk diminum; tiada bantal empuk untuk meletak kepala.
Di Phuket, lain ceritanya. Lapangan terbang pusat peranginan itu tidak menampakkan wajah-wajah kosong dan hiba. Walaupun tidak begitu sibuk, tapi semuanya teratur. Ada pelancong; ada pemandu pelancong. Di pantai, orang sudah bersantai semula. Badan ditutup di mana perlu sahaja, seolah-olah tiada apa yang berlaku. Laut biru dan tenang, seolah-olah ia tidak pernah berkocak.
Para pekerja pula bertungkus-lumus membersihkan sampah sarap yang ditinggalkan tsunami. Kedai minum arak, rumah urut, kedai makan dan tempat hiburan lain sedang tergesa-gesa diperbaiki.
Mereka mahu hidup dikembalikan seperti dulu. Entah bila tsunami akan menggila lagi. Ini sungguh berbeza dengan wajah-wajah kosong dan duka di Banda Aceh di mana manusia mencari pengertian hidup. Bagi Phuket, hidup macam itu juga, tiada apa akan berubah kerana itulah hidup.
SEBAGAI seorang wartawan, Awang ingin berada di Aceh, di Sri Lanka dan di Phuket pada masa yang sama. Sebagai seorang wartawan, Awang ingin mencatat dan merakamkan malapetaka 26 Disember 2004 untuk ditatap dan dibaca dengan harapan ia akan membawa suatu erti baru kepada hidup manusia.
Bagaimanapun kerana terikat kepada meja di pejabat, Awang terlepas peluang untuk melakukan apa yang seorang wartawan ingin lakukan - menyingsing lengan dan berada di tengah-tengah segala macam yang sedang berlaku selepas tsunami melanggar muka bumi dan meninggalkan bahana di luar gambaran manusia.
Kerana tidak dapat menahan keinginan untuk turun padang, Awang menerima pelawaan seorang Hamba Allah untuk membuat kunjungan kilat ke Aceh dan Phuket, Selasa lalu. Agak malang, pesawat kami tidak dapat kebenaran untuk mendarat di Lapangan Terbang Iskandar Muda di Banda Aceh. Bagaimana pun setelah merayu berkali-kali menara kawalan membenarkan pesawat kami terbang serendah 3,000 kaki menyusur pantai Aceh yang dilanda ombak besar tsunami dan meragut lebih 100,000 nyawa.
Apa yang dilihat dari udara sungguh menyayat hati. Perkampungan tepi pantai sudah tiada. Apa yang tinggal kelihatan seperti sawah padi yang ditakungi air akibat hujan berlebihan. Air laut masuk jauh ke darat. Itulah keadaannya.
Awang tergamam bila tiba-tiba ternampak sebuah masjid berdiri tegak dikelilingi kekosongan. Ia tampak sendirian dan kesepian, dikelilingi punah ranah.
Suatu perasaan yang tidak dapat Awang gambarkan menusuk kalbu - suatu perasaan yang akan membuat hati sekeras mana pun insaf. Ia dengan serta-merta akan membuat siapa sahaja menerima hakikat betapa kerdilnya manusia - betapa kecilnya apa juga kuasa dan kekuatan yang ada pada manusia di sisi kuasa dan kekuatan alam dan Penciptanya.
Bila pesawat mula meninggalkan ruang udara Aceh dan masjid yang kesepian itu semakin sayup dan perlahan-lahan menghilang, Awang bergelut dengan rasa sebak sambil cuba membayangkan keadaan di bawah, di wilayah yang diberi julukan Serambi Mekah.
Penduduk Aceh yang hampir semuanya Islam diketahui sebagai umat yang berpegang kuat kepada ajaran agama. Awang cuba membayangkan puluhan ribu mayat yang masih belum dikebumikan; puluhan ribu anak yatim; dan hidup yang akan dipenuhi dugaan dan penderitaan bagi masa yang panjang.
Khamis lalu, atas dorongan perasaan untuk menghayati kedukaan itu, Awang berusaha dan berjaya mendapat tempat dalam sebuah pesawat MAS yang hendak ke Aceh menghantar bekalan makanan dan ubat-ubatan. Kerana kesibukan di lapangan terbang yang kecil dan serba kekurangan itu, pesawat hanya dapat mendarat di Banda Aceh bila hari sudah mula gelap.
Awang sangat terkilan kerana kami hanya dibenarkan berada selama satu jam sahaja kerana terlalu banyak pesawat sedang menunggu untuk mendarat membawa bekalan bantuan.
Lapangan Terbang Iskandar Muda lebih kecil daripada Lapangan Terbang Alor Star. Kekecilannya hanya membolehkan empat hingga lima pesawat sahaja berada di situ. Walaupun hanya dapat sejam, Awang dapat merasai sengsara yang menimpa penduduk Serambi Mekah itu.
Manusia dengan wajah-wajah kosong, hampa dan hilang arah, memenuhi kawasan lapangan terbang, mungkin mengharapkan untuk mendapat bekalan yang tidak henti-henti dibawa masuk.
Di tepi-tepi jalan berdebu, manusia berteduh di bawah apa sahaja yang boleh diguna untuk dijadikan bumbung. Ia sungguh mengharukan. Tiba-tiba rumah teres yang sesetengah daripada kita merasakan belum cukup selesa sebagai tempat berteduh di dunia sementara ini, terasa bagai mahligai.
Tiada air bersih untuk diminum; tiada bantal empuk untuk meletak kepala.
Di Phuket, lain ceritanya. Lapangan terbang pusat peranginan itu tidak menampakkan wajah-wajah kosong dan hiba. Walaupun tidak begitu sibuk, tapi semuanya teratur. Ada pelancong; ada pemandu pelancong. Di pantai, orang sudah bersantai semula. Badan ditutup di mana perlu sahaja, seolah-olah tiada apa yang berlaku. Laut biru dan tenang, seolah-olah ia tidak pernah berkocak.
Para pekerja pula bertungkus-lumus membersihkan sampah sarap yang ditinggalkan tsunami. Kedai minum arak, rumah urut, kedai makan dan tempat hiburan lain sedang tergesa-gesa diperbaiki.
Mereka mahu hidup dikembalikan seperti dulu. Entah bila tsunami akan menggila lagi. Ini sungguh berbeza dengan wajah-wajah kosong dan duka di Banda Aceh di mana manusia mencari pengertian hidup. Bagi Phuket, hidup macam itu juga, tiada apa akan berubah kerana itulah hidup.
Ahad, Januari 09, 2005 | 0
ulasan
Bangunkan semula Aceh
Bangunkan semula Aceh
Oleh Zulkiflee Bakar
DALAM sejarah Republik Indonesia, Aceh sentiasa sahaja dirundung malang, malah suatu ketika Aceh pernah dianggap sebagai wilayah berdarah berikutan pelaksanaan pemerintahan tentera yang menyaksikan ramai penduduknya terbunuh.
Malah ketika peristiwa berdarah itu masih meninggalkan kesan yang mendalam kepada penduduk kini mereka ditimpa lagi bencana iaitu tsunami yang menghapuskan beratus-ratus generasi penduduk.
Sememangnya tsunami akan tercatat dalam sejarah Indonesia memandangkan ia dianggap tragedi bencana alam paling buruk yang pernah dialami oleh negara itu.
Sementara menanti sejarah itu akan dikenang sepanjang hayat, kini pemerintah Indonesia bertungkus-lumus memikirkan apakah usaha yang boleh dilakukan bagi membangunkan semula Serambi Mekah itu.
Mungkin buat seketika pemerintah Indonesia boleh menarik nafas lega apabila mereka menerima bantuan tanpa henti dari pelbagai negara termasuk pertubuhan sukarela.
Bantuan seumpama ini sudah tentulah akan mengurangkan beban pemerintah yang sudah pasti tidak menduga sama sekali bahawa tsunami hampir melenyapkan sebuah wilayahnya.
Itulah yang dialami oleh Aceh apabila tiga kali lipatan ombak besar telah meranapkan daerah Meulaboh dan melumpuhkan aktiviti ekonomi serta kehidupan di Banda Acheh.
Sesiapa juga menyaksikan kemusnahan yang dialami Aceh akan menganggap usaha membangunkan semula wilayah itu bakal memakan masa yang cukup panjang apatah lagi jika terdapat terlalu banyak kerenah birokrasi dalam usaha itu.
Berdasarkan kepada keadaan itulah, majoriti rakyat Aceh meletakkan sasaran bahawa wilayah itu hanya akan pulih sepenuhnya dalam tempoh 10 tahun.
``Itu pun jika semua proses pembahagian kontrak kepada pihak-pihak berkenaan dilakukan terus kepada rakyat Aceh, kalau ia diberikan kepada orang luar melalui pegawai kerajaan, percayalah masa yang diperlukan lebih lama,'' kata Mohamed Yunus salah seorang ahli perniagaan di Aceh.
Walaupun pemerintah Indonesia meletakkan tempoh lima tahun untuk membangunkan semula Aceh namun bagi kalangan penduduk wilayah itu mereka tidak yakin ia menjadi kenyataan.
Apatah lagi selama ini pemerintah Indonesia sejak zaman Suharto hinggalah kepada Megawati Sukarnoputri dilihat tidak bersungguh-sungguh untuk membangunkan Aceh dan kini di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mereka tidak mengharapkan apa-apa komitmen.
Ini kerana mereka melihat jika pemerintah Indonesia serius sudah pasti sejak awal lagi mereka akan membangunkan Aceh yang kaya dengan hasil minyaknya.
Oleh itu musibah ini dianggap sebagai ujian sebenar kepada pemerintah Indonesia sama ada membangunkan semula Aceh atau membiarkan ia dalam keadaan sekarang.
Jika dilihat dari segi komitmen yang diberikan oleh Malaysia dan negara-negara anggota ASEAN serta Pertubuhan Persidangan Islam (OIC), Aceh hakikatnya tidak sukar dibangunkan semula.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan lebih mengutamakan bantuan yang hendak dihulurkan oleh negara-negara rantau ini atau mana-mana negara Islam.
Kenyataan ini dibuat kerana sudah ada ura-ura bahawa Amerika Syarikat (AS) akan menghantar lebih 13,000 tenteranya ke Aceh bagi melaksanakan kerja-kerja pemulihan seperti membuang sisa-sisa runtuhan.
``Kita bimbang jika perkara ini menjadi kenyataan, pertolongan yang dihulurkan oleh AS itu mempunyai motif tersendiri bak kata orang ada udang di sebalik batu,'' kata seorang pegawai kanan diplomatik dari sebuah negara Islam.
Justeru, apa yang berlaku di Aceh ini dan dengan imej wilayah itu yang terkenal dengan ciri-ciri masyarakatnya yang teguh berpegang kepada ajaran Islam, ramai pihak melihat ia adalah kesempatan terbaik kepada negara-negara Islam terutamanya Malaysia memainkan peranannya.
``Inilah masanya untuk kita membantu rakyat Aceh kerana mereka amat menghargai dan menyukai Malaysia,'' kata Konsul Jeneral Mohd. Yusoff A.Bakar kepada penulis ketika ditemui di Banda Acheh.
Kenyataan Mohd. Yusoff itu seharusnya diambil perhatian oleh pihak-pihak berkenaan memandangkan rakyat Aceh sememangnya menghormati Malaysia malah mereka melihat Malaysia sebagai negara Islam contoh.
Atas sebab itulah ketibaan pasukan bantuan dari Malaysia terutamanya NGO seperti Yayasan Salam mendapat sambutan hangat daripada mangsa-mangsa tsunami.
Mereka memahami bahawa Malaysia datang membantu dengan ikhlas atas dasar persaudaraan Islam dan tidak mempunyai apa-apa agenda tersembunyi di masa depan.
Kuasa-kuasa besar jika menurut pandangan rakyat Indonesia walaupun dialu-alukan kehadiran mereka ketika saat-saat kecemasan terutamanya dalam usaha menyelamat namun untuk jangka panjang ia mempunyai kesan tersendiri kepada negara itu.
``Kita bukannya ingin mempertikaikan keikhlasan mereka tetapi kita hanya berhati-hati kerana sejarah telah membuktikan bahawa Indonesia pernah diperdaya oleh negara asing,'' kata seorang penganalisis politik Indonesia kepada sebuah akhbar tempatan.
Namun semua ini hanya menjadi kenyataan jika pemerintah Indonesia benar-benar inginkan Malaysia membantu membangunkan semula Aceh. Tambahan pula Malaysia seperti kata Perdana Menteri, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi mempunyai kepakaran sama ada dalam bidang kejuruteraan mahupun kemanusiaan.
Seperkara lagi, bencana yang menimpa Aceh juga menjadi medan ujian kepada negara-negara Islam untuk bersatu dalam OIC bagi menyumbangkan segala kepakaran yang mereka ada.
Setakat ini sudah ada komitmen oleh negara-negara Islam berkenaan dan apa yang perlu ia diterjemahkan dalam bentuk pelaksanaan. Peristiwa tsunami bukan sahaja memaksa Aceh menderita malah ia seolah-olah meruntuhkan segala sistem kehidupan penduduknya.
Mereka bukan sahaja memerlukan bangunan dan kediaman malah bantuan dari segi kemanusiaan terutamanya trauma yang dialami oleh mangsa-mangsa tsunami.
Malah apa yang lebih penting daripada itu ialah menyelamatkan masa depan lebih 38,000 kanak-kanak Aceh yang kini sebatang kara. Nasib kanak-kanak ini harus menjadi perhitungan utama sama pentingnya dengan soal pembangunan kepada Aceh. Ini memandangkan jika negara-negara Islam tidak berhati-hati kanak-kanak itu boleh `terperangkap' dengan pihak-pihak yang boleh merosakkan masa depan mereka.
Walaupun pemerintah Indonesia memberi jaminan bahawa langkah segera akan dilakukan bagi membantu kanak-kanak tersebut namun keterbatasan dari segi kewangan dan menyediakan kemudahan boleh menyebabkan masa depan mereka terjejas.
Oleh itu, negara-negara Islam seperti Malaysia boleh mengambil kesempatan dengan melaksanakan program anak angkat tanpa memerlukan kanak-kanak itu meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Negara-negara Islam mungkin boleh menyalurkan pelbagai bantuan termasuk menjadi penaja dan membiaya rumah-rumah anak yatim yang sekali gus akan memastikan masa depan kanak-kanak itu terjamin.
Namun apa pun andaian dan harapan kita, apa yang pasti Aceh memerlukan komitmen sepenuhnya daripada pemerintah Indonesia untuk dibangunkan semula, negara-negara lain boleh menawarkan apa juga bantuan tetapi kesudahannya keputusan ada di tangan pemerintah Indonesia.
Kita harap pemerintah Indonesia benar-benar serius kali ini. Aceh sudah lama menderita, berilah peluang kepada mereka untuk menikmati pembangunan kekayaan Aceh.
Kini semua pihak sedang menanti sejauh manakah kesungguhan pemerintah Indonesia untuk membantu Aceh kerana mereka hakikatnya tidak lagi mempunyai masalah berdasarkan ikrar untuk membantu oleh negara-negara luar.
Apa yang pasti jika Aceh terus dibiarkan tidak dibangunkan semula Serambi Mekah yang kehilangan lebih 100,000 penduduk akan terus berkabung dan menderita dalam segala aspek terutamanya ekonomi dan pembangunan manusia.
Oleh Zulkiflee Bakar
DALAM sejarah Republik Indonesia, Aceh sentiasa sahaja dirundung malang, malah suatu ketika Aceh pernah dianggap sebagai wilayah berdarah berikutan pelaksanaan pemerintahan tentera yang menyaksikan ramai penduduknya terbunuh.
Malah ketika peristiwa berdarah itu masih meninggalkan kesan yang mendalam kepada penduduk kini mereka ditimpa lagi bencana iaitu tsunami yang menghapuskan beratus-ratus generasi penduduk.
Sememangnya tsunami akan tercatat dalam sejarah Indonesia memandangkan ia dianggap tragedi bencana alam paling buruk yang pernah dialami oleh negara itu.
Sementara menanti sejarah itu akan dikenang sepanjang hayat, kini pemerintah Indonesia bertungkus-lumus memikirkan apakah usaha yang boleh dilakukan bagi membangunkan semula Serambi Mekah itu.
Mungkin buat seketika pemerintah Indonesia boleh menarik nafas lega apabila mereka menerima bantuan tanpa henti dari pelbagai negara termasuk pertubuhan sukarela.
Bantuan seumpama ini sudah tentulah akan mengurangkan beban pemerintah yang sudah pasti tidak menduga sama sekali bahawa tsunami hampir melenyapkan sebuah wilayahnya.
Itulah yang dialami oleh Aceh apabila tiga kali lipatan ombak besar telah meranapkan daerah Meulaboh dan melumpuhkan aktiviti ekonomi serta kehidupan di Banda Acheh.
Sesiapa juga menyaksikan kemusnahan yang dialami Aceh akan menganggap usaha membangunkan semula wilayah itu bakal memakan masa yang cukup panjang apatah lagi jika terdapat terlalu banyak kerenah birokrasi dalam usaha itu.
Berdasarkan kepada keadaan itulah, majoriti rakyat Aceh meletakkan sasaran bahawa wilayah itu hanya akan pulih sepenuhnya dalam tempoh 10 tahun.
``Itu pun jika semua proses pembahagian kontrak kepada pihak-pihak berkenaan dilakukan terus kepada rakyat Aceh, kalau ia diberikan kepada orang luar melalui pegawai kerajaan, percayalah masa yang diperlukan lebih lama,'' kata Mohamed Yunus salah seorang ahli perniagaan di Aceh.
Walaupun pemerintah Indonesia meletakkan tempoh lima tahun untuk membangunkan semula Aceh namun bagi kalangan penduduk wilayah itu mereka tidak yakin ia menjadi kenyataan.
Apatah lagi selama ini pemerintah Indonesia sejak zaman Suharto hinggalah kepada Megawati Sukarnoputri dilihat tidak bersungguh-sungguh untuk membangunkan Aceh dan kini di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mereka tidak mengharapkan apa-apa komitmen.
Ini kerana mereka melihat jika pemerintah Indonesia serius sudah pasti sejak awal lagi mereka akan membangunkan Aceh yang kaya dengan hasil minyaknya.
Oleh itu musibah ini dianggap sebagai ujian sebenar kepada pemerintah Indonesia sama ada membangunkan semula Aceh atau membiarkan ia dalam keadaan sekarang.
Jika dilihat dari segi komitmen yang diberikan oleh Malaysia dan negara-negara anggota ASEAN serta Pertubuhan Persidangan Islam (OIC), Aceh hakikatnya tidak sukar dibangunkan semula.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan lebih mengutamakan bantuan yang hendak dihulurkan oleh negara-negara rantau ini atau mana-mana negara Islam.
Kenyataan ini dibuat kerana sudah ada ura-ura bahawa Amerika Syarikat (AS) akan menghantar lebih 13,000 tenteranya ke Aceh bagi melaksanakan kerja-kerja pemulihan seperti membuang sisa-sisa runtuhan.
``Kita bimbang jika perkara ini menjadi kenyataan, pertolongan yang dihulurkan oleh AS itu mempunyai motif tersendiri bak kata orang ada udang di sebalik batu,'' kata seorang pegawai kanan diplomatik dari sebuah negara Islam.
Justeru, apa yang berlaku di Aceh ini dan dengan imej wilayah itu yang terkenal dengan ciri-ciri masyarakatnya yang teguh berpegang kepada ajaran Islam, ramai pihak melihat ia adalah kesempatan terbaik kepada negara-negara Islam terutamanya Malaysia memainkan peranannya.
``Inilah masanya untuk kita membantu rakyat Aceh kerana mereka amat menghargai dan menyukai Malaysia,'' kata Konsul Jeneral Mohd. Yusoff A.Bakar kepada penulis ketika ditemui di Banda Acheh.
Kenyataan Mohd. Yusoff itu seharusnya diambil perhatian oleh pihak-pihak berkenaan memandangkan rakyat Aceh sememangnya menghormati Malaysia malah mereka melihat Malaysia sebagai negara Islam contoh.
Atas sebab itulah ketibaan pasukan bantuan dari Malaysia terutamanya NGO seperti Yayasan Salam mendapat sambutan hangat daripada mangsa-mangsa tsunami.
Mereka memahami bahawa Malaysia datang membantu dengan ikhlas atas dasar persaudaraan Islam dan tidak mempunyai apa-apa agenda tersembunyi di masa depan.
Kuasa-kuasa besar jika menurut pandangan rakyat Indonesia walaupun dialu-alukan kehadiran mereka ketika saat-saat kecemasan terutamanya dalam usaha menyelamat namun untuk jangka panjang ia mempunyai kesan tersendiri kepada negara itu.
``Kita bukannya ingin mempertikaikan keikhlasan mereka tetapi kita hanya berhati-hati kerana sejarah telah membuktikan bahawa Indonesia pernah diperdaya oleh negara asing,'' kata seorang penganalisis politik Indonesia kepada sebuah akhbar tempatan.
Namun semua ini hanya menjadi kenyataan jika pemerintah Indonesia benar-benar inginkan Malaysia membantu membangunkan semula Aceh. Tambahan pula Malaysia seperti kata Perdana Menteri, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi mempunyai kepakaran sama ada dalam bidang kejuruteraan mahupun kemanusiaan.
Seperkara lagi, bencana yang menimpa Aceh juga menjadi medan ujian kepada negara-negara Islam untuk bersatu dalam OIC bagi menyumbangkan segala kepakaran yang mereka ada.
Setakat ini sudah ada komitmen oleh negara-negara Islam berkenaan dan apa yang perlu ia diterjemahkan dalam bentuk pelaksanaan. Peristiwa tsunami bukan sahaja memaksa Aceh menderita malah ia seolah-olah meruntuhkan segala sistem kehidupan penduduknya.
Mereka bukan sahaja memerlukan bangunan dan kediaman malah bantuan dari segi kemanusiaan terutamanya trauma yang dialami oleh mangsa-mangsa tsunami.
Malah apa yang lebih penting daripada itu ialah menyelamatkan masa depan lebih 38,000 kanak-kanak Aceh yang kini sebatang kara. Nasib kanak-kanak ini harus menjadi perhitungan utama sama pentingnya dengan soal pembangunan kepada Aceh. Ini memandangkan jika negara-negara Islam tidak berhati-hati kanak-kanak itu boleh `terperangkap' dengan pihak-pihak yang boleh merosakkan masa depan mereka.
Walaupun pemerintah Indonesia memberi jaminan bahawa langkah segera akan dilakukan bagi membantu kanak-kanak tersebut namun keterbatasan dari segi kewangan dan menyediakan kemudahan boleh menyebabkan masa depan mereka terjejas.
Oleh itu, negara-negara Islam seperti Malaysia boleh mengambil kesempatan dengan melaksanakan program anak angkat tanpa memerlukan kanak-kanak itu meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Negara-negara Islam mungkin boleh menyalurkan pelbagai bantuan termasuk menjadi penaja dan membiaya rumah-rumah anak yatim yang sekali gus akan memastikan masa depan kanak-kanak itu terjamin.
Namun apa pun andaian dan harapan kita, apa yang pasti Aceh memerlukan komitmen sepenuhnya daripada pemerintah Indonesia untuk dibangunkan semula, negara-negara lain boleh menawarkan apa juga bantuan tetapi kesudahannya keputusan ada di tangan pemerintah Indonesia.
Kita harap pemerintah Indonesia benar-benar serius kali ini. Aceh sudah lama menderita, berilah peluang kepada mereka untuk menikmati pembangunan kekayaan Aceh.
Kini semua pihak sedang menanti sejauh manakah kesungguhan pemerintah Indonesia untuk membantu Aceh kerana mereka hakikatnya tidak lagi mempunyai masalah berdasarkan ikrar untuk membantu oleh negara-negara luar.
Apa yang pasti jika Aceh terus dibiarkan tidak dibangunkan semula Serambi Mekah yang kehilangan lebih 100,000 penduduk akan terus berkabung dan menderita dalam segala aspek terutamanya ekonomi dan pembangunan manusia.
Ahad, Januari 09, 2005 | 0
ulasan
Langgan:
Catatan (Atom)